Thursday, July 19, 2012

Rindu Kahlil Gibran

Gibran di masa mudanya.
Pernah satu masa, aku sangat suka Kahlil Gibran. No, no, tidak hanya suka tapi lebih. Lebih dari suka. Semua tulisannya dalam buku-buku menjadi koleksiku paling berharga. Sayap-Sayap Patah, Sang Nabi, Si Gila, Taman Sang Nabi, puisi-puisi cinta, Surat-surat Cinta, kata mutiara, dan entah apa lagi. Juga tulisan yang ada hubungannya dengan Gibran, seperti surat May Ziadah untuk Gibran selalu menarik perhatianku.Aku membacanya berulang kali.
Beberapa hari lalu tiba-tiba aku ingat dia, setelah belasan tahun tak terusik. Tiba-tiba aku rindu memegang Gibran kembali. Aku telisik deretan buku-bukuku di rumah maupun di kantor. Kemana? Aku tak menemukannya. Hanya ada satu buku warna ungu, Surat Cinta Kahlil Gibran untuk May Ziadah. Yang lain tidak kutemukan. Aku ingin membaca tulisannya yang untuk umum, bukan hanya untuk May. Dan lagi aku merasa tidak fair jika aku menganggap diriku May bagi Gibran, sesuai rasa yang kuperoleh ketika aku membacanya. Itu jelas berlebihan tidak masuk akal.
 
1 November 1920
May sayang,
Jiwa itu, May, tidak bisa melihat sesuatu dalam kehidupan ini kecuali apa yang ada dalam jiwa itu sendiri. Ia hanya percaya terhadap peristiwanya sendiri, dan jika ia mengalami sesuatu maka hasilnya menjadi bagian dari dirinya. Tahun lalu aku mengalami sesuatu yang ingin ku simpan menjadi rahasia, tetapi aku tak bisa melakukannya. Ternyata rahasia itu ku sampaikan juga kepada seorang kawan tempat aku biasanya mengadukan segala rahasiaku, karena aku merasa bahwa aku sangat memerlukan seseorang tempat aku mengutarakan isi hatiku. Tapi, tahukah kau apa yang di katakannya padaku? Tanpa pikir panjang ia berkata padaku : “Ini hanyalah nyanyian yang merdu.” Taruhlah seseorang mengatakan kepada ibu yang sedang menggendong bayi di tangannya bahwa ia sedang membawa sebuah patung kayu, apakah kira-kira jawabannya? Bagaimana perasaan si ibu itu?
Beberapa bulan telah lewat, namun kata-kata itu (“nyanyian merdu”) masih terngiang-ngiang di telinga, namun sahabatku itu tidak puas dengan apa yang di ucapkan saja. Ia juga mengawasiku, menegurku dan menusuk tanganku dengan paku setiap kali aku mencoba menyentuhnya. Akibatnya aku menjadi putus asa, tapi May, putus asa itu adalah sebuah rasa kasih yang mati. Itulah sebabnya baru-baru ini aku sengaja “duduk” di depanmu dan “memandang” wajahmu tanpa berkata sepatah katapun dan tidak hendak menulis sesuatu padamu, karena hatiku berkata: “Aku tak punya kesempatan untuk itu.”
Namun pada setiap musim dingin hati terdapat getaran musim semi, dan di balik selubung setiap malam terdapat senyum sang fajar. Kini, putus asaku telah berubah menjadi harapan.

Gibran
Gibran kali ini menjadi kerinduan yang tak tertuntaskan. Aku tak akan membeli buku-bukunya lagi seperti gadis belasan tahun yang jatuh tersungkur cinta. Itu aku di masa lampau. Karena aku di masa kini mempunyai prioritas lain untuk kubeli, kudatangi dengan hasrat, dan semua akan kulakukan dengan kesadaran kepentingan. 
Pun Gibran tidak bisa kukatakan sebagai 'sekedar Gibran'. Aku telah menyimpan sebagian dari ingatan pada pikirannya dan hatinya. Ah, aku tidak mengenali pikiran dan hatinya, tapi jelas aku sangat dekat padanya.
Biarlah kali ini aku menjadi 'May Ziadah baru', kekasihnya yang tak pernah dijumpai. Kekasih yang menyapa lewat kerinduan dan tulisan. Tak pernah berhasil mereka fisiknya yang tampan dalam bayangan dalam selang jaman.
Tapi sungguh, malam hingga pagiku, aku mengempis dalam pelukan rindu pada 'Gibran'ku.

No comments:

Post a Comment