Untuk kali kesekian tak terhitung orang bertanya,"Jadi, kamu tuh sebenarnya cerpenis atau penyair? Mau cerpen atau puisi?" Selalu aku jawab dengan mantap,"Aku ini cerpenis. Tentu saja aku akan menulis cerpen selamanya." Lalu puisi-puisi itu? Okey, baiklah, aku akan tulis sedikit tentang hal ini. Mungkin tidak menjawab seluruh pertanyaan tapi minimal aku bisa menceritakan sedikit tentang puisi-puisiku ini.
Aku mengenal puisi pertama kali ketika aku sekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Tentang sekolah TK ini aku mesti jujur bahwa aku tidak lulus dan tidak punya ijazahnya lantaran jarang masuk. Waktu itu aku diajak oleh guruku yang manis, Bu Pipit untuk ikut lomba deklamasi. Judul puisinya : Pahlawan. Entah karangan siapa. Bu Pipit tidak memberitahu aku akan ikut lomba atau mungkin memberitahu tapi aku belum mengerti lomba itu apa. Yang jelas aku senang membaca puisi pertamaku ini. Aku cepat menghafalnya karena aku termasuk cerdas (heheehe, iyalah, IQku selalu di atas rata-rata pada test beberapa kali saat sekolah dulu) dan aku suka meneriakkan puisi pertama ini kuat-kuat di setiap waktu sehingga hampir semua bulikku pun ikut hafal, sampai sekarang. "Pahlawan. Darahmu membasahi bumi persada..." Soal seluruh bulikku jadi hafal puisi ini karena peristiwa lomba itu akhirnya menjadi peristiwa paling memalukan yang pernah terjadi dalam sejarah pembacaan puisi sepanjang hidupku dan mesti kualami saat masih sangat dini di usia 4 tahun. Hehehe...
Alkisah, aku sudah ada di atas panggung lomba deklamasi untuk siswa-siswi TK tingkat kecamatan. Aku tidak menyangka kalau aku mesti membaca puisi itu di hadapan buanyak orang yang sebagian besar tak kukenal. Sebagian kecil kukenal justru duduk di bagian depan yaitu Pak Puh No (kakak ibuku) menjadi juri, lalu bupuh dan bulik-bulikku yang ikut nonton, juga ibuku. Aku mulai meneriakkan judulnya. Mikenya kurang pas di mulutku maka seseorang maju untuk menurunkan letak pengeras suara itu. Maka di baris awal, suaraku pun menggelegar keras karena memang aku berteriak bukan bersuara, dan inilah kali pertama aku mendengar suaraku dengan pengeras suara maka... shock. Kaget oleh suaraku sendiri. Aku lupa baris berikutnya, hafalanku porak poranda, aku terdiam, menarik-narik rokku sendiri, mulai akan menangis... hingga Bu Pipit menyelamatkanku, menurunkan aku dari panggung. Huh, penampilan pertamaku gagal total. Aku masih menyimpan foto bersama seluruh peserta aku ngumpet di bagian belakang dengan wajah nyaris menangis.
Lalu aku tak pernah lagi berurusan dengan puisi. Aku lebih banyak sendirian (aku nyaris tidak punya sahabat saat SD dan SMP), mencoret, mewarna, melukis, membaca, menulis... hingga suatu waktu saat SMP aku menulis gurit, puisi bahasa Jawa, kukirim ke Majalah Panyebar Semangat (majalah bahasa Jawa langganan mbahku), dan dimuat. Aku lupa puisi itu tentang apa dan bagaimana tapi aku dapat pujian dan dorongan dari Bu Purnami, guru bahasa Indonesiaku yang mengenalkan aku pada penulis-penulis Chairil Anwar, NH Dini, STA dsb. Lalu pada saat kelas 3 SMP aku gak mau lagi melukis dan aku 'merayu' bapakku, Pak Sam, yang kebetulan guruku saat SMP untuk ikut lomba baca puisi mewakili sekolah. Aku ingat aku dapat juara dua dikalahkan oleh Yuli yang lain, salah satu siswa lain sekolah.
Saat SMA aku mulai menulis-nulis buku harian tak teratur, sebagian bentuknya puisi. Curhat-curhat menye-menye. Ini berlanjut hingga kuliah. Tak sekalipun aku menganggap puisi sebagai bentuk tulisan yang serius. Aku menggunakannya sebagai curahan hati, curhat, karena di dalamnya aku bisa sembunyi dengan enak tanpa harus memendam perasaan. Ini cocok dengan karakterku yang introvert waktu itu (sekarang aku lebih membuka diri. Asli.) Saat kuliah ini pula aku mulai bicara tentang puisi dengan salah satu sahabatku, Fr, Nanglik (sekarang pastur, Rm. Edi Laksito) Aku suka puisi-puisi yang dia buat dan aku terpacu membuat puisi serupa untuk kutunjukkan padanya.
