Wednesday, March 05, 2014

Buletin Insan, Maret 2014, KSP Kopdit Mekar Sai



Gerakan Buruh Mandiri dan Tak Terbeli
Ch. Dwi Yuli Nugrahani*

 Perjuangan buruh terus bergerak dinamis sejak muncul kesadaran akan kekuatan massal yang dimilikinya. Salah satu tanda yang dapat dilihat oleh masyarakat luas adalah aksi-aksi setiap 1 Mei (hari Buruh Internasional). Satu dekade terakhir ini gaungnya berkisar pada tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing dan buruh kontrak. Point ini merupakan bagian dari tuntutan akan adanya regulasi yang berpihak pada mereka.
Bukan hanya pada 1 Mei, aksi-aksi terus digodok oleh serikat buruh/pekerja sesuai dengan situasi dan kondisi tempat mereka bekerja. Gerakan ini masih akan terus berkembang karena secara umum bisa dikatakan bahwa buruh Indonesia masih jauh dari hidup layak yang dapat menunjukkan martabat hidup sebagai manusia.
Contoh kecil dapat dilihat dari sekelompok buruh yang bekerja di salah satu perusahaan di Lampung. Mereka digaji Rp. 637.000,- tiap bulan. Gaji pokok ini ditambah dengan tunjangan kehadiran, makan dan transportasi hingga mencapai Rp. 1 juta rupiah. Dengan tanggungan seorang istri dan seorang anak, penghasilan ini jauh dari mencukupi. Masih ditambah lagi, ketika pekerja ini adalah pekerja outsourcing, sewaktu-waktu bisa dipecat jika perusahaan outsourcingnya tidak lagi membutuhkannya. Sampai dia mendapat pekerjaan lagi, bagaimana dia hidup jika mendapat gaji seperti itu, tanpa pesangon dan boro-boro punya tabungan?.

Akrobat Para Buruh
Mulai tahun 2014, upah minimum propinsi (UMP) Lampung adalah Rp 1.399.037,- (Ditetapkan pada Sabtu 7/12/2013). Angka ini diberlakukan untuk pekerja lajang pada tahun pertama bekerja. Dibandingkan dengan tahun-tahun lalu yang UMP selalu di bawah angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tahun ini angka itu setara KHL yang sudah didapatkan Dewan Pengupahan Propinsi dari hasil survey.
Angka KHL menjadi acuan bagi kelayakan hidup pekerja. Di dalamnya ada komponen-komponen kebutuhan hidup sehari-hari yang kemudian nilainya diambil dari survey pasar untuk waktu tertentu. Komponen dari KHL merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Salah satu komponen KHL yang tidak memungkinkan buruh/pekerja bertahan kalau tidak lagi mendapatkan gaji bulanannya adalah komponen tabungan. Disebutkan bahwa komponen tabungan adalah 2 % dari seluruh total kebutuhan yang sudah didapat dari hasil survey, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, dan sebagainya. Dengan angka KHL seperti itu, maka tabungan yang bisa disisihkan oleh para buruh tidak akan melebihi angka Rp. 30.000,- tiap bulan (dengan melihat angka KHL yang sudah ditetapkan). Dengan tidak adanya komponen social cost (biaya-biaya untuk kebutuhan hidup sosial seperti kondangan, melayat, mengunjungi orang sakit dan sebagainya), angka 30 ribu rupiah itu tak mungkin disisihkan karena sudah terpakai untuk biaya sosial.
Maka, yang muncul dan biasa terjadi pada buruh atau keluarga buruh adalah akrobat hutang. Gali lubang, tutup lubang. Kalau ini yang terjadi, keluarga itu tidak akan bisa tahan lebih lama dalam keluarga sejahtera seperti yang diharapkan. Maka, kalau pada akhirnya juga tidak memunculkan para penggerak buruh militan yang bisa berjuang pada ranah lebih tinggi lain misalnya soal kebijakan yang tidak adil, politik dan sebagainya, hal ini bisa dimaklumi karena para buruh masih berkutat pada urusan perut. Atau, kalaupun muncul, mereka masih rentan dimainkan oleh pihak lain, bahkan bisa dibeli oleh kepentingan politik tertentu.

Pemberdayaan Keluarga Buruh
Mau tak mau mereka, para buruh dan keluarganya terkenai dampak yang secara langsung dirasakan saat masalah-masalah perburuhan terjadi. Misalnya karena kebijakan upah murah, perselisihan hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Para buruh dan keluarga banyak yang tidak siap menghadapi masalah-masalah itu sehingga kehidupan mereka dalam keluarga menjadi timpang. Ada yang tertimbun hutang, keputusasaan, bahkan perceraian.
Buruh dan keluarganya masih belum aman dalam pengelolaan finansial/ekonominya. Selain itu mereka juga minim pengetahuan, keahlian dan jaringan. Aktifitas perburuhan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka seringkali berakibat yang sebaliknya pada keluarga masing-masing. Jangankan mendapat dukungan keluarga (istri, suami atau anak), bahkan keluarga bisa jadi menjadi teror bagi aktifis perjuangan buruh karena tidak hasil yang langsung bisa dirasakan oleh keluarga.
Kondisi idealnya, keluarga harusnya memberikan dukungan dan penguatan pada pasangannya yang menjadi aktifis buruh. Mereka juga harus dibantu untuk menemukan kondisi yang aman secara ekonomi dalam keluarga. Tidak hanya mengandalkan upah yang masih sangat tergantung pada kebijakan perusahaan dan pemerintah tapi juga mulai memikirkan alternatif penghasilan lain melalui sumber lain.

