Kalau anda semua bertandang ke rumahku, anda tak akan menemukan galon air minum atau dispenser. Yang ada adalah tempat air minum biasa plus ceret. Tiap hari aku merebus air minum dari sumur yang ada di belakang rumah. Sumur ini dalamnya sekitar 4 meter, selalu menyediakan air di musim apapun. Tidak pernah kering. Hanya saja kalau hujan sangat deras dan lama, air sumur menjadi keruh dan ini membuatku mesti menyiapkan tandon air yang cukup minimal untuk dua hari kebutuhan masak-memasak.
Karena aku punya sumber air sendiri yang terhubung secara langsung, maka aku sangat peduli pada kelangsungannya dan juga mutunya. Maka di sekitar rumah kecil kami, full dengan tanaman-tanaman peneduh yang sekaligus berfungsi sebagai penahan air.
Aku tidak mau kehilangan kemerdekaan mendapatkan air gratis yang bermutu. Pabrik-pabrik air minum kemasan sudah menjadi salah satu pemisah manusia terhadap sumber air. Karena tidak ada hubungan langsung dengan sumber air (minum), manusia menjadi tak tahu bagaimana kondisi sumber air dan apa yang terjadi padanya pada akhir-akhir ini. Mereka tak tahu bagaimana kualitas air, perlakuan kimia apa yang sudah dipaksakan untuk mendapatkan mutu air yang mendekati layak, perlakuan apa saja yang merusak sumber air itu dan sebagainya.
Hmmm, padahal sayang sekali. Air mestinya seperti sinar matahari dan udara yang tersedia gratis. Kini air minum dijual sekian ribu per liter. Hampir sama atau beberapa merk malah lebih mahal dari pada harga bensin atau bahan bakar yang jelas semakin langka dan butuh proses lebih lama untuk membuatnya. Siapa yang diuntungkan?
No comments:
Post a Comment