Monday, June 03, 2019

Jebakan Tubuh

Sampah?
Di antara seluruh organ tubuhku, aku menganggap bahwa hidungku bekerja paling sensitif dari antara seluruh bagian tubuhku yang lain. Sedikit saja aroma tertentu menyentuh penciumanku, seluruh tubuhku bisa bereaksi secara luar biasa. Kalau yang hadir itu aroma yang tidak kusukai, seluruh kerja tubuhku akan terganggu, tidak nyaman, menjadi gelisah bahkan akan muntah. Jika yang tercium adalah aroma yang kusuka, walaupun bagi orang lain mungkin aroma itu tidak enak, seluruh tubuhku akan mengembang, bergelenyar dalam semangat yang luar biasa. Tak bisa dibahasakan, tapi itu perasaan dan rasa seluruh tubuh dengan ingatan pada segala hal masa lalu terkait dengan aroma/bau tersebut.

Itu anggapanku dan aku membuktikannya lewat berbagai pengalaman. Aroma tertentu bisa menuntunku pada banyak hal, yang kreatif atau yang menyejukkan, padahal tak ada peristiwa apa pun yang menyertai. Demikian juga sebaliknya aroma tertentu bisa meruntuhkan menghancurkan segala hal, bahkan memporakporandakan pikiran.

Itu tentang hidung, bagian kecil dari seluruh tubuhku. Bagaimana dengan yang lain? Bagian-bagian tubuhku ini bekerja secara spontan berdasarkan banyak pengalaman dalam hidupku. Dengan postur yang seperti ini dan latihan lewat peristiwa-peristiwa selama hidupku, tubuhku bisa merasakan kenyamanan atau kegelisahan karena hal-hal tertentu. Ada banyak 'perintah' dari otakku atau hatiku pada tubuhku. Misalnya karena komitmenku bekerja di keuskupan, maka tubuhku harus berangkat ke kantor pada jam kerja, suka atau tidak suka. Atau ketika hatiku sedang dilingkupi rindu tak ketulungan pada ibu, hatiku memerintahkan tubuhku untuk menelpon ibu, sesegera mungkin.

Tubuhku sangat manja. Dia punya gerak yang kadang-kadang tak kupahami. Malah, bisa jadi dia menjadi pengkianat, menjebakku dalam kebutuhan yang tak masuk akal. Pikiran seperti ini membuatku sangat lemah, mencoba mengolah kesadaran tentang jebakan tubuhku sebagai hal yang positif. Tapi juga berpikir, mengapa harus selalu positif? Apa ukuran positif dan negatif itu?

Otakku. Otakku yang menilai positif dan negatif itu. Bahkan aku (tentu saja dengan tubuhku) sudah melakukan banyak hal yang paling tak masuk akal. Mestikah aku mengoreksinya ketika kesadaran seperti ini muncul, bahwa aku terjebak pada tubuh 'yang butuh', yang berkianat, yang tak semestinya? Di manakah harga tubuhku ini?

Semua tindakan tubuhku punya alasan. Dia mengalir secara bebas dan seringkali spontan, dari hati dan atau otakku. Hingga bergerak, bersuara, memilih, dan sebagainya. Satu kebohongan  besar yang sudah kulakukan, tak bisa kukoreksi hingga saat ini adalah kalimat:"Aku manusia setia." Bahkan aku tak sanggup mengoreksi kebohongan itu pada suamiku, anak-anakku, orang-orang yang bisa melihatku atau berkomunikasi denganku sehari-hari.

Pun dalam kebohongan seperti itu, aku masih marah kalau dikatakan tidak setia. Aku tetap murka dikatakan berbohong. Aku masih menyisakan amukan bila tak dihargai, dikatakan hanya menggunakan tubuh, tak punya harga, bahkan ketika dicerca,"Kau terjebak oleh kebutuhan tubuhmu." atau tudingan "Semua yang kau katakan itu hanya sampah." atau tuduhan,"Kau tak punya cinta." Masih juga muak pada siapa pun yang mengatakan hal seperti itu.

Sepertinya, PR untuk mengenali tubuhku sendiri harus kuteruskan, dengan ritme yang lebih cepat, sebelum masaku menggunakan tubuh yang sekarang ini berakhir. Huft. PR yang berat. Huft.

No comments:

Post a Comment