Thursday, March 13, 2014

SAMPAR, SESI PANJANG BELAJAR MENULIS

Judul Buku      : Sampar (La Peste)
Penulis             : Albert Camus, 1947
Penerjemah      : Nh. Dini
Penerbit           : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan 3, 2013.
Tebal               : 386 + x hlm.
Ukuran             : 13,4 x 18,4 cm
Harga               : Rp 49.500
ISBN               :  978-979-461-582-9

Aku membutuhkan waktu lumayan lama untuk membaca buku ini (walaupun sekali duluuu aku pernah membacanya secara tergesa), lebih dari seminggu. Buku yang membuatku bilang,"Aku menemukan lagi satu guru menulis yang membuatku jatuh cinta. Inilah dia orangnya, Albert Camus."

Ya, dia pemenang nobel tahun 1957 dengan hasil karya kelas dunia dalam bahasa Perancis antara lain La Peste, L'Envere et I'Endroit, L'Etranger, Le Mythe de Sisyphe dan La Chute. Pria kelahiran Aljazair 7 Nopember 1913 ini mengawali karier penulisan sebagai wartawan sebelum melahirkan karya-karya sastra. Dia mempunyai pendirian yang teguh tentang kemanusiaan, namun juga sangat sederhana. "Seni bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati seorang diri," begitu menurutnya. Maka, sepenuhnya seorang seniman, juga sastrawan selalu hidup dalam keindahan dan serta merta tak bisa lepas dari kelompok masyarakat.

Albert menyerukan perdamaian, persahabatan antar manusia. Hal itu pula yang kental terasa dalam novel Sampar ini. Dalam kengerian sebuah epidemi, yang mengakibatkan kesakitan, pengucilan dan perpisahan, Albert menyodorkan relasi antar manusia yang saling peduli, sekaligus saling berbagi. Kisah ini memberiku pemahaman yang luas, lengkap dan detail.

Namun, silakan saja membaca sendiri novel ini untuk menemukan persahabatan dengan Albert. Aku sedang ingin menuliskan satu hal yang sungguh-sungguh tersurat dalam novel ini sehingga aku menyebutnya sebagai guru, gu, yang padanya aku jatuh cinta, jatuh hati setengah mati. Dia mengajarku menulis, teguh kukuh dalam kerjaanku sekarang ini (Tentang Nina, Iru, Krishna, ayah, Kandy, Tanjungkarang, bakal cerita panjang yang padanya kusampirkan seluruh malamku. Wuih.), pada satu detil yang aku sebenarnya ingin menyerah beberapa waktu lalu.

Ya, Albert melalui tokoh Grand dalam Sampar memberiku satu pelajaran berharga, seluruh novel itu, tapi lihat secara khusus pada halaman 124 - 128. Aku mengulang bagian-bagian, yang sebenarnya sepele dari keseluruhan Sampar, dengan mata selalu berbeliak, dan kucatat ulang seluruhnya.

Grand, seorang tokoh figuran, dalam seluruh kesesakan hidupnya, terobsesi menuliskan sebuah kisah. Masih berupa satu paragraf yang dia tulis berulang, edit berkali-kali, dan belum selesai sampai entah. Dikatakan kerja hobi ini butuh malam demi malam, minggu demi minggu untuk menyempurnakan satu kata. Bahkan untuk sebuah kata penghubung. 'Tetapi' atau 'dan', 'dan' atau 'lalu', 'lalu' atau 'kemudian', atau bahkan 'dan' atau 'tidak'.

"Ya," kata Grand. "Naskah itu harus sempurna." Maka Grand berkutat pada satu paragraf, ah bukan, satu kalimat. "Suatu pagi yang cerah di bulan Mei, seorang wanita anggun penunggang kuda betina Alezane melewati jalan setapak yang dibatasi bunga-bunga di Bois de Boulogne." Satu kalimat itu saja setelah berbulan-bulan dan hingga berbulan-bulan lagi, dan Grand belum menganggapnya selesai.

Di halaman lain Grand digambarkan mengganti kata 'anggun' dengan 'langsing' karena menurutnya kata ini lebih nyata. Di halaman 327 ditunjukkan hasil penulisan ulang Grand yang kesekian kali tak terhitung. "Di pagi Mei yang cerah, seorang wanita langsing penunggang kuda Alezane yang megah, berjalan di tengah-tengah bunga jalan setapak di Bois..."

Belum selesai. Grand bilang di halaman 382, sejak insiden pembakaran karyanya secara sengaja,"Saya hilangkan semua kata sifat di dalamnya!" Hingga cerita Sampar berakhir, belum diketahui bagaimana akhirnya Grand menyelesaikan kalimatnya itu. Hmmm, keteguhan itu sungguh indah. Bagiku ini akan menjadi sesi belajar yang panjang. Sungguh menarik.

No comments:

Post a Comment