Seorang guruku, Ahmad Yulden Erwin, bilang berkali-kali, bahkan menandaskan,"Jangan menulis kalau sedang marah." Dulu aku membantah hal itu. Aku tetap menulis saat marah. Sekarang aku setuju, tapi aku gunakan nasehat itu pada saat sedang mengedit tulisan. Aku tidak akan mengedit apapun pada saat sedang marah.
Ernest Hemingway, guruku yang lain mengatakan,“Kita dapat menulis kapan saja bila orang meninggalkan kita sendirian
dan tidak menggangu. Atau kita dapat menulis bila kita cukup kejam
tentang soal ini. Tetapi jelas tulisan terbaik bila kita sedang jatuh
cinta." Aku setuju tiga perempatnya, tidak setuju seperempatnya. Aku seringkali malah butuh orang lain yang bisa mengganggu supaya menulis.
Aku sendiri beberapa kali bilang ke kelompok-kelompok yang sedang belajar menulis,"Jika memang mudah menulis saat jatuh cinta, jatuh cintalah setiap kali. Jika lebih mudah menulis saat patah hati, patah hatilah terus." Biasanya aku akan melanjutkan dengan keterangan-keterangan misalnya jatuh cinta pada sepucuk daun, pada ujung gunting kuku, pada patahan dahan cemara, dan sebagainya. Atau patah hati pada pemerintahan Jokowi, patah hati karena putus listrik, kesandung batu, dan sebagainya. Kadang aku tak meneruskan dengan penjelasan apapun. Biarin saja dirasain sendiri oleh mereka, macam mana jatuh cinta dan patah hati yang mampu menggerakkan inspirasi menulis.
Lalu, kapan aku menulis? Kapanpun aku ingin. Seperti kata Ari Pahala Hutabarat, guruku yang lain lagi, pada suatu kesempatan mengatakan,"Menulis itu kayak mau berak." Kebelet, sampai tak tahan, dan memang harus menulis. Ya, bagiku menulis itu kebutuhan. Jika tak menulis aku bisa mati. Dan biar aku kebelet terus menerus, aku harus makan terus-terusan, makan campur-campur, biar mules. Membaca segala hal, mengembangkan panca indera untuk menangkap segala hal, terjaga sepanjang waktu, .... terus-terusan. Biar terus menerus menulis juga... terus... terus...
No comments:
Post a Comment