(Kisah sebelumnya.)
...
Aku berada di dalam hutan hujan. Sangat lebat dengan jarum-jarum air, yang sejuk persis mengenai permukaan kulit. Sungguh menyenangkan berada di tempat seperti ini. Semuanya terlihat basah, segar.
Sayang, rupanya tirai dari langit ini sering kali menutup pandangan mata sehingga tampak semua berselimutkan keabuan. Warna aslinya tertutup oleh garis-garis air yang kelewat lebat.
Sesekali aku berjalan meneduh. Di gubuk-gubuk buatanku sendiri ini tetap saja ada percik air, tapi dalam jarak pandangku menipis, hanya di sekitar dekat saja terlihat jelas. Kejauhan menjadid kegelapan yang tak ketahuan sedikitpun detailnya.
Aku tertawa lepas ketika aku mengenali sesosok rupawan di situ. Rupanya ada Dew di salah satu gubuk. Aku segera menghambur ke sana, ke dalam pelukannya yang kokoh. Hilang sudah basah kuyupku, berganti dengan cemerlang embun malam. Aku merasakan manis ketika lidahku menjilat seluruh tubuhnya. Membawaku pada sayap-sayap raksasa yang menerbangkanku pada nikmat candu yang luar biasa.
Kelegaan ini...tidak lama. Tiba-tiba sepasang tangan gelap menyergap Dew, membawanya pergi menembus langit gelap. Tak kelihatan apa-apa. Aku panik menjerit dan mencoba menggapainya. Tak ada Dew, yang ada hanya hujan, hutan hujan. Dan kegelapan!
...
Aku terbangun dengan badan basah kuyup berkeringat. Para dayang di sekitarku tertidur pulas. Di sekitar kaki mereka berserakan gelembung-gelembung mimpi yang masih mentah. Dan di seputar matanya bertebaran peri-peri tidur yang pekat. Sangat pulas. Hehm...kenapa para peri itu tidak melingkupi aku? Hehmm...
Mimpi yang barusan aku makan dari talam para dayang itu hasil ramuan tanganku sendiri. Persis seperti bagaimana otakku bekerja. Aku tidak suka situasi ini. Bagaimana aku tidak boleh mengeluh pada situasi seperti ini? Tidak satupun yang terjadi sesuai dengan yang aku inginkan. Tak ada satupun yang terjadi sesuai dengan harapanku. Aku tidak bisa memaksakan satu senyumpun ke udara.
Tak berniat bangun, namun aku berjingkat melewati para dayang itu. Silakan mereka bercinta dengan para peri tidur. Satu hal yang bisa aku lakukan adalah menyendiri. Dan pojok taman itu menjadi tempat yang tepat.
Memang tempat yang tepat... (bersambung)
Wednesday, April 29, 2009
Friday, April 24, 2009
Conspiracy (3)
(Kisah sebelumnya.)
"Para Gopi adalah sahabat kita. Mereka teman-teman terbaik yang kita punyai, Lady. Bagaimana bunga-bunga bisa mekar ketika mereka datang, Lady ingat? Bagaimana kupu-kupu menari di mata putri ketika mereka berdendang, Lady ingat? Bagaimana air menjadi sejuk dengan sentuhan tangan mereka, Lady ingat?"
Suara Princes of Heart seperti lagu sayup-sayup di telingaku. Aku merosot lemah.
"Hei, hei. Tegakkan badan Lady." Bisiknya kembali. Aku melirik pada Brain yang juga tengah melotot padaku. Aku tahu dia paling tidak suka jika aku hilang kendali, tapi memang betul, sekarang aku sedang hilang kendali. Aku mau Dew, aku mau dia. Aku menutup mata. Ketika aku membuka mata, Brain sudah ada di depanku, berlutut dengan mata yang tajam persis pada mataku.
"Hei, putri. Dengarlah. Terus terang, bagi kami tidak penting Dew atau apapun yang lain. Bagi kami yang penting adalah dirimu. Kamulah yang harus kami jaga supaya tetap hidup dalam keseimbangan, karena ketika kamu hidup kami juga akan hidup. Jadi mulailah kembali sebagai putri dengan akal sehat."
Hah, aku sangat marah. Bagaimana mungkin dia bicara begitu padaku? Jika aku yang dia anggap penting itu sangat memandang penting pada sesuatu, maka sesuatu itu juga harus penting baginya. Bagaimana mungkin dia bisa bicara begitu?
Aku tidak sudi melihat wajah Brain yang kaku di depanku. Princes of Heart membisikkan sesuatu ke Brain, lalu memandangku dengan senyumnya yang lembut.
"Istirahatlah, Lady. Biarkan kami membahas ini untukmu. Kali ini, percayalah penuh pada kami. Tidurlah..."
Bagaimana mungkin aku tidur? Brain ternyata tidak bisa dipercaya untuk tugas ini. Dan tidak ada yang bisa menghiburku, satupun.
"Sudahlah, Lady. Tidurlah. Aku akan minta para dayang menyiapkan mimpi-mimpi dalam talam. Mimpi yang digoreng renyah, dengan taburan segala rasa di atasnya, seperti kesukaanmu. Ketika kamu bangun nanti, semua akan baik-baik saja. Ayolah..." Tangannya membimbingku meninggalkan rapat dengan para panglima itu. Brain terlihat menahan diri, tapi satu sikunya mencoba menopangku supaya aku cepat berdiri. Namun aku tidak mau menoleh padanya. Sikapnya yang tidak bersahabat itu sulit aku terima.
"Kau akan menemani ku?" Bisikku.
"Iya, jangan kuatir. Tapi begitu kau terlelap dalam mimpi, biarlah aku digantikan para dayang itu. Mereka lebih pintar meramu mimpi. Lady tinggal menggumamkan aku saja lewat tidur, pasti mereka sudah paham apa yang harus mereka hidangkan padamu."
"Tapi mereka kadang usil."
"Itu karena Lady sendiri usil menggumam yang aneh-aneh."
Princes of Heart menemaniku hingga tempat tidur, mengipas badanku dengan tubuhnya yang subur hangat, dan mengusap-ngusap mataku hingga terlelap. Aku siap bermimpi... (bersambung)
"Para Gopi adalah sahabat kita. Mereka teman-teman terbaik yang kita punyai, Lady. Bagaimana bunga-bunga bisa mekar ketika mereka datang, Lady ingat? Bagaimana kupu-kupu menari di mata putri ketika mereka berdendang, Lady ingat? Bagaimana air menjadi sejuk dengan sentuhan tangan mereka, Lady ingat?"
Suara Princes of Heart seperti lagu sayup-sayup di telingaku. Aku merosot lemah.
