Gerakan Buruh Mandiri dan Tak
Terbeli
Ch. Dwi Yuli Nugrahani*
Perjuangan buruh terus bergerak dinamis sejak muncul kesadaran akan
kekuatan massal yang dimilikinya. Salah satu tanda yang dapat dilihat oleh
masyarakat luas adalah aksi-aksi setiap 1 Mei (hari Buruh Internasional). Satu
dekade terakhir ini gaungnya berkisar pada tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing dan buruh kontrak. Point ini
merupakan bagian dari tuntutan akan adanya regulasi yang berpihak pada mereka.
Bukan hanya pada 1 Mei, aksi-aksi terus digodok oleh serikat buruh/pekerja sesuai
dengan situasi dan kondisi tempat mereka bekerja. Gerakan ini masih akan terus
berkembang karena secara umum bisa dikatakan bahwa buruh Indonesia masih jauh
dari hidup layak yang dapat menunjukkan martabat hidup sebagai manusia.
Contoh kecil dapat dilihat dari sekelompok buruh yang bekerja di salah satu
perusahaan di Lampung. Mereka digaji Rp. 637.000,- tiap bulan. Gaji pokok ini
ditambah dengan tunjangan kehadiran, makan dan transportasi hingga mencapai Rp.
1 juta rupiah. Dengan tanggungan seorang istri dan seorang anak, penghasilan
ini jauh dari mencukupi. Masih ditambah lagi, ketika pekerja ini adalah pekerja
outsourcing, sewaktu-waktu bisa
dipecat jika perusahaan outsourcingnya
tidak lagi membutuhkannya. Sampai dia mendapat pekerjaan lagi, bagaimana dia
hidup jika mendapat gaji seperti itu, tanpa pesangon dan boro-boro punya tabungan?.
Akrobat
Para Buruh
Mulai
tahun 2014, upah minimum propinsi (UMP) Lampung adalah Rp 1.399.037,- (Ditetapkan pada Sabtu 7/12/2013). Angka ini diberlakukan
untuk pekerja lajang pada tahun pertama bekerja. Dibandingkan dengan tahun-tahun lalu yang UMP selalu di bawah angka
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tahun ini angka itu setara KHL yang sudah didapatkan Dewan Pengupahan Propinsi dari hasil survey.
Angka KHL menjadi acuan bagi kelayakan hidup pekerja. Di dalamnya ada
komponen-komponen kebutuhan hidup sehari-hari yang kemudian nilainya diambil
dari survey pasar untuk waktu tertentu. Komponen dari KHL
merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak.
Salah satu komponen KHL yang tidak memungkinkan buruh/pekerja bertahan
kalau tidak lagi mendapatkan gaji bulanannya adalah komponen tabungan.
Disebutkan bahwa komponen tabungan adalah 2 % dari seluruh total kebutuhan yang
sudah didapat dari hasil survey, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal,
transportasi, dan sebagainya. Dengan angka KHL seperti itu, maka tabungan yang
bisa disisihkan oleh para buruh tidak akan melebihi angka Rp. 30.000,- tiap
bulan (dengan melihat angka KHL yang sudah ditetapkan). Dengan tidak adanya
komponen social cost (biaya-biaya
untuk kebutuhan hidup sosial seperti kondangan, melayat, mengunjungi orang
sakit dan sebagainya), angka 30 ribu rupiah itu tak mungkin disisihkan karena
sudah terpakai untuk biaya sosial.
Maka, yang muncul dan biasa terjadi pada buruh atau keluarga buruh adalah
akrobat hutang. Gali lubang, tutup lubang. Kalau ini yang terjadi, keluarga itu
tidak akan bisa tahan lebih lama dalam keluarga sejahtera seperti yang
diharapkan. Maka, kalau pada akhirnya juga tidak memunculkan para penggerak
buruh militan yang bisa berjuang pada ranah lebih tinggi lain misalnya soal
kebijakan yang tidak adil, politik dan sebagainya, hal ini bisa dimaklumi
karena para buruh masih berkutat pada urusan perut. Atau, kalaupun muncul,
mereka masih rentan dimainkan oleh pihak lain, bahkan bisa dibeli oleh
kepentingan politik tertentu.
Pemberdayaan Keluarga Buruh
Mau
tak mau mereka, para buruh dan keluarganya terkenai dampak yang secara langsung
dirasakan saat masalah-masalah perburuhan terjadi. Misalnya karena kebijakan upah murah, perselisihan
hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Para buruh dan
keluarga banyak yang tidak siap menghadapi masalah-masalah itu sehingga
kehidupan mereka dalam keluarga menjadi timpang. Ada yang tertimbun hutang,
keputusasaan, bahkan perceraian.
Buruh dan keluarganya masih belum aman dalam pengelolaan
finansial/ekonominya. Selain itu mereka juga minim pengetahuan, keahlian dan
jaringan. Aktifitas perburuhan yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka seringkali berakibat yang sebaliknya pada keluarga
masing-masing. Jangankan mendapat dukungan keluarga (istri, suami atau anak),
bahkan keluarga bisa jadi menjadi teror bagi aktifis perjuangan buruh karena
tidak hasil yang langsung bisa dirasakan oleh keluarga.
