Beberapa pengalaman membuatku mengamini kalimat itu. Kapan keinginan membuatku menderita? Pertama, ketika keinginan itu tidak kesampaian. Bahkan kemudian disadari sampai mati pun keinginan itu tidak akan tercapai. Derita tiada akhir mesti dialami.
Kedua, ketika keinginan itu ternyata berakibat keburukan. Apalagi kemudian peristiwa tragislah yang terjadi sebagai buahnya.
Tapi kemudian aku juga serta merta protes dengan kalimat itu. Banyak pengalaman hidupku memunculkan peristiwa-peristiwa baik yang diawali dengan keinginan. Aku menggunakan istilah : visi. Ini bentuk lain dari keinginan-keinginan yang kukuatkan dengan detail imajinasi yang mestinya terjadi pada suatu masa. Ketika visi ini menguat, pelan-pelan dia akan menjadi kenyataan.
Lalu bagaimana keinginan tidak menjadi sumber penderitaan? Aku berpikir tentang rumusan yang mesti digunakan saat mempunyai keinginan. Ini salah satu caranya. Merumuskan keinginan tidak sebagai kata benda, tapi sebagai kata kerja, kata yang mendorong kita bekerja, atau melakukan sesuatu.
Misal, aku tidak akan mengatakan: "Aku ingin masker yang cukup bagi sejuta orang Lampung." Tapi akan mengatakan: "Aku ingin menjahit masker yang cukup untuk sejuta orang Lampung." Maka keinginan itu sudah terpenuhi saat aku mulai mengambil kain, jarum, benang dan gunting. Iyaaa.... belum cukup untuk sejuta orang Lampung yang membutuhkan karena memang baru satu masker itu pun diri sendiri, tapi itu langkah pertama untuk memenuhinya. Kalau yang berikutnya lagi mulai dibuat, satu persatu dibuat, seluruh sejuta itu akan terpenuhi. Dan aku tak perlu menderita karena keinginan itu tak pernuhi. Sudah kok, sudah terpenuhi.
Contoh lain? Banyakkkk... Wis. Itu trik yang pertama ya, supaya keinginan tidak menjadi sumber penderitaan. Mari terus berbahagia dengan keinginan-keinginan.
No comments:
Post a Comment