"Hei, hei. Tegakkan badan Lady." Bisiknya kembali. Aku melirik pada Brain yang juga tengah melotot padaku. Aku tahu dia paling tidak suka jika aku hilang kendali, tapi memang betul, sekarang aku sedang hilang kendali. Aku mau Dew, aku mau dia. Aku menutup mata. Ketika aku membuka mata, Brain sudah ada di depanku, berlutut dengan mata yang tajam persis pada mataku.
"Hei, putri. Dengarlah. Terus terang, bagi kami tidak penting Dew atau apapun yang lain. Bagi kami yang penting adalah dirimu. Kamulah yang harus kami jaga supaya tetap hidup dalam keseimbangan, karena ketika kamu hidup kami juga akan hidup. Jadi mulailah kembali sebagai putri dengan akal sehat."
Hah, aku sangat marah. Bagaimana mungkin dia bicara begitu padaku? Jika aku yang dia anggap penting itu sangat memandang penting pada sesuatu, maka sesuatu itu juga harus penting baginya. Bagaimana mungkin dia bisa bicara begitu?
Aku tidak sudi melihat wajah Brain yang kaku di depanku. Princes of Heart membisikkan sesuatu ke Brain, lalu memandangku dengan senyumnya yang lembut.
"Istirahatlah, Lady. Biarkan kami membahas ini untukmu. Kali ini, percayalah penuh pada kami. Tidurlah..."
Bagaimana mungkin aku tidur? Brain ternyata tidak bisa dipercaya untuk tugas ini. Dan tidak ada yang bisa menghiburku, satupun.
"Sudahlah, Lady. Tidurlah. Aku akan minta para dayang menyiapkan mimpi-mimpi dalam talam. Mimpi yang digoreng renyah, dengan taburan segala rasa di atasnya, seperti kesukaanmu. Ketika kamu bangun nanti, semua akan baik-baik saja. Ayolah..." Tangannya membimbingku meninggalkan rapat dengan para panglima itu. Brain terlihat menahan diri, tapi satu sikunya mencoba menopangku supaya aku cepat berdiri. Namun aku tidak mau menoleh padanya. Sikapnya yang tidak bersahabat itu sulit aku terima.
"Kau akan menemani ku?" Bisikku.
"Iya, jangan kuatir. Tapi begitu kau terlelap dalam mimpi, biarlah aku digantikan para dayang itu. Mereka lebih pintar meramu mimpi. Lady tinggal menggumamkan aku saja lewat tidur, pasti mereka sudah paham apa yang harus mereka hidangkan padamu."
"Tapi mereka kadang usil."
"Itu karena Lady sendiri usil menggumam yang aneh-aneh."
Princes of Heart menemaniku hingga tempat tidur, mengipas badanku dengan tubuhnya yang subur hangat, dan mengusap-ngusap mataku hingga terlelap. Aku siap bermimpi... (bersambung)
Thursday, April 23, 2009
Conspiracy (2)
(Kisah sebelumnya.)
Nafas panjang membawaku pada kenangan beberapa lingkaran purnama yang pernah menghiasi mahkotaku. Sungguh, aku rindu Dew. Dia memiliki cawan-cawan yang ranum, ditawarkan padaku, untuk ku hirup. Menjadi penyegar bagi dahaga sepanjang pagi, siang dan malam. Dia memiliki wajah rupawan yang rela hati dipajang di pigura malamku.
"Hanya malam?" Pernah dia bertanya begitu. Aku tahu bahwa dia tahu persis tak akan mungkin hidup di siang istana dan taman sariku. Dia hanya bisa bertahan pada malam. Aku terjingkat mengingat hal itu. Apakah dia mungkin sakit hati karena tidak pernah aku junjung pada siang atau aku sapa pada pagi hari? Karena itu dia pergi?
Aku ingat pada suaranya, yang merayu mendayu minta dipuja. Dan aku memujanya.
"Tapi tak akan membasahimu, hem?" Dia merajuk. Ya, tentu. Hanya setetes kerling, tapi keindahannya mematri seluruh tubuhku. Ah, dia tidak percaya. Apa mungkin dia sudah bosan tidak percaya sehingga dia pergi?
Aku kibaskan dua pemikiran itu. Aku lebih suka membayangkan dia diculik. Iya! Pada satu malam yang lalai, ia telah diculik oleh rombongan Gopi, yang memang sering mampir di istanaku. Iya! Kenapa aku tidak berpikir itu dari tadi.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak nyata di tengah lamunan. Brain dan para panglima yang sedang rapat itu menoleh cepat padaku.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak lagi. Brain tidak menggeleng dan tidak mengangguk. Menoleh pada panglimaku yang paling lembut, Princes of Heart, yang langsung meludahkan senyum dan berjalan padaku.
"Betul! Ayolah, kalian harus percaya! Para Gopi yang telah menculik Dew. Kasihan dia!" Princes of Heart memegang kedua mataku, hingga mengalir gerimis di ujung-ujungnya.
"Kasihan dia. Kalian harus selamatkan dia. Selamatkan dari para Gopi..." Kini aku benar-benar menangis.
"Lady, tenanglah..." Katanya yang lembut malah membuatku semakin kencang menangis. Aku merasakan penderitaan yang teramat dalam. Dew, kau tidak apa-apa kan? Aku tidak tahan membayangkan Dew tidak selamat di tangan para Gopi.
"Lady, tenanglah..." Kali ini aku sudah dalam pelukan Princes of Heart, menekanku hingga aku tidak bisa lagi bicara. Aku tahu, saat seperti ini biasanya memberikan kelegaan yang rumit, ah, mungkin bukan lega, karena aku juga merasakan sakit... sangat sakit.
Tapi, baiklah, aku pasrah pada rangkulan ini. Tangan Heart menggerus, meremas seluruh wajahku, melumatkanku dalam air mata... (bersambung)
Nafas panjang membawaku pada kenangan beberapa lingkaran purnama yang pernah menghiasi mahkotaku. Sungguh, aku rindu Dew. Dia memiliki cawan-cawan yang ranum, ditawarkan padaku, untuk ku hirup. Menjadi penyegar bagi dahaga sepanjang pagi, siang dan malam. Dia memiliki wajah rupawan yang rela hati dipajang di pigura malamku.
"Hanya malam?" Pernah dia bertanya begitu. Aku tahu bahwa dia tahu persis tak akan mungkin hidup di siang istana dan taman sariku. Dia hanya bisa bertahan pada malam. Aku terjingkat mengingat hal itu. Apakah dia mungkin sakit hati karena tidak pernah aku junjung pada siang atau aku sapa pada pagi hari? Karena itu dia pergi?
Aku ingat pada suaranya, yang merayu mendayu minta dipuja. Dan aku memujanya.
