Sangat mudah mengingat kapan aku menerima buku ini. Rabu, 19 Agustus 2015, di Balai Keratun, kompleks Kantor Gubernur Propinsi Lampung, dari tangan editornya langsung, Udo Z. Karzi. Aku menanti buku ini sudah agak lama, dan akhirnya kudapatkan. Bukan berarti isi buku ini hal yang baru sehingga aku sangat ingin mendapatkannya, karena aku sudah membaca sebagian artikel dalam Rumah Berwarna Kunyit (Polemik Kesenian, Kesenimanan dan Lembaga Seni (di) Lampung) ini koran, tapi aku ingin menyimpannya sebagai salah satu dokumen di perpustakaanku.
Ya, seperti dikatakan Udo, buku ini berupa kumpulan dari artikel-artikel yang sudah dipublikasi di media masa. Dan secara umum aku bisa memahami situasinya kalau yang ditulis adalah tentang kesenian, kesenimanan dan lembaga seni yang ada di Lampung. Walau aku tidak terlibat banyak di situ, tentu saja aku paham juga sedikit-sedikit tentang hal ikwalnya. Karena aku juga membuat karya seni, aku seniman, dan sesekali aku terlibat dalam lembaga atau komunitas seni.
Aku menerima buku ini pada hari bersejarah bagi Dewan Kesenian Lampung (DKL), yaitu pengukuhan pengurusnya untuk masa jabatan 5 tahun mendatang. Aku sedang menunggu acara dimulai ketika Udo memberikannya padaku dalam sampul coklat bertulis namaku. Acaranya sendiri belum mulai juga walau aku sudah satu jam lebih duduk di situ. Undangan yang kuterima menyebutkan acara akan dimulai pada pukul 09.00. Aku datang di lokasi sekitar 7 menit sebelum jam 09.00. Dan aku terima buku biru ini sudah lewat 5 menit dari pukul 10.00! Dan acara belum ada tanda-tanda akan mulai!
Aku sengaja meniatkan datang setelah mendapat surat undangan warna biru sehari sebelumnya karena beberapa alasan. Pertama, aku ingin hadir untuk teman-temanku seniman yang sudah pasti akan masuk dalam jajaran kepengurusan. Kedua, aku penasaran ingin tahu apa yang terjadi pada DKL kedepan. Menurutku salah satu tanda yang bisa kutangkap adalah siapa yang ada di dalamnya. Dan saat aku terima undangan pengukuhan itu, tak ada informasi jelas yang kudapat tentang orang-orang yang akan masuk dalam jajaran pengurus yang akan dikukuhkan itu. Ketiga, aku sedang tak ada acara apapun di manapun. Jadi kupikir tak ada ruginya untuk hadir.
Pagi itu merasa antusias menyiapkan diri. Baju dominan biru sengaja kupakai dan bukan batik. Ya, sesuai dengan warna undangan biru. Dan ini pasti akan membedakan dengan sangat kontras dengan para calon pengurus yang akan dikukuhkan, yang disebutkan sudah menerima batik seragam. Sepatu kulit coklat kupakai. Mestinya lebih enak jika aku pakai sandal tumit tinggiku yang ringan. Tapi hari Minggu lalu aku terkilir. Kaki kiriku masih sakit jika digerakkan walau bengkaknya sudah mengempis. Dan aku berangkat dari kantor pukul 08.30. Aku memastikan tidak akan terlambat dan melewatkan hal-hal yang akan kutemui di sana.
Sayangnya, aku kecewa di satu jam pertama. Okey, harapanku memang tak bisa terpenuhi seluruhnya. Lihat saja, pertama, ya, aku bertemu teman-teman seniman. Sebagian memakai 'batik seragam' sebagian lain tidak. Jadi merekalah yang akan jadi pengurus, yang lain hadirin undangan seperti aku. Kedua, aku mendapati nama-nama pengurus. Soal ketua umum sudah terpilih Yustin Ridho Ficardo. Lalu ketua harian Heri Suliyanto. Hmmm.... Yang lain, aku baru tahu kemudian, lewat media online. Setelah acara selesai. Ketiga, ah,... aku tak bisa menunggu segitu lama untuk acara yang sudah bisa kutebak situasinya. Jadi pukul 10.30, aku bangkit. "Aku bosan. Harus jalan dulu." Kataku pada Imas Sobariah, yang duduk tak jauh dariku. Lalu aku ke tempat Kang Dana,"Selamat, kang. Aku tak tahan lagi menunggu." KD menyebut 2 menit, pasti mulai.
