Ada rasa takut yang sungguh tidak irasional. Jika menyangkut diriku, satu-satunya urusan takut yang irasional tak masuk akal adalah ... ulat! Ya, binatang kecil inilah yang paling bisa membuatku gemetar ketakutan, entah sekecil apapun dia, entah berbulu atau tidak. Nah, aku tidak takut ular (aku pernah memegangnya, menangkapnya.), juga tidak takut segala binatang melata, kaki seribu, bahkan cacing sekalipun. Tapi kalau ketemu ulat, misal ulat pete yang kecil itu, badanku pasti spontan panas dingin. Parah kan. Boro-boro melihat aslinya, lihat gambarnya saja aku sudah langsung mau pingsan. Pokoke ndak banget deh.
Mengapa itu terjadi aku tak tahu persis. Misalnya pagi ini aku 'ramban' sawi untuk sayur bobor campur dengan tahu. Tanpa syak prasangka aku mengambil daun-daunnya, memotong dan mencucinya. Tapi, begitu mau dimasukin panci, aih, di daun paling atas yang tidak tercelup air cucian, seekor ulil sedang menari dengan genit.
"Bapak, Albert, Bernard, tolong!"
Tiga cowokku itu datang dengan sikap berbeda-beda. Mas Hen langsung menuju arah telunjukku menuding, mengambil baskom sayur dan menyingkirkan ulatnya tanpa banyak cincong. Albert nyengir,"Kirain apaan, bu. Cuma gitu aja takut." Lalu pergi. Bernard dengan lembut memegangku, menenangkan aku, lalu berlari nyusul bapaknya karena mau liat ulatnya macam apa.
"Udah gak ada lagi, bu. Aman." Kata Bernard ketika baskom sayur diletakkan dekat kompor. Tapi tak mungkin aku memegangnya lagi. Badan masih panas dingin, jadi aku mencomot sayuran dengan jepit untuk dimasukkan panci mendidih.Memang ulatnya sudah tak ada, tapi membayangkan jejaknya, mengingat keberadaannya, begitu saja sudah membuat aku gemetar.
Memang, aku yakin ketakutan ini ketakutan irasional yang tak seharusnya terjadi. Beberapa kali dalam hitungan jari aku juga pernah berhasil mengatasinya. Misal dulu saat melewati pohon waru penuh ulat bulu di kaki gunung Semeru, aku menang melewatinya karena aku bakal lebih ketakutan jika ditinggal rombongan pendaki saat senja mulai meremang. Saat lain ketika ada daun dengan ulat dekat bayiku, Albert bayi, maka aku jadi ibu gagah perkasa membuang daun itu. Juga saat ada serbuan endemi ulat di teras kantor dan sedang ada pemimpin Depag Propinsi datang berkunjung. Aku bisa nahan diri tidak ginjal-ginjal di depan tokoh pemerintah itu saat melihat buanyak ulat bulu di pagar demi penghormatan. Selebihnya? Ah yo parah tenan. Entah mengapa binatang kecil ini begitu jadi racun dalam hidupku, padahal aku sangat suka pada kupu-kupu dan tidak masalah memegang kepompong.
No comments:
Post a Comment