"Tapi tak akan membasahimu, hem?" Dia merajuk. Ya, tentu. Hanya setetes kerling, tapi keindahannya mematri seluruh tubuhku. Ah, dia tidak percaya. Apa mungkin dia sudah bosan tidak percaya sehingga dia pergi?
Aku kibaskan dua pemikiran itu. Aku lebih suka membayangkan dia diculik. Iya! Pada satu malam yang lalai, ia telah diculik oleh rombongan Gopi, yang memang sering mampir di istanaku. Iya! Kenapa aku tidak berpikir itu dari tadi.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak nyata di tengah lamunan. Brain dan para panglima yang sedang rapat itu menoleh cepat padaku.
"Ini pekerjaan para Gopi!" Aku berteriak lagi. Brain tidak menggeleng dan tidak mengangguk. Menoleh pada panglimaku yang paling lembut, Princes of Heart, yang langsung meludahkan senyum dan berjalan padaku.
"Betul! Ayolah, kalian harus percaya! Para Gopi yang telah menculik Dew. Kasihan dia!" Princes of Heart memegang kedua mataku, hingga mengalir gerimis di ujung-ujungnya.
"Kasihan dia. Kalian harus selamatkan dia. Selamatkan dari para Gopi..." Kini aku benar-benar menangis.
"Lady, tenanglah..." Katanya yang lembut malah membuatku semakin kencang menangis. Aku merasakan penderitaan yang teramat dalam. Dew, kau tidak apa-apa kan? Aku tidak tahan membayangkan Dew tidak selamat di tangan para Gopi.
"Lady, tenanglah..." Kali ini aku sudah dalam pelukan Princes of Heart, menekanku hingga aku tidak bisa lagi bicara. Aku tahu, saat seperti ini biasanya memberikan kelegaan yang rumit, ah, mungkin bukan lega, karena aku juga merasakan sakit... sangat sakit.
Tapi, baiklah, aku pasrah pada rangkulan ini. Tangan Heart menggerus, meremas seluruh wajahku, melumatkanku dalam air mata... (bersambung)
Thursday, April 16, 2009
Conspiracy (1)
Rapat akbar kali ini aku tidak sabar menunggu para panglimaku mengumpulkan pasukannya masing-masing. Aku sangat heran pada kelambanan mereka.
"Maafkan, putri. Kami justru lebih cepat dari biasanya datang menghadapmu." Bisik Princes of Eyes, di pelipisku. Aku cemberut melotot padanya. Dia mundur dalam kedipan kelopakku.
Butuh beberapa menit hingga aku bisa menata nafas dan mereka menata barisannya dengan sadar. Protokol Brain melangkah pelan, rapi seperti biasanya, tepat di depan pandangan mataku. Membuka manuskrip hasil coretanku semalam. Aku meyakinkan diri bahwa semua sudah aku ungkap padanya, dan aku berharap dia merapikannya seperti biasa dengan bahasa yang mampu dipahami oleh semua pasukan dari panglima dan kroconya, yang aku maklumi ketika sering salah.
"Kali ini aku tidak mau salah!" Teriakku tanpa komando. Brain menatapku tidak senang. Memandang belatinya aku berupaya sekuat tenaga untuk tenang. Bagi Brain, walau aku seorang putri, justru aku seorang putri, aku harus menjaga sikap, apalagi di depan para pasukan ini. Aku mengeraskan tapak kakiku dan menarik tafas panjang, menahan diri.
Brain mendehem sedikit, batuk tanpa sakit yang sudah aku kenal sedari aku bayi. Deheman yang mengajar aku mulai dari dini.
"Putri mengucapkan terimakasih karena kehadiran semua. Selamat datang dalam kelengkapan rapat akbar ini." Kali ini aku benci basa basi ini. Cepatlah, Brain, langsung saja.
Sekilas Brain menatap cemberutku. Saat itu manuskrip sudah terbuka sempurna.
"Ada satu rencana yang harus kita bagi dalam tugas-tugas. Masing-masing panglima akan mendapat detailnya usai saya jabarkan rencana ini." Ini sangat serius Brain, jangan terlalu lama!
"Mengambil kembali Knight of Night Dew." Huh, aku menarik nafas membuang rasa sebalku. Bagaimana aku bisa dikelilingi makluk-makluk seperti ini. Aku tidak sabar.
Terompet berbunyi dengan kode khusus dari Brain yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Sekejab lima panglima berjalan tegap ke hadapan Brain, dan satu panglima lagi berjalan dengan kelembutannya. Ah, untuk yang satu ini aku hanya bisa tersenyum. Selalu tersenyum padanya. Tapi, oh, mau tidak mau aku harus percaya pada lima eh enam panglima ini.
Brain memimpin rapat kecil itu, dengan bisik yang bahkan aku tidak mendengarnya. Aku tidak punya energi lebih untuk berjalan ke arah mereka, jadi aku mempercayakannya saja pada mereka bertujuh. Sudah banyak yang mereka lakukan untukku, kali juga akan begitu. Aku menarik nafas panjang kembali... (Bersambung)
"Maafkan, putri. Kami justru lebih cepat dari biasanya datang menghadapmu." Bisik Princes of Eyes, di pelipisku. Aku cemberut melotot padanya. Dia mundur dalam kedipan kelopakku.
Butuh beberapa menit hingga aku bisa menata nafas dan mereka menata barisannya dengan sadar. Protokol Brain melangkah pelan, rapi seperti biasanya, tepat di depan pandangan mataku. Membuka manuskrip hasil coretanku semalam. Aku meyakinkan diri bahwa semua sudah aku ungkap padanya, dan aku berharap dia merapikannya seperti biasa dengan bahasa yang mampu dipahami oleh semua pasukan dari panglima dan kroconya, yang aku maklumi ketika sering salah.
"Kali ini aku tidak mau salah!" Teriakku tanpa komando. Brain menatapku tidak senang. Memandang belatinya aku berupaya sekuat tenaga untuk tenang. Bagi Brain, walau aku seorang putri, justru aku seorang putri, aku harus menjaga sikap, apalagi di depan para pasukan ini. Aku mengeraskan tapak kakiku dan menarik tafas panjang, menahan diri.
Brain mendehem sedikit, batuk tanpa sakit yang sudah aku kenal sedari aku bayi. Deheman yang mengajar aku mulai dari dini.
"Putri mengucapkan terimakasih karena kehadiran semua. Selamat datang dalam kelengkapan rapat akbar ini." Kali ini aku benci basa basi ini. Cepatlah, Brain, langsung saja.
Sekilas Brain menatap cemberutku. Saat itu manuskrip sudah terbuka sempurna.
"Ada satu rencana yang harus kita bagi dalam tugas-tugas. Masing-masing panglima akan mendapat detailnya usai saya jabarkan rencana ini." Ini sangat serius Brain, jangan terlalu lama!