Kondisi idealnya, keluarga harusnya memberikan dukungan dan penguatan pada
pasangannya yang menjadi aktifis buruh. Mereka juga harus dibantu untuk
menemukan kondisi yang aman secara ekonomi dalam keluarga. Tidak hanya
mengandalkan upah yang masih sangat tergantung pada kebijakan perusahaan dan pemerintah
tapi juga mulai memikirkan alternatif penghasilan lain melalui sumber lain.
Katalisator bagi Gerakan Buruh yang Mandiri
Pelatihan kewirausahaan bagi para pekerja menjadi salah satu alternatif
yang bisa mendorong para buruh/pekerja dan keluarganya mempunyai pilihan lain.
Mereka akan mempunyai wawasan tentang dunia lain di luar tempat kerjanya selama
ini, dan potensi itu bisa digali kembangkan untuk kepentingan finansial mereka.
Anggapan
awal bahwa gerakan buruh itu semata ketika
vokal dalam aksi di jalan, harus ditambah
dengan melihat dalam konteks yang lebih kecil dan
konkret, yaitu tentang jaring pengaman ekonomi untuk keluarga
masing-masing. Penguatan ekonomi keluarga harus mulai dipikirkan sebagai
pendorong bagi gerakan buruh atau perjuangan buruh. Dan ini sangat mungkin untuk dilakukan. Usaha ekonomi mandiri
bisa dimulai dari hal yang kecil, tidak harus menunggu modal yang besar.
Dari pengalaman mengadakan pelatihan semacam ini para penggiat serikat
buruh dalam lingkaran jaringan yang dimiliki oleh Forum Komunikasi Serikat
Pekerja Lampung (FKSPL) di wilayah Lampung, Palembang, Jakarta, Jawa Barat dan
Jawa Tengah (Wisma Albertus, 1- 3 Nopember 23 menunjukkan hal itu. Dampak
yang tak terduga kelihatan dari peserta yang
antusias membuat proyeksi usaha, dan langsung menerapkannya untuk diri sendiri,
keluarga atau kelompoknya dan juga kesepakatan untuk bertemu lagi untuk
mengevaluasinya. Dalam perbincangan selanjutnya dapat dilihat bahwa
pelatihan menjadi inspirasi bagi kemajuan ekonomi keluarga mereka.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah solidaritas dalam gerakan buruh.
Untuk point ini diperlukan kesadaran untuk tetap hidup dalam komunitas. Jika
ini berjalan, kekuatiran atau kecenderungan bahwa seorang yang mulai mapan
ekonominya lupa pada perjuangan, tidak perlu terjadi. Dalam pelatihan seperti
disebut di atas, salah satu cara untuk terus membangun solidaritas adalah
melalui credit union atau koperasi
dengan konsep yang benar dalam prinsip dari, oleh dan untuk.
Pendidikan, Swadaya, Solidaritas
Untuk bagian penutup tulisan ini, penulis ingin mengambil saripati dari
bahan yang pernah dipaparkan oleh FX. Siman, Ketua Pusat Koperasi Kredit
(Puskopdit) Caraka Propinsi Lampung dalam sebuah pelatihan. Ada tiga hal yang
bisa mendorong masyarakat, dalam hal ini masyarakat pekerja/buruh, untuk sampai
pada kesejahteraan yang hakiki.
Pertama adalah pendidikan. Pendidikan ini penting karena
bisa secara bertahap bisa mengubah pola pikir baik bagi penggerak maupun
yang digerakkan. Misalnya pendidikan tentang membangun usaha bersama dalam bidang keuangan dengan
sistem menabung sesuai kemampuan. Secara bersama baik penggerak maupun
yang digerakkan gotong royong membangun permodalan. Pendidikan akan membangun manusia untuk membuka jendela pikiran,
melihat bahwa masih banyak hal yang bisa diperbuat di luar hal-hal rutin
yang biasa dikerjakan.
Kedua adalah swadaya. Setiap orang
bahkan yang kecil dan dianggap tidak mampu pun bisa berswadaya atau mandiri.
Hal ini sangat bisa terwujud,
tetapi harus dilakukan bersama-sama. Pendapatan sekecil apapun harus diusahakan untuk tidak dihabiskan dalam keadaan apapun. Harus ada
yang ditabung.
Ketiga adalah solidaritas. Kesetiakawanan
atau solidaritas harus terbangun untuk mendapatkan komunitas gerakan yang kuat. Saling menjaga kepercayaan menjadi salah satu bagian yang tidak bisa
ditinggalkan dalam hal ini. Untuk komunitas buruh/pekerja, hal ini sangat
krusial dilakukan sebagai proses dalam penyatuan seluruh kekuatan untuk
perubahan seperti yang dicita-citakan. Dengan demikian, slogan yang biasa
diserukan oleh para buruh bukanlah slogan belaka. Buruh bersatu tak bisa
dikalahkan!
*(Penulis adalah Dewan Penasehat Forum Komunikasi Serikat
Pekerja Lampung (FKSPL) dan koordinator Bagian Justice and Peace Keuskupan
Tanjungkarang)
No comments:
Post a Comment