Tuesday, June 18, 2019

Bagaimana Cara Membaca Cerpen di Panggung?

Orang lebih sering membaca puisi dalam acara pentas sastra. Membaca cerpen untuk umum atau untuk pementasan masih dianggap tidak lazim, eh atau dianggap mbosenin. Bagusan sekalian monolog. Aku maklum karena memang cerpen kalau dibacakan memiliki durasi yang panjang. Bisa 4 - 10 kali lipat dari waktu membaca puisi (tentu saja tergantung panjang puisi dan cerpennya). Salah-salah orang akan tidur saat kita membaca cerpen. Aku sendiri, lebih nyaman membaca cerpen daripada membaca puisi. Dan itu sudah kulakukan sejak aku meluncurkan buku cerpenku Daun-daun Hitam pada tahun 2014. Hampir semua cerpen yang ada dalam buku itu pernah aku baca dalam beberapa kesempatan. Juga cerpen-cerpen yang ada dalam buku Salah Satu Cabang Cemara. (Malah satu cerpen dari buku ini pernah dipentaskan oleh Sun Love Community dalam acara Polda di Taman Budaya Lampung)

Aku punya trik untuk pembacaan cerpen-cerpenku:

1. Tidak membaca persis seperti naskah asli cerpen. Ingat, ada 6.000 - 15.000 karakter yang biasanya ada dalam cerpenku. Itu kalau dibaca lisan, dengan intonasi, membutuhkan waktu sekitar 10 - 30 menit, bahkan lebih. Sedang puisiku sepertinya hanya kisaran 1000 - 3000 karakter saja, bisa kubaca hanya dalam 2 - 5 menit. Jadi, walau aku menyebut membaca cerpen seperti termuat dalam buku, aku membuat naskah lain untuk kubaca dengan memotong, meringkas dan menghilangkan beberapa bagian alur cerpen.

2. Mengubah naskah cerpen hingga terbentuk suasana seperti yang kuharapkan. Misalnya aku mau suasana sedih murung serius. Maka aku akan hilangkan kata-kata yang kira-kira bisa mengganggu suasana itu. Pun kalau kalau mau yang muncul adalah suasana lucu, maka aku bisa menambahkan atau mengubah kalimat dengan maksud yang sama tapi menjadi lucu. Lebih baik jika naskah yang akan dibaca ini diketik ulang. Tapi kalau tidak, ya tandai saja di buku yang akan dipegang.

3. Biasanya aku berhasil mengubah naskah cerpen menjadi setengahnya atau kurang dari setengahnya, sehingga aku hanya mengambil waktu antara 5 - 10 menit untuk membaca cerpen di pentas. Itu pun sudah mblokek untukku sendiri, apalagi bagi pendengar. Jangan lebih lama lagi, itu cukup.

4. Latihan itu mutlak walau tak harus berhari-hari. Misalnya untuk Panggung Sastra Lampung lalu, aku bilang aku tidak latihan, tapi toh aku membaca beberapa kali naskah yang sudah kusiapkan malam sebelumnya itu selama malam hingga pagi sebelum aku berangkat ke DKL. Membaca beberapa kali sampai nemu cara yang pas dengan rasa.
Membaca cerpen di Lapangan Korpri
dengan buanyakkkk penonton.

5. Lebih enak bagiku kalau membaca cerpen dengan sudut pandang 'aku', orang pertama, entah tunggal atau jamak. Itu kayak tinggal ngepasin karakternya saat membaca, seolah-olah aku sedang bertutur tentang diriku sendiri. Nah, kalau sudut pandang orang ketiga, ya kayak mendongeng itu. Atau kalau aku punya waktu lebih longgar untuk menggubah cerpen itu, aku akan mengubahnya, mengambil salah satu karakter dalam cerpen lalu bercerita dari sudut pandang 'aku' si tokoh itu, tanpa mengubah alur.

6. Aku suka menambahkan 'suluk', sebutanku untuk nyanyian atau senandung di bagian awal dan akhir pembacaan. Saat aku membaca cerpen di Lapangan Korpri Bandarlampung untuk acara Sekala Selampung, mengawali pengajiannya Cak Nun, aku mendendangkan "Ra ma da sa." Usai pembacaan orang-orang komentar aku seperti mengucapkan mantra. Hihihi... Memang. Saat aku membaca di Panggung Sastra Lampung baru lalu aku nyanyiin Lir Sa Alir, bagian refreinnya. Itu pas banget, ngingetin aku pada rumah di Jawa Timur sana, sama seperti judul cerpenku, Rumah. Suluk ini bagiku seperti membuat jeda supaya aku bersiap, dan menata lagi nafas sebelum berucap terimakasih. Selain itu dia menjadi semacam pengantar dan penutup bagi kisah yang dibaca. Maka ya cari dendang yang tepat, tidak asal saja.

7. Datang sebelum acara mulai, jangan terlambat, sempatkan meneliti posisi panggung, lampu, para penonton, lewat mana akan jalan menuju panggung, apa saja yang ada di panggung, dan sebagainya. Seringnya sih tak ada waktu untuk gladi bersih. Iyelah, membaca puisi atau cerpen sebagai selingan saja seperti ini dianggap tidak penting. Pokoke maju, baca. Udah. Padahal mengenali medan itu sangat penting bagiku. Menghindari kesalahan yang memalukan. Ingat ya, aku merancang sebaik mungkin apa yang akan aku lakukan. Walau dikata ini tidak penting, dan tak ada waktu cukup untuk latihan serius seperti teater, aku tetap akan bersiap dengan rancangan yang cukup untuk membaca cerpen. Aku sudah harus tahu akan berdiri atau duduk, memegang mike atau meletakkannya, dan sebagainya.

8. Memakai baju dan dandanan yang nyaman. Aku akan percaya diri kalau memakai celana jeans, baju/kaos hitam, plus syal, tanpa make up, tanpa hiasan rambut. Maka itu yang kulakukan. Ndak usahlah pakai lipstik segala kalau justru itu mengganggu. Pakai saja sandal atau sepatu tipis, ndak usah yang berhak tinggi. Salah-salah terjengkang pas baru akan jalan ke panggung. Hehehe...
Membaca cerpen di Tangerang Selatan

9. Santai... Membaca puisi atau cerpen itu kan itu tadi, hanya selingan, ndak penting. Jadi ya santai saja. Biar saja penonton merespon sesuai apa yang terjadi. Aku membiasakan diri tanpa ekspektasi sehingga aku santai saja saja membaca seperti yang sudah kurencanakan. Kalau pun nanti ada salah kata salah gerak, yo tak apa. Pokoke aku lakukan sesuai dengan rencanaku. Ya mau apa, aku memang tak profesional dalam pementasan, tapi kalau sudah punya rencana ya itulah yang dijalankan. Soal hasilnya saat pentas seperti apa, entar bisa dilihat lagi kalau ada rekamannya. Kalau tak ada ya wis, udah lewat. Berarti orang lain juga pasti akan segera melupakannya termasuk melukan kesalahan-kesalahan yang kubuat saat aku membacanya. Hehehe...

10. Hmmm... membaca cerpen itu lebih asyik dari membaca puisi. Percayalah.

No comments:

Post a Comment