"Mengambil kembali Knight of Night Dew." Huh, aku menarik nafas membuang rasa sebalku. Bagaimana aku bisa dikelilingi makluk-makluk seperti ini. Aku tidak sabar.
Terompet berbunyi dengan kode khusus dari Brain yang sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana dia melakukannya. Sekejab lima panglima berjalan tegap ke hadapan Brain, dan satu panglima lagi berjalan dengan kelembutannya. Ah, untuk yang satu ini aku hanya bisa tersenyum. Selalu tersenyum padanya. Tapi, oh, mau tidak mau aku harus percaya pada lima eh enam panglima ini.
Brain memimpin rapat kecil itu, dengan bisik yang bahkan aku tidak mendengarnya. Aku tidak punya energi lebih untuk berjalan ke arah mereka, jadi aku mempercayakannya saja pada mereka bertujuh. Sudah banyak yang mereka lakukan untukku, kali juga akan begitu. Aku menarik nafas panjang kembali... (Bersambung)
Salah Satu Saja
Hari Kamis seperti biasa adalah hari yang sibuk. Makanan empat sehat lima sempurna mesti siap untuk bekal anak-anak ke sekolah. Dan setiap hari selalu seperti biasa, bangun pagi pukul 5.30 atau 6.00 sudah menjadi prestasi bagiku. Masak bobor pakis, goreng tahu. Rencana bikin dadar jagung dibatalkan. Gak keburu, jadi Mas Hendro pun turun tangan bikin telur dadar (telur dadar bikinan Den Hendro ni paten, tiada bandingnya). Masih ada sisa rawon kemarin sedikit, cukup untuk sarapan, plus kerupuk. Nah udah buru-buru begitu, si Bernard bikin perkara.
"Tidak mau makan kalau tidak pake mi!"
"Nard, ibu sudah masak. Nanti siapa yang makan?"
"Ibu saja yang makan!"
Wah, tandukku langsung keluar.
"Ya sudah kalau kalau gak mau makan. Mas Albert saja yang ibu suapi."
Dengan manis si abang duduk di depanku, dan manut makan dengan suapan besar. Sepiring penuh. Bapaknya berangkat duluan, dan aku masih mesti membereskan anak-anak ini. Urusan mandi pun mesti 'diskusi' dulu beberapa lama. Padahal, aduh anak-anakku, lihatlah jam itu. Sudah mepet.
Udah beres semua, mau berangkat, malah si Bernard nyletuk,"Kan aku belum makan, bu. Makan dulu." Nah, terpaksa aku jitak (tidak keras, tenang aja) dulu anak ini. Tapi kali ini dia manut, makan sepiring pake rawon dan telur. "Kan kalau terlalu sering makan mi bisa keriting kan, bu?" Hehm...aku tak mau menjawab. Albert yang menjawab,"Keriting otaknya, dik. Jadi gak pinter. Iya kan, bu?" Hehmm...aku tak mau menjawab juga.
"Ibu ini kok hehm, hehm terus. Ngomong dong bu."
"Hehmm..."
Mereka berdua pun sekongkol menggoyang kepalaku dan membuka mulutku.
"Sampe ngomong dik, goyang terus."
"Hehmmm..."
"Cium aja, mas. Lehernya. Biar geli."
Dan mereka berdua mengeroyok leherku hingga aku teriak-teriak kegelian. Ah, mereka ini...
Pura-pura marah aku berkacak pinggang.
"Cepat matiin tivi, ambil tas, dan keluar!" Berebut mereka baris dekat motor dengan wajah secerah bintang kejora. Tanpa dosa. Bertiga kami bikin tanda salib, dan ngebut...
"Tidak mau makan kalau tidak pake mi!"
"Nard, ibu sudah masak. Nanti siapa yang makan?"
"Ibu saja yang makan!"
Wah, tandukku langsung keluar.
"Ya sudah kalau kalau gak mau makan. Mas Albert saja yang ibu suapi."
Dengan manis si abang duduk di depanku, dan manut makan dengan suapan besar. Sepiring penuh. Bapaknya berangkat duluan, dan aku masih mesti membereskan anak-anak ini. Urusan mandi pun mesti 'diskusi' dulu beberapa lama. Padahal, aduh anak-anakku, lihatlah jam itu. Sudah mepet.
Udah beres semua, mau berangkat, malah si Bernard nyletuk,"Kan aku belum makan, bu. Makan dulu." Nah, terpaksa aku jitak (tidak keras, tenang aja) dulu anak ini. Tapi kali ini dia manut, makan sepiring pake rawon dan telur. "Kan kalau terlalu sering makan mi bisa keriting kan, bu?" Hehm...aku tak mau menjawab. Albert yang menjawab,"Keriting otaknya, dik. Jadi gak pinter. Iya kan, bu?" Hehmm...aku tak mau menjawab juga.
"Ibu ini kok hehm, hehm terus. Ngomong dong bu."
"Hehmm..."
Mereka berdua pun sekongkol menggoyang kepalaku dan membuka mulutku.
"Sampe ngomong dik, goyang terus."
"Hehmmm..."
"Cium aja, mas. Lehernya. Biar geli."
Dan mereka berdua mengeroyok leherku hingga aku teriak-teriak kegelian. Ah, mereka ini...
Pura-pura marah aku berkacak pinggang.
"Cepat matiin tivi, ambil tas, dan keluar!" Berebut mereka baris dekat motor dengan wajah secerah bintang kejora. Tanpa dosa. Bertiga kami bikin tanda salib, dan ngebut...
Wednesday, April 15, 2009
Melayat
Ketika pagi datang dengan sebuah kabar duka, aku menanggapinya biasa saja.
"Pak Supri meninggal."
Guru SD yang tidak aku kenal itu meninggal. Imbasnya adalah anak-anak libur sekolah karena pasti semua guru di sekolah itu melayat. Maka satu tugasku untuk mengantar anak-anak ke sekolah akan terlewatkan.
Tiba di kantor tepat ketika Radio Suara Wajar menyiarkan berita duka itu. Aku ditanya oleh Pak Jaka hanya menjawab :"Gak kenal, Pak. Tapi dia guru di SD tempat anak-anak."
Dan aku nyelonong ke ruangan, membuka komputer. Berita duka itu muncul lagi di email dengan catatan lebih detail. "Telah meninggal Pak Agustinus Supriyanto, suami dari Bu Erni WKRI." Aku menyambar telepon kantor, menelepon Putri untuk memastikan dan ternyata memang benar. Pak Supri tidak sakit sama sekali, bahkan kemarin pun masih main badminton sebelum meninggal. Misteri kematian.
Ya, tentu saja aku kenal Bu Erni, ketua WKRI Daerah Lampung. Berapa kali aku pernah merepotkannya. Berapa kali pula aku pernah mengobrol dengannya. Dan banyak kali aku bersentuhan dengannya.
