Tuesday, April 01, 2014

Siddartha, Sebuah Novel : Berpuasa, Menunggu dan Berpikir

Judul buku : Siddartha
Penulis : Hermann Hesse
Penerbit : Jejak, Yogyakarta
Cetakan 4 : Oktober 2007
Alih Bahasa : Sovia VP.
Isi : 224 halaman.
ISBN : 978-979-16341-11-3

Novel Siddartha ditulis tahun 1922 oleh Herman Hesse, peraih nobel sastra tahun 1946. Hesse lahir di Jerman pada tahun1877, meninggal pada tahun 1962. Bukunya antara lain Peter Camenzind (1904), Beneath the Wheel (1910), Getrud (1910) dan Rhoshadle (1914). Dalam perang dunia I dia menyuarakan perdamaian dan anti perang, dan sesudahnya beberapa karyanya lahir seperti Demian, Siddartha, Steppenwolf, Nascissus and Goldmund, Jurney to the East dan The Glass Bead Game.

Novel ini menceritakan perjalanan Siddarta putra seorang brahmin yang menyadari dan mengakui bahwa keahliannya adalah berpuasa, menunggu dan berpikir. Maka dia menjadi seorang gigih yang terus menerus mencari jawaban-jawaban atas 'Om', kesempurnaan yang harus ditujunya. Dia mengawali perjalanan dengan 'sabar menunggu' restu ayahnya untuk menjadi seorang samana, berjalan tanpa menjadi pemilik.

Perjalanan tiga tahun sebagai samana melatih banyak hal tentang hidup. Govinda, sahabat yang menyertainya mengatakan kalau Siddartha mau tinggal lebih lama bersama para samana, dia yakin sahabatnya itu akan segera bisa berjalan di atas air. Tapi Siddartha yang sedang memikirkan pencarian yang sejati mengatakan,"Aku tidak punya keinginan berjalan di atas air. Biar saja si samana tua menyenangkan diri dengan keahlian semacam itu."

Mereka meninggalkan kelompok samana dan memulai pencarian menuju Gotama, si Budda suci yang menjadi perbincangan banyak orang. Cara hidup Guru ini menarik hati Siddartha, tapi dia tak mau mengikuti doktrin. Dia mau menjadi seperti sang Gotama, mendapatkannya lewat pencarian, tidak lewat dogma, doktrin, ajaran. Maka dia meninggalkan Govinda yang sudah memilih untuk menjadi pengikut Budha, sedangkan Siddartha sendiri melanjutkan perjalanan.

Dia meninggalkan dirinya yang samana dan mulai mengenali pelajaran lain yang lebih duniawi. Belajar bahwa cinta itu seni dari seorang pelacur, Kamala, kekasihnya. Juga belajar memainkan uang dari seorang pedagang, Kamaswami. Hingga dia merasa mati, hancur, harus pergi, meninggalkan semuanya termasuk meninggalkan benih di rahim Kamala.

Kali ini dia bertemu lagi dengan Govinda, yang tak mengenalinya tapi sangat dikenalnya. Untuk kemudian dia menjadi 'murid' Vasudewa, si juru sampan, belajar mendengarkan sungai, belajar mengenali emosinya, juga lewat anaknya yang kemudian ditemuinya.  Dia sampai pada kehampaan, juga kepenuhan. Seorang yang penuh cinta, yang dalam dan beragam.

No comments:

Post a Comment