Sunday, March 16, 2014

Bapak

Kemarin aku telepon ibu.
"Bu, bapak piye?"
"Ini lagi sarapan. Sudah baik, tapi sedikit sekali makannya dan masih aras-arasen."
"Apakah bapak mau bicara denganku?"
Ibu bertanya ke bapak.
"Bapak nggak mau bicara. Takut kalau pas bicara nanti lupa mau ngomong apa. Bicara ke ibu ae, nanti disampaikan. Memang bapak jarang bicara sekarang. Sik males."
Ibu bicara lagi dengan bapak di ujung sana dengan nada riang, sepertinya menggoda bapak. Ahhh...
Aku tak bisa tidak menjadi murung jika ingat bapak. (Bapak bernama lengkap A. Samiran Karya Atmaja, 66 th) Saat mendengar bapak masuk ruang ICU rumah sakit Baptis Kediri, jiwaku langsung terbang ke sana. Ragaku baru terbang di hari ketiga setelah mengingat segala macam pertimbangan. Jumat 7 Maret lalu aku memaksa diri dalam perjalanan yang gelisah ke Kediri. (Penerbangan paling malam, sampai di Juanda persis tengah malam, naik taksi tanpa nawar dan milih, di Bungurasih cari bis terdepan yang menuju Kediri lalu naik becak ke rumah sakit pada jam 3.30 dini hari. Sebenarnya agak takut, sangat sepi, tapi tak ada pilihan.)
Di rumah sakit, bapak baru saja dipindah ke ruang rawat, tidak lagi di ICU. Langsung tersenyum ketika aku ada di samping ranjangnya. Aku setuju dengan pendapat Yeni.
"Rasanya aneh melihat bapak begitu lemah di tempat tidur. Dari kita kecil sampai sekarang, bapak selalu siap untuk kita, apapun yang terjadi. Bapak selalu membuat kita percaya bahwa semua baik-baik saja, semua aman, dan kita sangat percaya padanya."
Bapak tak pernah sakit. Terakhir ketika ketemu di Jakarta sehari setelah ulang tahun ibu, 10 Pebruari 2014 lalu, bapak terlihat fit, penuh vitalitas. Curhat banyak hal dengan berapi-api, walau ada juga nelangsa di sana sini. Nah, kemudian kata dokter,"Jantung koroner dan ada cairan di paru-paru." Astaga, bapak.
Tiga malam aku menemani bapak di rumah sakit bergantian dengan ibu yang jaga saat siang. Yeni dan Windra sudah balik ke Jakarta. Setiap malam aku merasakan kedekatan dengan bapak walau tanpa percakapan. Bapak sulit sekali ngobrol walau sepertinya ingin ngobrol. Ketika ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba bapak kehilangan ingatan kata apa yang ingin dikatakan, sehingga membuatnya jengkel dan akhirnya terdiam. Ah, bapak.
Perjalanan balik ke Lampung dengan kereta api Krakatau menuju Merak pada 11 Maret lalu membuatku seperti melayang antara nyata dan maya. Tidak tega meninggalkan bapak hanya dengan ibu dan kerabat lain. Mbak Lis dengan anak bayinya tak mungkin diharapkan membantu lebih. Sedang ibu sendiri masih pasien yang tiap bulan mesti kontrol ke rumah sakit karena jantung yang sudah bercincin. Tapi aku juga punya kewajiban-kewajiban di Lampung yang tak mungkin ditinggal.
Aku mesti percaya kalau semua akan baik-baik saja. Saat pamit, aku bisikkan berkali-kali ke bapak. "Aku sayang bapak."

No comments:

Post a Comment