Maka aku geret Bejo untuk mengantar melayat, dan ikut berdesak-desakan dengan ratusan orang di rumah duka itu. Berdoa untuk Pak Supri, memeluk dan mencium Bu Erni.
"Aku turut dalam doa, Ibu." Bisikku pada wajah sembab itu dan kemudian langsung kembali ke kantor.
Ini berita duka yang kedua dalam minggu ini. Yang pertama Sr. Stefani, FSGM yang meninggal Jumat lalu. Lalu kedua Pak Supri hari Selasa malam. Mereka berada di yayasan yang sama. Kata seseorang kalau orang meninggal pada hari Jumat atau Selasa, mereka pasti akan ajak orang lain. Aku tidak percaya, dan sekarang ini, mungkinkah kebetulan?
"Pak Supri meninggal."
Guru SD yang tidak aku kenal itu meninggal. Imbasnya adalah anak-anak libur sekolah karena pasti semua guru di sekolah itu melayat. Maka satu tugasku untuk mengantar anak-anak ke sekolah akan terlewatkan.
Tiba di kantor tepat ketika Radio Suara Wajar menyiarkan berita duka itu. Aku ditanya oleh Pak Jaka hanya menjawab :"Gak kenal, Pak. Tapi dia guru di SD tempat anak-anak."
Dan aku nyelonong ke ruangan, membuka komputer. Berita duka itu muncul lagi di email dengan catatan lebih detail. "Telah meninggal Pak Agustinus Supriyanto, suami dari Bu Erni WKRI." Aku menyambar telepon kantor, menelepon Putri untuk memastikan dan ternyata memang benar. Pak Supri tidak sakit sama sekali, bahkan kemarin pun masih main badminton sebelum meninggal. Misteri kematian.
Ya, tentu saja aku kenal Bu Erni, ketua WKRI Daerah Lampung. Berapa kali aku pernah merepotkannya. Berapa kali pula aku pernah mengobrol dengannya. Dan banyak kali aku bersentuhan dengannya.
Maka aku geret Bejo untuk mengantar melayat, dan ikut berdesak-desakan dengan ratusan orang di rumah duka itu. Berdoa untuk Pak Supri, memeluk dan mencium Bu Erni.
"Aku turut dalam doa, Ibu." Bisikku pada wajah sembab itu dan kemudian langsung kembali ke kantor.
Ini berita duka yang kedua dalam minggu ini. Yang pertama Sr. Stefani, FSGM yang meninggal Jumat lalu. Lalu kedua Pak Supri hari Selasa malam. Mereka berada di yayasan yang sama. Kata seseorang kalau orang meninggal pada hari Jumat atau Selasa, mereka pasti akan ajak orang lain. Aku tidak percaya, dan sekarang ini, mungkinkah kebetulan?
Kasihan!
Marahku membukit pagi ini. Bagaimana mungkin seorang dirimu, yang perutnya sudah membuncit dan kacamata menebal, melempar seorang anak kecil dengan nasi basi? Aku sudah menaruh benteng itu ketika memutuskan untuk menapak jalan, tepat di sampingmu. Aku tahu dari mula kalau aku tidak akan dapat merubahmu menjadi kelinci atau kupu-kupu, dan aku tidak pernah berniat untuk itu.
Hari ini seorang anak menangis karena pedasnya katamu. Kemarin seorang bapak marah karena kakunya hatimu. Dulu seorang ibu mati karena tanpa ada senyummu. Bagaimana seorang dirimu bisa memperlakukan orang lain dengan kejahatan yang seperti itu? Apakah kamu tahu bahwa engkau sudah membunuh banyak jiwa?
Marahku membukit pagi ini. Aku bertahan menyebutmu teman. Uh, sangat manis rupanya diriku dengan senyumku pada tiap bulan padamu. Baik sekali aku dengan segala pembelaanku untukmu. Beriman sungguh aku membayangkan suatu saat aku melihatmu bisa menggandeng tanganku, tangannya, tangan mereka. Uh!
Dua hari ini sudah keterlaluan. Jika aku mau, aku sudah menamparmu beberapa masa yang lalu. Aku sanggup membunuhmu seperti mereka semua bisa menguburmu. Siapa kau dengan kepongahan seperti itu? Apa isi otak dan hatimu itu yang membuatmu hidup? Tidak, teman! Kasihan sungguh dirimu tidak tahu bahwa engkau hidup dariku, darinya, dari mereka. Yang sudah kau bunuh setiap kali.
Kasihan sekali dirimu!
Hari ini seorang anak menangis karena pedasnya katamu. Kemarin seorang bapak marah karena kakunya hatimu. Dulu seorang ibu mati karena tanpa ada senyummu. Bagaimana seorang dirimu bisa memperlakukan orang lain dengan kejahatan yang seperti itu? Apakah kamu tahu bahwa engkau sudah membunuh banyak jiwa?
Marahku membukit pagi ini. Aku bertahan menyebutmu teman. Uh, sangat manis rupanya diriku dengan senyumku pada tiap bulan padamu. Baik sekali aku dengan segala pembelaanku untukmu. Beriman sungguh aku membayangkan suatu saat aku melihatmu bisa menggandeng tanganku, tangannya, tangan mereka. Uh!
Dua hari ini sudah keterlaluan. Jika aku mau, aku sudah menamparmu beberapa masa yang lalu. Aku sanggup membunuhmu seperti mereka semua bisa menguburmu. Siapa kau dengan kepongahan seperti itu? Apa isi otak dan hatimu itu yang membuatmu hidup? Tidak, teman! Kasihan sungguh dirimu tidak tahu bahwa engkau hidup dariku, darinya, dari mereka. Yang sudah kau bunuh setiap kali.
Kasihan sekali dirimu!
Monday, April 13, 2009
Puisiku
puisiku adalah benang kata yang tersulam sebentuk jaring
rentetan bulir lem berlendir menggantung di setiap simpulnya
ada seruling penghias dengan nada-nada rayuan
mengajakku untuk membujukmu
memintaku untuk menggodamu
"wahai teman, marilah jatuh cinta"
maka deretan kerling mulai berantakan barisnya
berpendar tidak lagi pada aturan logika
ah, jangan salah teman!
aku pun hanya memompa kelenjar-kelenjar
sedang lendir-lendir itu,
yang kemudian menjadi benang kata
yang lalu lahir menjadi puisiku
bukan lagi urusanku
bahkan ketika mangsa-mangsa gemuk bergelantungan
bukan pula masalahku
"mari jatuh cinta"
itulah bahasa puisiku
rentetan bulir lem berlendir menggantung di setiap simpulnya
ada seruling penghias dengan nada-nada rayuan
mengajakku untuk membujukmu
memintaku untuk menggodamu
"wahai teman, marilah jatuh cinta"
maka deretan kerling mulai berantakan barisnya
berpendar tidak lagi pada aturan logika
ah, jangan salah teman!
aku pun hanya memompa kelenjar-kelenjar
sedang lendir-lendir itu,
yang kemudian menjadi benang kata
yang lalu lahir menjadi puisiku
bukan lagi urusanku
bahkan ketika mangsa-mangsa gemuk bergelantungan
bukan pula masalahku
"mari jatuh cinta"
itulah bahasa puisiku
Pacar
Ada banyak hal menarik jika bicara tentang Bernard. Entahlah bagaimana dia bisa menangkap kata-kata yang aneh bahkan di usianya yang masih sangat dini, belum juga 6 tahun.
