Aku mendapatkan kesempatan menarik pada bulan ini. Rumpun Kemasyarakatan Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) mengajakku untuk ikut terlibat dalam workshop untuk Keuskupan Manokwari Sorong 27-28 Juli 2019 bertempat di Aula Lux Ex Oriente Sorong. Tema yang diangkat adalah Menghormati dan Memberdayakan Martabat Manusia diadakan bekerjasama Keuskupan Manokwari-Sorong diikuti kurang lebih 400 orang dari 13 paroki yang ada di Sorong.
Tema ini diangkat karena dari sekian banyak
kasus kekerasan yang terjadi, yang paling rentan menjadi korban adalah
perempuan dan anak-anak. Kekerasan terhadap perempuan itu kebanyakan terjadi di
ranah personal yaitu di sekitar rumah tangga dengan orang-orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan.
Stigma terhadap perempuan sebagai makhluk yang lemah dan “kelas dua” kian menempatkan
perempuan sebagai korban dengan akses ekonomi, politik dan bidang kehidupan
lain yang tidak adil dan setara. Martabat perempuan dipandang sebelah mata.
Itulah sebagian dari latar belakang
tema ini diangkat oleh Rumpun Kemasyarakatan KWI yang terdiri dari Sekretariat
Gender dan Pemberdayaan Perempuan (SGPP), Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan
(HAK), Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran Perantau (KPP-PMP),
Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) dan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam).
Kegiatan dilakukan pada Jumat –
Sabtu, 26 – 27 Juli 2019 bertempat di Aula Lux Ex Oriente Gereja Katedral
Sorong. Mgr. Hilarion Datus Lega, Uskup Manokwari Sorong memberikan dukungannya
mulai dari awal acara hingga penutupan.
“Setelah
Konsili Vatikan II, ajaran-ajaran Gereja senantiasa menekankan bahwa laki-laki
dan perempuan diciptakan setara menurut citra Allah (Bdk. Kej 1:26-27). Allah
memberikan kepada mereka tanggungjawab untuk memelihara keutuhan ciptaan-Nya.
Sesuai dengan kehendakNya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara
martabatnya walau berbeda secara biologis. Perbedaan tersebut dikehendaki oleh
Tuhan, karena mempunyai makna yang dalam dan tujuan yang khas untuk
mengembangkan kehidupan. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling
melengkapi dan memperkaya serta dipanggil untuk membangun relasi yang penuh
kasih.” Demikian sebagian dari cuplikan surat gembala KWI tahun 2004 tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai citra Allah.
Gereja
meyakini laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk
berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup
menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena itulah dalam sesi kedua,
peserta diajak untuk melihat pemberdayaan yang berkeadilan mulai dari keluarga,
komunitas, masyarakat dan negara disampaikan oleh Eko Aldilanto O.Carm dari
KKPPMP KWI dan Ewaldus PR dari Komisi PSE KWI. Pada sesi ketiga, peserta diajak
meluaskan pandangan dengan melihat hubungan antar agama dan politik oleh Heri
Wibowo PR dari Komisi HAK KWI dan PC Siswantoko PR dari Komisi Kerawam KWI.
Aku mengulang point yang beberapa kali pernah kusampaikan dalam beberapa kesempatan yaitu tentang alternatif pemberdayaan melalui pengembangan komunitas. “Komunitas bisa menjadi
salah satu kekuatan bagi perempuan untuk mengembangkan dirinya, keluarganya
serta membentenginya dari perilaku yang bisa membuatnya menjadi korban.
Persaudaraan saling percaya dan solider dalam komunitas membuat perempuan tidak
perlu merasa sendirian.” Salah satu komunitas yang kupakai sebagai contoh
adalah komunitas perempuan di daerah Ulubelu Tanggamus yang mengelola Koperasi
Simpan Usaha dengan produk kopi.
Mengembangkan
ekonomi secara kreatif bisa dimulai dari sana. Pertama, mendapatkan akses
permodalan alternative dengan nilai-nilai koperasi; kedua, mendapatkan peluang
mendapatkan wawasan dan pelatihan; ketiga, melakukan kerja produktif dengan
seimbang; dan keempat, mengembangkan pemasaran yang manusiawi melalui berbagai
cara termasuk pemanfaatan teknologi digital. Dari sana, para perempuan akan
terus berkembang mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi di tengah masyarakat.
No comments:
Post a Comment