Katalisator bagi Gerakan Buruh yang Mandiri
Pelatihan kewirausahaan bagi para pekerja menjadi salah satu alternatif yang bisa mendorong para buruh/pekerja dan keluarganya mempunyai pilihan lain. Mereka akan mempunyai wawasan tentang dunia lain di luar tempat kerjanya selama ini, dan potensi itu bisa digali kembangkan untuk kepentingan finansial mereka.
Anggapan awal bahwa gerakan buruh itu semata ketika vokal dalam aksi di jalan, harus ditambah dengan melihat dalam konteks yang lebih kecil dan konkret, yaitu tentang jaring pengaman ekonomi untuk keluarga masing-masing. Penguatan ekonomi keluarga harus mulai dipikirkan sebagai pendorong bagi gerakan buruh atau perjuangan buruh. Dan ini sangat mungkin untuk dilakukan. Usaha ekonomi mandiri bisa dimulai dari hal yang kecil, tidak harus menunggu modal yang besar.
Dari pengalaman mengadakan pelatihan semacam ini para penggiat serikat buruh dalam lingkaran jaringan yang dimiliki oleh Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) di wilayah Lampung, Palembang, Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah (Wisma Albertus, 1- 3 Nopember 23 menunjukkan hal itu. Dampak yang tak terduga kelihatan dari peserta yang antusias membuat proyeksi usaha, dan langsung menerapkannya untuk diri sendiri, keluarga atau kelompoknya dan juga kesepakatan untuk bertemu lagi untuk mengevaluasinya. Dalam perbincangan selanjutnya dapat dilihat bahwa pelatihan menjadi inspirasi bagi kemajuan ekonomi keluarga mereka.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah solidaritas dalam gerakan buruh. Untuk point ini diperlukan kesadaran untuk tetap hidup dalam komunitas. Jika ini berjalan, kekuatiran atau kecenderungan bahwa seorang yang mulai mapan ekonominya lupa pada perjuangan, tidak perlu terjadi. Dalam pelatihan seperti disebut di atas, salah satu cara untuk terus membangun solidaritas adalah melalui credit union atau koperasi dengan konsep yang benar dalam prinsip dari, oleh dan untuk.

Pendidikan, Swadaya, Solidaritas
Untuk bagian penutup tulisan ini, penulis ingin mengambil saripati dari bahan yang pernah dipaparkan oleh FX. Siman, Ketua Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) Caraka Propinsi Lampung dalam sebuah pelatihan. Ada tiga hal yang bisa mendorong masyarakat, dalam hal ini masyarakat pekerja/buruh, untuk sampai pada kesejahteraan yang hakiki.
Pertama adalah pendidikan. Pendidikan ini penting karena bisa secara bertahap bisa mengubah pola pikir baik bagi penggerak maupun yang digerakkan. Misalnya pendidikan tentang membangun usaha bersama dalam bidang keuangan dengan sistem menabung sesuai kemampuan. Secara bersama baik penggerak maupun yang digerakkan gotong royong membangun permodalan. Pendidikan akan membangun manusia untuk membuka jendela pikiran, melihat bahwa masih banyak hal yang bisa diperbuat di luar hal-hal rutin yang biasa dikerjakan.
Kedua adalah swadaya. Setiap orang bahkan yang kecil dan dianggap tidak mampu pun bisa berswadaya atau mandiri. Hal ini sangat bisa terwujud, tetapi harus dilakukan bersama-sama. Pendapatan sekecil apapun harus diusahakan untuk tidak dihabiskan dalam keadaan apapun. Harus ada yang ditabung.
Ketiga adalah solidaritas. Kesetiakawanan atau solidaritas harus terbangun untuk mendapatkan komunitas gerakan yang kuat. Saling menjaga kepercayaan menjadi salah satu bagian yang tidak bisa ditinggalkan dalam hal ini. Untuk komunitas buruh/pekerja, hal ini sangat krusial dilakukan sebagai proses dalam penyatuan seluruh kekuatan untuk perubahan seperti yang dicita-citakan. Dengan demikian, slogan yang biasa diserukan oleh para buruh bukanlah slogan belaka. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan!

*(Penulis adalah Dewan Penasehat Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL) dan koordinator Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang)

No comments:

Post a Comment