"Aku tidak mau lagi dekat dengan orang yang huruf pertamanya Y!"
Teriaknya keras-keras kemarin. Gara-garanya dia memang sedang bosen, di rumah tanpa teman main. Albert tidur di tempat Billy, sehingga tidak ada yang meladeninya bermain atau berantem. Bapaknya pergi melayat. Aku dipaksanya memanggilkan bapaknya, tapi kan gak bisa. Maka jadilah yang gak logis kalau sudah begitu.
"Huruf Y yang mana, Nard?"
"Huruf Y yang belakangnya I!"
Lalu dia keluar kamar, aku dikuncinya. Wawak yang mencoba membukanya untukku malah kena semprot pula. Jadi sudahlah, aku diam-diam di kamar menunggu kemarahannya reda. Biasanya dia akan mepet-mepet kalau sudah capek marah. Nyaris tertidur ketika kemudian aku merasa ada yang basah di pipiku.
"Bangun, bu. Ada tamu." Aku langsung meloncat. Eeeh...tuyul itu malah tertawa-tawa. "Kena deh!"
Aduh, aku mangkel berat, dan aku gelitiki perutnya.
Habis itu dia sok dewasa menyuruhku duduk.
"Duduk deh, Bu. Bernard mau tanya."
Aku menurut saja. Mumpung saja marahnya sudah hilang. Dia duduk juga di depanku sambil memegang kedua pipiku. Matanya serius menatap mataku. (Dia sering bilang kalau di mataku ada dia. Hanya dia, kalau sedang duduk seperti itu.)
"Siapa pacar ibu?!" Gedubrak!!! Aku nyaris kejedut tembok.
"Ehmm,...siapa ya...Nard. Bapak kali?" Hehehe...aku jadi berdebar-debar. Jangan-jangan Bernard ini utusan surga yang tahu kalau aku punya sejuta kekasih, dan dengan dua tanganku aku selalu berusaha merangkul mereka semua dengan kecintaan yang bolong-bolong. Dan malaikat kecil ini sedang mengujiku. Aduh!
"Hanya bapak? Satu saja?"
Aku menelengkan kepala sedikit sambil menekan bibirku. Maunya apa sih bocah ini?
"Ibu tahu Emon?"
"Emon yang jual bakso?" Apa sih yang dipikirnya?
"Iya! Dia punya pacar lima."
"Ah, masa sih Nard. Kok tahu?"
"Dia bilang kemarin. Aku belum punya pacar. Tapi aku akan punya pacar yang buanyakkkk. Kayak Emon." Gedubrak!!!! Kali ini aku benar-benar kejedut tembok.
"Aku tidak mau lagi dekat dengan orang yang huruf pertamanya Y!"
Teriaknya keras-keras kemarin. Gara-garanya dia memang sedang bosen, di rumah tanpa teman main. Albert tidur di tempat Billy, sehingga tidak ada yang meladeninya bermain atau berantem. Bapaknya pergi melayat. Aku dipaksanya memanggilkan bapaknya, tapi kan gak bisa. Maka jadilah yang gak logis kalau sudah begitu.
"Huruf Y yang mana, Nard?"
"Huruf Y yang belakangnya I!"
Lalu dia keluar kamar, aku dikuncinya. Wawak yang mencoba membukanya untukku malah kena semprot pula. Jadi sudahlah, aku diam-diam di kamar menunggu kemarahannya reda. Biasanya dia akan mepet-mepet kalau sudah capek marah. Nyaris tertidur ketika kemudian aku merasa ada yang basah di pipiku.
"Bangun, bu. Ada tamu." Aku langsung meloncat. Eeeh...tuyul itu malah tertawa-tawa. "Kena deh!"
Aduh, aku mangkel berat, dan aku gelitiki perutnya.
Habis itu dia sok dewasa menyuruhku duduk.
"Duduk deh, Bu. Bernard mau tanya."
Aku menurut saja. Mumpung saja marahnya sudah hilang. Dia duduk juga di depanku sambil memegang kedua pipiku. Matanya serius menatap mataku. (Dia sering bilang kalau di mataku ada dia. Hanya dia, kalau sedang duduk seperti itu.)
"Siapa pacar ibu?!" Gedubrak!!! Aku nyaris kejedut tembok.
"Ehmm,...siapa ya...Nard. Bapak kali?" Hehehe...aku jadi berdebar-debar. Jangan-jangan Bernard ini utusan surga yang tahu kalau aku punya sejuta kekasih, dan dengan dua tanganku aku selalu berusaha merangkul mereka semua dengan kecintaan yang bolong-bolong. Dan malaikat kecil ini sedang mengujiku. Aduh!
"Hanya bapak? Satu saja?"
Aku menelengkan kepala sedikit sambil menekan bibirku. Maunya apa sih bocah ini?
"Ibu tahu Emon?"
"Emon yang jual bakso?" Apa sih yang dipikirnya?
"Iya! Dia punya pacar lima."
"Ah, masa sih Nard. Kok tahu?"
"Dia bilang kemarin. Aku belum punya pacar. Tapi aku akan punya pacar yang buanyakkkk. Kayak Emon." Gedubrak!!!! Kali ini aku benar-benar kejedut tembok.
Sunday, April 12, 2009
Sinyal Tanpa Telepon
Suatu hari pernah menjadi hari yang ramai dengan sinyal-sinyal. Semrawut ke segala arah. Sinyal-sinyal itu mula-mula lahir dari pejumpaan-perjumpaan. Seperti pertemuan sperma dan sel telur sepasang monster, lalu lahirlah ribuan anak pinak. Dengan berbagai bentuk. Ketika sedang dalam perkembangan, sinyal itu menjulur mengulur mengkerut mengkerinyut, hingga satu titik menjadi dewasa dengan bentuk yang nyaris tetap. Tapi tetap dengan tubuh elastisnya memberi sentuhan pada tujuan-tujuan yang entahlah, kenapa selalu egois untuk kedalaman diri. Lalu sesekali mereka akan menampakkan wajah aslinya sebagai anak-anak monster. Menerkam tengkuk para terjerat, mengunyahnya dengan gigi-gigi taring dan merobek dadanya. Berhamburan hati para terjerat ini sehingga tak lagi bisa dikembalikan ke wujud semula. Karena robekan gigi sinyal pasti akan meninggalkan lubang-lubang, yang hanya dapat diisi kembali oleh keindahan kenangan. Dan keindahan harapan.
