Friday, March 28, 2014

Hidung yang Bikin Repot

Beberapa waktu lalu aku menulis SBY yang bikin repot. Kali ini aku ingin menuliskan bahwa dengan kadar yang sama, hidungku, alias indera penciumanku, selalu membuatku repot. Aku pernah menulis tentang hal ini tapi rupanya aku perlu beberapa penegasan.

Okey, dari lima indera yang kupunya, memang hidungku ini indera yang paling aktif mencatat memory. Dia tak pernah lalai merekam segala macam bau yang mampir di bulu-bulu yang halus, mencatatnya dengan rapi dan terus mengingatnya sepanjang masa.

Maka dalam kondisi normal (artinya tidak sedang sakit atau terganggu), aku mampu mencium bebauan dengan sangat sensitif peka. Ketika yang lain tidak mencium bau air kamar mandi, aku sudah mendapatkan bau payau anyir. Dan begitu dicek, betul saja ada tikus mengambang di sumur. Belum gembung dan busuk, tapi sudah jadi bangkai. Pada jarak bermeter-meter aku bisa menduga ada mobil ayam yang baru lewat dan aku pasti muntah-muntah karena gak tahan bau ayam potong yang sangat kimiawi itu. Bau lain yang bisa membuatku muntah adalah bau kecoa atau bekas kecoa (melihat atau memegangnya tidak masalah bagiku asal gak mencium baunya). Aku pun masih ingat bau-bau makanan saat aku masih kecil. Pun bau harum yang melintas dari orang yang baru mandi, atau bau apa saja yang melekat pada seseorang. Bahkan dulu aku bisa membedakan bau seseorang yang sedang sakit, pada orang-orang dekat tertentu aku masih bisa mengenalinya. Ada bau tertentu jika orang sedang sakit tanpa dia bilang karena pasti tercium bau berbeda dibanding saat sehat. Sayang aku tidak mengasahnya sehingga kadang aku menganggapnya bau biasa.

Nah, repotnya apa? Hmmm, apa ya. Ingatan pada bau-bau ini membuatku selalu dalam rindu. Ini yang pertama. Misal kalau sudah ingat beberapa bau makanan masa kecil, saat galau melanda, duh, betapa inginnya kembali ke masa itu. Yang kedua, karena super peka, aku bisa muntah karena bau yang tidak kusukai walau sangat samar. Ini bukan hanya bau yang busuk, bahkan bau harum yang tak kusukai bisa membuatku mual (saat aku hamil pertama, aku tidak bisa mencium bau harum bahkan dari sabun mandi, odol dan sebagainya). Ketiga, aku bisa sangat fanatik pada satu bau yang kusuka. Dan aku bisa sangat gelisah jika tidak mendapatkannya. Ah, tentu saja ini repot kalau bau itu jauh tak terjangkau. Bisa diare, teman.

Ah, tapi hidung tak punya daun yang bisa menutup menghindari bebauan macam apapun. Jadi, ya, dia terus saja merekam, mencatat, apapun yang tertangkap, dan memerintah seluruh tubuhku bereaksi terhadapnya. Karena satu bau aku bisa kehilangan mood, seperti juga oleh satu bau aku bisa sangat berhasrat, bergairah dan penuh kegembiraan. Duh hidung. Padahal aku akan memakainya sepanjang hidup. Aduh. Akan repot karenanya sepanjang hidup. Aduh. Aduh.

No comments:

Post a Comment