Thursday, May 21, 2015

OTAK PASIR

Bernard duduk di sebelahku. Melihat ke atas dan bertanya,"Bu, bagaimana cara menyambung kabel-kabel lampu seperti itu ya?" Aku melihat arah pandangnya. Kabel yang menghubungkan lampu belakang rumah dengan listrik tampak menjuntai. "Ibu tidak tahu. Tapi pasti ada caranya. Bernard tanya bapak saja nanti. Bapak kan ahlinya."
Bernard diam sebentar lalu berkata,"Nanti kalau aku sudah besar, aku akan jadi bapak juga. Jadi harus tahu cara menyambung kabel."
Oh. Aku melihat wajahnya tampak serius, jadi aku tak berani tertawa. "Ya, nanti kalau bapak pulang, tanyalah. Tapi ndak usah buru-buru lah jadi bapaknya. Jadi anak saja sekarang."
"Iya." Wajahnya begitu serius. Lalu dia diam lagi, sebelum kemudian nyeletuk,"Belajar pada masa anak-anak itu seperti mengukir batu, sedang belajar pada saat sudah tua itu sama seperti mengukir air."
Eits. "Mengukir air kan ndak bisa, Nard." Protesku sambil mikir, nih anak sedang berpikir apa ya?
"Karena itulah, bu. Makanya belajar pada saat masih anak-anak. Seperti aku. Jadi seperti ukiran di batu. Tidak akan hilang."
"Ah, iya juga. Tapi setua ibu juga masih belajar."
"Tapi susah kan, bu? Buktinya ibu sering lupa."
"Hmmm.... ya. Mungkin sebenarnya itu bukan mengukir air, tapi pasir. Bisa, tapi mudah hilang."
Bernard manggut-manggut. "Iya kali. Pasir. Kena hujan, hilang deh."
Dia berdiri. Memutar badan menuju sepedanya. Sebelum dia pergi aku tanya dengan sedikit berteriak,"Nard, memang tahu dari mana itu soal mengukir batu dan air."
"Ada ditulis di kelasku. Aku sudah membacanya di dinding sejak naik kelas 5."
Ohhh.... baiklah. Dia hilang dengan sepedanya. Aku melanjutkan merenung, berpikir soal otak airku... eh... otak pasirku. Duh.

No comments:

Post a Comment