Pun sinyal seperti ini tetap hidup walaupun tanpa telepon. Pun begitu, telepon akan membantunya berkembang biak lebih cepat untuk menjadi monster yang ganas memabukkan. Dan meneruskan generasi-generasi berikutnya.
Pun sinyal seperti ini tetap hidup walaupun tanpa telepon. Pun begitu, telepon akan membantunya berkembang biak lebih cepat untuk menjadi monster yang ganas memabukkan. Dan meneruskan generasi-generasi berikutnya.
Friday, April 10, 2009
Pagi Mewah
Ada satu hal yang saya nikmati (aku merindukannya setiap kali) bahkan hingga kini. Bangun siang, gak perlu langsung bangun, dan meraba-raba sekitar bantal kalau-kalau ada buku yang tertinggal di sana. Jika ada buku di situ, berarti ada bacaan yang belum selesai aku baca. Lalu melanjutkan membaca tanpa peduli waktu akan mengalir ke jam berapa, tidak usah buru-buru. Biasanya sampai perut terasa lapar, lalu beranjak enggan untuk mencari sesuatu yang bisa dikunyah.
Ah, teman, kenikmatan seperti itu sangat langka di duniaku sekarang ini. (Dulu nyaris setiap pagi aku nikmati ketika aku kerja di Malang Post, hidup sendiri di kostan damai Mulyorejo. Gangguan hanya dari Pimredku, lewat pager.) Dunia pagiku sekarang adalah berisik terburu-buru. Dipenuhi rengekan atau teriakan atau tarikan. Bahkan kebisingan itu tidak akan selesai hingga kembali malam.
Sesekali aku bisa menikmati kemewahan pagi kembali ketika hari libur dan semua orang di rumah belum bangun. (Aku mesti membuat mereka semua tidur larut malam dengan segala cara supaya mereka bisa bangun lebih siang. Tapi sulit kan?) Atau saat aku tidak tidur di rumah karena suatu acara. (Tapi juga susah karena dalam kepergian semacam itu pasti ada agenda yang jelas dengan waktu yang jelas.)
Pagi ini aku mendapatkan pagi mewah itu lagi. Tapi tidak ada satu buku pun di sekitar bantalku. Tidak ada bacaan yang belum selesai. Semua buku sudah tertutup dan pembatasnya menempel pada sampul belakang.
Oh, please teman, kirimi aku buku. Yang tebal, yang tak kan selesai sampai tahun-tahun berlalu. Kisah apapun sodorkanlah padaku, supaya bisa aku baca ketika pagi yang mewah seperti itu aku dapatkan lagi.
Ah, teman, kenikmatan seperti itu sangat langka di duniaku sekarang ini. (Dulu nyaris setiap pagi aku nikmati ketika aku kerja di Malang Post, hidup sendiri di kostan damai Mulyorejo. Gangguan hanya dari Pimredku, lewat pager.) Dunia pagiku sekarang adalah berisik terburu-buru. Dipenuhi rengekan atau teriakan atau tarikan. Bahkan kebisingan itu tidak akan selesai hingga kembali malam.
Sesekali aku bisa menikmati kemewahan pagi kembali ketika hari libur dan semua orang di rumah belum bangun. (Aku mesti membuat mereka semua tidur larut malam dengan segala cara supaya mereka bisa bangun lebih siang. Tapi sulit kan?) Atau saat aku tidak tidur di rumah karena suatu acara. (Tapi juga susah karena dalam kepergian semacam itu pasti ada agenda yang jelas dengan waktu yang jelas.)
Pagi ini aku mendapatkan pagi mewah itu lagi. Tapi tidak ada satu buku pun di sekitar bantalku. Tidak ada bacaan yang belum selesai. Semua buku sudah tertutup dan pembatasnya menempel pada sampul belakang.
Oh, please teman, kirimi aku buku. Yang tebal, yang tak kan selesai sampai tahun-tahun berlalu. Kisah apapun sodorkanlah padaku, supaya bisa aku baca ketika pagi yang mewah seperti itu aku dapatkan lagi.
Wednesday, April 08, 2009
Rainbow
Seseorang datang membawa pelangi dalam keranjang piknik. Dia menarik tangan dan mengajakku duduk bersama.
"Aku ingin..."
Aku terpana pada isi keranjangnya, tak mendengar apa yang dia bicarakan. Juga tak bisa bicara untuk menjawabnya karena aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Aku hanya memandang pelangi itu. Indah segala warna. Terbias bahkan ke relung dalam tubuhku.
"Kau boleh mencicipinya."
Aku memandang wajah penuh senyum itu tidak percaya. Bagaimana dia dengan rela hati menawarkan pelangi itu untuk dinikmati bersama? Tidakkah itu akan mengurangi bagiannya? Bukankah pelanginya sama sekali bukan hakku?
Pun aku ikut tersenyum. Tetap duduk di sampingnya sambil sesekali memegang tangannya. Dan kami sama-sama terkagum-kagum memandang pelangi di keranjang pikniknya. Tidak mencuilnya sedikitpun.
"Aku ingin..."
Aku terpana pada isi keranjangnya, tak mendengar apa yang dia bicarakan. Juga tak bisa bicara untuk menjawabnya karena aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Aku hanya memandang pelangi itu. Indah segala warna. Terbias bahkan ke relung dalam tubuhku.
"Kau boleh mencicipinya."
Aku memandang wajah penuh senyum itu tidak percaya. Bagaimana dia dengan rela hati menawarkan pelangi itu untuk dinikmati bersama? Tidakkah itu akan mengurangi bagiannya? Bukankah pelanginya sama sekali bukan hakku?
Pun aku ikut tersenyum. Tetap duduk di sampingnya sambil sesekali memegang tangannya. Dan kami sama-sama terkagum-kagum memandang pelangi di keranjang pikniknya. Tidak mencuilnya sedikitpun.
Monday, April 06, 2009
Palinten
Palinten menangis di pinggir jalan sepagi ini. Memerah kelabu pipinya yang tirus. Tangannya sibuk mengusap seluruh matanya yang tak henti membanjir.
"Jangan sedih, Palinten." Aku duduk di sampingnya. Mencoba meraih tubuhnya yang meliuk lemas, seolah harapan hanya ada di ruang rindu, jauh tak terjangkau.
Tanpa satu suara pun Palinten menyusut air yang sudah tumpah di rongga hidungnya. Menjadi nafas yang sesak.
