Dewa Kolonshewang kehilangan tahtanya. Dia berjalan ke sana ke mari di seluruh penjuru langit.
"Aku lupa meletakkan kursi itu di mana." Keluhnya.
Rombongan angin yang sedang ditunggangi oleh para dong menggeleng-gelengkan kepala, sedang para dong dengan pecut di tangannya terheran-heran.
"Dewa, kursi...itu bukan kursi. Dan bagaimana Dewa bisa menghilangkannya? Tahta dengan berat seperti pasak-pasak Semeru dan hiasan berkilo-kilogram bebatuan? Dewa membawanya kemana?"
Dewa Kolonshewang tertunduk murung. Dikibas-kibaskannya tangan. Diusirnya angin-angin. Para dong menggerutu berkasak kusuk.
"Mestinya aku meletakkanya di suatu tempat. Tapi aku lupa. Di mana?"
Para dewi yang berjinjit dengan selendang-selendang pelangi tak bisa menghiburnya. Guntur dan petir dan membuatnya berjingkat kembali ke istananya. Dewa Kolonshewang terus berjalan hilir mudik mencari tahtanya.
...
Nun jauh di bawah sana, bumi guncang oleh prahara. Sebuah desa tertimpa kotoran lembu sebesar gunung. Lekukan di bagian atas berbentuk cekung, dan jejak seperti sepasang tapak kaki menghias bagian bawahnya. Seratus orang meninggal karenanya dan baunya terus menyebar ke seluruh bumi. Segerombol ilmuwan sedang mengambil contoh dari kotoran itu dan para filsuf mulai mendiskusikan mengapa dan bagaimana kotoran sebesar itu bisa runtuh ke bumi. "Sebesar apakah lembu yang sudah mengeluarkan benda ini? Di manakah dia yang sangat besar itu berpijak?"
No comments:
Post a Comment