Friday, October 23, 2015

Tanah Silam

Di antara perjalanan kerja, aku seringkali 'nakal' memanfaatkannya untuk sastra. Kali ini setelah urusan dengan tim modul kaderisasi Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) selesai digarap di Yogyakarta, aku meluncur ke Sumenep, 22 Oktober 2015. Kali ini untuk buku puisi Tanah Silam, karya Fendi Kachonk.

Rasanya ini menjadi bukuku juga karena aku gembira untuk peluncurannya. Bertempat di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah (STITA) Usymuni, Terate, Sumenep, acara dihadiri beberapa orang yang sudah kukenal, beberapa lain yang lebih banyak yang tidak kukenal. Beberapa tokoh senior Sumenep maupun para muda hadir di aula STITA yang bersamaan dengan Hari Santri Nasional ini.

Musikalisasi puisi, pembacaan puisi, orasi budaya oleh Syaf Anton dan bedah buku dialirkan dalam suasana santai. Aku sebagai orang 'jauh' tidak merasa sebagai tamu di sini. Ardy Raditya, dosen dari Surabaya yang ternyata orang Madura juga menjadi narasumber lain yang membedah buku ini selain diriku.

Kesempatan paling asyik ketika aku boleh membacakan satu puisi Fendi, berjudul Orang Tua Benih.
Diiringi teman-teman muda dari Komunitas Kampoeng Jerami yang keren aku membaca puisi ini. Mengapa puisi ini? Mengapa bukan puisi yang lain? Karena aku menyukainya. Dalam bahan diskusiku aku mengatakannya begini :



"Air menetes menjadi hujan. Setiap pagi ia ceritakan tembang-tembang lama, mocopat dan dongeng dari negeri 1001 malam untuk memberi hidangan pada mulut kecilnya.

"Kecerdasan itu hanya kemampuan mengendalikan tangisan, Anakku!"

Fendi memberikan nasihat. "Kecerdasan itu hanya kemampuan mengendalikan tangisan, Anakku!" Apakah ini hasil dari pengalaman-pengalamannya secara personal konkret? Bisa jadi. Apakah mata seorang Fendi sudah katam oleh tangisan-tangisan? Bisa ya bisa tidak. Apakah pengolahan otaknya kemudian berangkat dari tangisan-tangisan itu? Hanya oleh pengalaman entah oleh dirinya sendiri atau yang dia tangkap dari hidupnya yang bisa membuatnya yakin seperti itu. "Kecerdasan itu hanya kemampuan mengendalikan tangisan." Kita bisa tanya nanti pada penulisnya, apakah orang-orang yang tak mampu mengendalikan tangisnya berarti bukan orang-orang yang cerdas.

Tapi saya mau mengatakannya begini. Tangisan adalah wujud emosi yang mudah muncul karena situasi yang tidak diinginkan. Bentuk lain saat hal yang diinginkan tidak terjadi adalah kemarahan. Kemarahan bisa dimunculkan dalam kata-kata, tapi tangisan adalah kata-kata yang tidak beraturan. Isakan. Raungan. Siapa yang mampu menafsirkan tangisan jika sang penangis tidak menerjemahkan dengan kata-kata yang mudah dipahami?
 
Itu rupanya yang ingin dikatakan Fendi. Menangis itu sah dilakukan. Boleh dilakukan oleh anak-anaknya (atau pembacanya) tapi menangis akan membantu orang lain dan orang yang menangis itu maju dalam hidupnya jika dia mampu mengendalikannya sebagai bahasa yang dimengerti orang lain. Dengan demikian siapapun yang melihat tangisan tidak akan salah tafsir terhadap tangisan itu. Sedih, haru atau justru gembira? Berguna, merugikan atau mencelakakan? Akan diteruskan atau dihentikan."

Itu sebagian yang kukatakan untuk menanggapi puisi ini. Yach, sedikit sendu, dan mungkin berbeda juga dengan tangkapan orang lain. Tapi menghadiri kegiatan ini untuk Tanah Silam, sangatlah luar biasa bagiku. Aku menunggu saat-saat lain di masa mendatang untuk mengulanginya pada buku Fendi yang lain atau pada buku-buku teman-teman lain di Sumenep. Mungkin untuk Pak Syaf Anton, Kyai Miming, Kak Fauzi, atau dari teman-teman muda Denny, Ferly dan lain-lainnya. Semangat ya teman-teman!!!!

No comments:

Post a Comment