"Jangan menangis, Palinten." Aku tahu aku tak kan bisa menghiburnya. Belasan tahun dia sudah hidup di jalan kota ini. Bersanding dengan segala debu dan kelabu.
Tanpa suara, Palinten menarik nafas panjang. Aku tersedot dalam kenangannya, belasan silam di pinggir sawah. Saat aku mencium bau lumpur langu di seluruh wajahnya yang segar penuh tawa. Dimana wajah yang itu, Palinten?
"Jangan... eh, Palinten." Aku terdiam. Tetap di sampingnya, menahan hidungku dari bau knalpot yang terus menguar, mencemari wajah Palinten. Aku tak kan sanggup menciumnya. Maafkan aku, Palinten.
"Jangan sedih, Palinten." Aku duduk di sampingnya. Mencoba meraih tubuhnya yang meliuk lemas, seolah harapan hanya ada di ruang rindu, jauh tak terjangkau.
Tanpa satu suara pun Palinten menyusut air yang sudah tumpah di rongga hidungnya. Menjadi nafas yang sesak.
"Jangan menangis, Palinten." Aku tahu aku tak kan bisa menghiburnya. Belasan tahun dia sudah hidup di jalan kota ini. Bersanding dengan segala debu dan kelabu.
Tanpa suara, Palinten menarik nafas panjang. Aku tersedot dalam kenangannya, belasan silam di pinggir sawah. Saat aku mencium bau lumpur langu di seluruh wajahnya yang segar penuh tawa. Dimana wajah yang itu, Palinten?
"Jangan... eh, Palinten." Aku terdiam. Tetap di sampingnya, menahan hidungku dari bau knalpot yang terus menguar, mencemari wajah Palinten. Aku tak kan sanggup menciumnya. Maafkan aku, Palinten.
Saturday, April 04, 2009
Handphone
HPku hilang ketika aku pulang dari Bogor tiga minggu yang lalu. Aku cukup sedih karena ada beberapa data di sana. Dan itu HP yang baru aku pakai 1 bulan.
Tiga minggu tanpa HP rupanya cukup nikmat. Aku bisa mengoptimalkan perjumpaan dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Tidak ada lagi yang menyela berdering-dering ketika aku ngobrol dengan seseorang. Tidak ada yang mengganggu konsentrasi ketika aku mengedit tulisan-tulisan di depan komputer. Tidak ada yang memanggil-manggil ketika aku sedang berjalan-jalan. Pokoke santai blas.
Tapi juga cukup merepotkan tanpa HP. Beberapa kali aku langsung sendu karena tidak sadar mencari-cari benda itu karena sangat perlu penting menghubungi seseorang. Beberapa kali juga aku dimarah-marah oleh orang-orang yang perlu penting menghubungiku tapi hanya dapat suara : "Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif...bla, bla...."
Tenang saudara-saudari, nomor HPku aktif, tetap seperti dulu, sudah aku urus, bahkan akan aktif sampai 2010 nanti. Tapi HPnya memang belum aktif karena memang belum ada. Jadi sabarlah.
Aku hanya sedang menikmati masa tanpa HP ini seoptimal mungkin. Pasti suatu saat nanti akan bisa kembali dihubungi lewat HP, tapi aku memang tidak bisa menjanjikan kapan saat itu akan datang. Tunggu saja.
Tiga minggu tanpa HP rupanya cukup nikmat. Aku bisa mengoptimalkan perjumpaan dengan orang-orang yang ada di sekitarku. Tidak ada lagi yang menyela berdering-dering ketika aku ngobrol dengan seseorang. Tidak ada yang mengganggu konsentrasi ketika aku mengedit tulisan-tulisan di depan komputer. Tidak ada yang memanggil-manggil ketika aku sedang berjalan-jalan. Pokoke santai blas.
Tapi juga cukup merepotkan tanpa HP. Beberapa kali aku langsung sendu karena tidak sadar mencari-cari benda itu karena sangat perlu penting menghubungi seseorang. Beberapa kali juga aku dimarah-marah oleh orang-orang yang perlu penting menghubungiku tapi hanya dapat suara : "Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif...bla, bla...."
Tenang saudara-saudari, nomor HPku aktif, tetap seperti dulu, sudah aku urus, bahkan akan aktif sampai 2010 nanti. Tapi HPnya memang belum aktif karena memang belum ada. Jadi sabarlah.
Aku hanya sedang menikmati masa tanpa HP ini seoptimal mungkin. Pasti suatu saat nanti akan bisa kembali dihubungi lewat HP, tapi aku memang tidak bisa menjanjikan kapan saat itu akan datang. Tunggu saja.
Friday, April 03, 2009
Silver Moon
Bulan perak di pagi hari. Aku lurus menghadap Timur dengan percakapan berderai-derai dalam hening yang ramai.
"Kapan kita bertemu lagi?" Aku bertanya.
"Untuk mengambil malam?" Jawabnya, balik bertanya.
"Boleh. Bisa?" Masih dalam tanya aku menahan harapan.
"Usai purnama saja."
Aku tahu saat-saat purnama akan menyamakan semua perjumpaan. Tak bisa dibedakan apakah maya atau marca, jadi sama dalam sinar purnama.
"Itu masih sangat lama." Aku kecewa tapi juga pasrah karena itulah senyatanya jarak.
"Ya. Tapi sementara menunggu, lihatlah ke atas. Entah engkau dimana, pun aku dimana, kita bisa melihat bulan perak yang sama. Bahkan pantulan senyummu ku lihat di sana."
Aku melontarkan tawaku sekencang mungkin, ke arah bulan, yang akan memantulkannya ke arahmu. Engkau benar! Aku berharap engkau juga tertawa dalam lingkaran bulan perak pagi ini. Berbahagialah!
"Kapan kita bertemu lagi?" Aku bertanya.
"Untuk mengambil malam?" Jawabnya, balik bertanya.
"Boleh. Bisa?" Masih dalam tanya aku menahan harapan.
"Usai purnama saja."
Aku tahu saat-saat purnama akan menyamakan semua perjumpaan. Tak bisa dibedakan apakah maya atau marca, jadi sama dalam sinar purnama.
"Itu masih sangat lama." Aku kecewa tapi juga pasrah karena itulah senyatanya jarak.
"Ya. Tapi sementara menunggu, lihatlah ke atas. Entah engkau dimana, pun aku dimana, kita bisa melihat bulan perak yang sama. Bahkan pantulan senyummu ku lihat di sana."
Aku melontarkan tawaku sekencang mungkin, ke arah bulan, yang akan memantulkannya ke arahmu. Engkau benar! Aku berharap engkau juga tertawa dalam lingkaran bulan perak pagi ini. Berbahagialah!
Subscribe to:
Posts (Atom)