Thursday, July 09, 2020

STOP KEKERASAN SEKSUAL DAN PERDAGANGAN MANUSIA

Tindak pemerkosaan terhadap gadis berusia 14 tahun, yang diduga dilakukan oleh oknum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lampung Timur  bukan hanya menunjukkan ketimpangan relasi gender di  Provinsi Lampung, namun juga memperlihatkan rendahnya kesiapan aparat pemerintahan dalam perlindungan terhadap korban kekerasan, dalam pembentukan lembaga perlindungan, maupun dalam pengawasan operasionalnya.  

Kasus dugaan pemerkosaan dan perdagangan manusia yang sekarang sudah beredar luas lewat media itu menggugah kemarahan banyak orang. P2TP2A yang mestinya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban malah menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap korban. Tugas utama mereka adalah sebagai tempat pengaduan, menindaklanjuti laporan tindak kekerasan, rehabitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pelayanan bantuan hukum, pemulangan bahkan upaya reintegrasi sosial saat korban sudah kembali ke masyarakat.

Tugas-tugas itu tidak dijalankan dengan benar, malah menambah penderitaan korban.

1.       1. Usut tuntas kasus ini dengan memberikan perlindungan dan keamanan bagi korban dan keluarganya, termasuk keamanan emosional dan sosial.

2.     2.  Mengevaluasi kerja P2TP2A di Kabupaten Lampung Timur dan juga daerah lain, dan memastikan prosedur pembentukan dan rekruitmen karyawan/pekerja yang memenuhi kapasitas yang dibutuhkan dalam pendampingan terhadap perempuan dan anak.

3.    3. Tidak menoleransi tindakan apa pun untuk membenarkan peristiwa kekerasan dan perdagangan manusia.

Dalam glossary perlindungan perempuan pada website Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak disebutkan bahwa:

“Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, yang selanjutnya disebut P2TP2A adalah pusat pelayanan yang terintegrasi dalam upaya pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, serta perlindungan perempuan dan anak dari berbagai jenis diskriminasi dan tindak kekerasan, termasuk perdagangan orang, yang dibentuk oleh pemerintah atau berbasis masyarakat, dan dapat berupa: pusat rujukan, pusat konsultasi usaha, pusat konsultasi kesehatan reproduksi, pusat konsultasi hukum, pusat krisis terpadu (PKT), pusat pelayanan terpadu (PPT), pusat pemulihan trauma (trauma center), pusat penanganan krisis perempuan (women crisis center), pusat pelatihan, pusat informasi ilmu pengetahuan dan teknologi (PIPTEK), rumah aman (shelter), rumah singgah, atau bentuk lainnya.”

Keterbatasan sarana prasarana serta sumberdaya manusia tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk menoleransi tindakan kekerasan khususnya terhadap kelompok rentan termasuk perempuan dan anak. Pemberdayaan kepada perempuan dan anak harus dilakukan supaya tidak ada seorang pun dari perempuan dan anak Lampung ketakutan oleh ancaman dan iming-iming orang lain dan membuat mereka menjadi korban kekerasan dan perdagangan manusia. Masyarakat harus terus menerus berjuang untuk mewujudkan relasi yang adil dan setara gender, tidak takut menolak kekerasan dan ketidakadilan karena memandang ada kuasa atau uang.

Dalam proses hukum, jangan sampai prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan disalahgunakan untuk menghindarkan pelaku kekerasan dari hukuman yang setimpal dan menyebabkan peristiwa serupa dapat terulang atau terjadi lagi.

 

Ch. Dwi Yuli Nugrahani

Ketua

Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau

(KKPPMP) Keuskupan Tanjungkarang


No comments:

Post a Comment