Kemudian puisi-puisi tak lagi terjamah saat saat aku mulai bekerja, menikah hingga kemudian pada tahun 2005 aku mulai membuat blog dan mengelola Nuntius. Aku mulai bersentuhan lagi dengan puisi. Membaca dan menulis puisi serta belajar puisi. Isbedy Stiawan pernah aku undang untuk membantu teman-teman relawan Nuntius pada 2007-an untuk belajar puisi. Tentu saja aku ikut juga dalam sesi belajar puisi itu. Dan itu sangat menyenangkan. Aku melanjutkannya dengan koresponden lewat email beberapa kali, namun bapak Paus Puisi dari Lampung ini selalu menyebut,"Puisimu masih curhat banget." Jadi aku mulai pasrah, ya sudah, biar saja puisiku untuk curhat saja. Lalu ketika tahun 2008 aku mulai memublikasikan cerpen, puisi-puisi tetap aku buat, tentu saja sebagai curhat.
Tahun 2013 adalah tahun puisi bagiku. Aku menulis puisi buanyak banget justru saat aku sedang getol serius belajar cerpen. Cerpenku sudah beredar banyak di media, juga masuk dalam antologi Dewan Kesenian Lampung, tapi aku belum puas. Kebetulan sekali aku bersama Dina Amalia Susamto terjaring tak sengaja dalam perbincangan dengan Ahmad Yulden Erwin dalam sebuah grup sastra di Facebook untuk belajar nulis cerpen. Masa ini bisa dikatakan sebagai masa pencerahan, namun cerpen-cerpen justru mengalami kebuntuan. Tak ada cerpen yang bisa kuselesaikan walau aku punya bakal cerpen yang super banyak.
Puisi-puisi menjadi penyalur bagi ide-ide di otak. Mereka mengalir mendahului cerpen. Berhamburan setiap hari. Kesempatan bertemu penyair-penyair lain di Lampung walau bukan pertemuan intensif turut memberikan dorongan bagi puisi-puisi ini. Kesempatan datang ke Taman Budaya dan terlibat perbincangan-perbincangan singkat turut menjadi pemantik ide. Buku-buku puisi dari siapa saja mulai kulahap. Kamus, thesaurus, dan catatan-catatan siapapun menjadi guru bagiku. Buahnya, puisi menjadi sarana belajar juga dalam perkembangan cerpenku, khususnya dalam pengetahuan Bahasa Indonesia, diksi dan penyampaian imaji.
Lebih dari seratus puisi kubuat hingga kini. Mungkin ratusan. Sebagian besar diantaranya curhat belaka. Sebagian dari antaranya kubuat serius dengan pengeditan berkali-kali. Dalam beberapa kesempatan, Ari Pahala Hutabarat (yang kukenal sejak 2007 atau 2008 saat bengkel penulisan cerpen) mesti kusebut sebagai pendorong dengan cara yang kadang tak kumengerti, lewat perbincangan tak sengaja tanpa ujung pangkal di teras Taman Budaya, teras IAIN, teras... hmmm, teras manapun. "Mana warna Katolikmu?" Aku seorang Katolik, tapi memang aku tak pernah menggarap tema Katolik secara serius di cerpen yang kupublikasi. Mana Katolikku? Mereka muncul di puisi, tapi aku lebih suka menyebutnya 'kedalaman hatiku' bukan 'katolisitasku'. Memang aku seorang Katolik yang dibaptis, tapi apakah aku sungguh-sungguh Katolik? Memang aku mengidolakan Yesus sebagai panutan manusia radikal, tapi apakah aku sungguh-sungguh pengikutNya? Pencarian, mungkin itulah faseku di ranah ini. Ari mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan (sebagian diantaranya di kuping dan hatiku terasa sebagai tuntutan), dan aku belum bisa menjawabnya dengan cerpen atau novel (yang menjadi bagian dari obsesiku). Tapi aku bisa mengalirkannya melalui puisi.
Sekarang aku menganggap puisi adalah proses pembelajaranku. Dan aku serius dengannya. Masih curhat, bisa jadi. Tapi saat mengeditnya, aku tak mungkin lagi mengabaikan seluruh pelajaran bahasa Indonesia dan juga contoh-contoh puisi bermutu karangan sastrawan luar maupun dalam negeri yang penuh mutu yang pernah kubaca. Aku beruntung mendapatkan banyak guru dalam hal ini. Aku sangat beruntung juga mengalami peristiwa-peristiwa yang membuatku menjadi 'kaya' dengan percikan-percikan ide dan ilmu.
Tapi aku akan selalu bilang aku ini cerpenis, yang mungkin suatu ketika akan menjadi novelis. Walau aku mengeluarkan banyak puisi atau buku puisi, aku ingin tetap dikenal sebagai cerpenis atau mungkin suatu ketika novelis. Aku serius dalam hal ini.
No comments:
Post a Comment