Aku tertawa dan pergi. 1,5 jam cukup bagiku. Tak ada pengaruhnya apa-apa jika kursiku kukosongkan. Jadi aku pulang, walau saat aku di teras Balai Keratun aku berpapasan dengan mobil yang membawa Ridho dan Yustin, Gubernur dan Ketua Umum DKL. Dalam hati aku menyapa mereka,"Sukses selalu, pak dan bu." Aku paham, sangat paham, acara-acara seperti ini biasa dimulai dengan sangat-sangat terlambat, molor jauh dari waktu yang tertulis. Sangat-sangat biasa. Dan karena untuk acara ini Ridho dan Yustin atau entah protokoler pemprov Lampung tak membuat gebrakan sehingga hal yang memalukan ini tidak terjadi, ya serta merta rasa pesimisku mencuat. Ya yang biasa-biasa itulah yang akan terjadi. Huft.
Di parkiran, bapak tukang parkir manggut-manggut sambil membantuku mengeluarkan motor. "Mereka ndak paham. Menunggu sampai selama ini buat ibu-ibu ya akan merepotkan. Belum lagi harus masak, ngurus anak. Acara belum mulai juga padahal sudah siang. Hati-hati ya bu." Hehehe... aku tertawa mendengar komentar si bapak. Komentar ini memberiku ilham sebuah resep masakan. Dan spontan membuatku rindu dapur.
Hmmm... akan kemana DKL dengan jajaran pengurus seperti itu? Hmmm... hmmm... hmmm... Aku menulis soal harapan saja. Karena DKL sudah diisi oleh orang-orang yang dekat dengan pemerintahan, ketua umum istri Gubernur, lalu ketua harian kepala dinas pendidikan, aku berharap pemerintah Lampung semakin memberikan perhatian dan ruang yang nyata dan merata terhadap seni, seniman dan lembaga seni termasuk komunitas-komunitas seni di Lampung. Bukan untuk lamis-lamis lambe tampak gemebyar saja tapi sungguh-sungguh. Serius. Dan besok-besok, terlambatnya jangan keterlaluan deh. Ya 10 menit 15 menit bolehlah. Lampung sudah terlambat jauh, jangan lagi ditambah mengulur waktu yang merugikan begitu. Wis, itu saja deh.
Selebihnya, ya ya ya, Rumah Berwarna Kunyit membantuku melihat pandangan-pandangan para penulis tentang geliat seni di Lampung. Buku ini belum kubaca seluruhnya. Masih nunggu giliran memakai waktu yang kupunya. Sementara kusurukkan saja di ranselku, jika ada jeda aku bisa membacanya pelan-pelan di manapun aku berada, bercampur dengan dua buku yang sedang kubaca juga pelan-pelan Pagi Lalu Cinta-nya Isbedy Stiawan dan Harakah Haru-nya Iswadi Pratama, serta sebuah manuskrip buku puisiku yang sedang kuedit.
Dan walau aku tidak jadi ikut hadir dalam acara pengukuhan (maafkanlah, aku mah gini orangnya, tak sabaran.) aku mengucapkan : Proficiat, pengurus DKL yang baru. Selamat bekerja. Seni dan seniman tak selalu butuh rumah karena udara dan mataharilah sumber utama inspirasi karya. Jadi mungkin akan bisa dihitung siapa yang akan bertandang atau diundang ke rumah. Tapi para pengurus rumah, semestinya tak melulu di dalam rumah, tapi membuka pintu jendela membersihkannya setiap pagi, merapikannya setiap kali hingga pantas disebut sebagai rumah, termasuk dengan taman dan halaman yang indah. Dan jalan-jalan di luar rumah, sekitar rumah atau sedikit jauh dari rumah akan baik juga untuk kesehatan. Jadi, lakukanlah kerja-kerja yang diperlukan itu. Sekali lagi, proficiat. Selamat.