Keluar dari wilayah kepulauan Batu Pensil, kami kembali dikocok ombak sampai tak bisa koment dah. Doa singkat nyembur berkali-kali:"Ya, Tuhan, ke dalam tanganmu kuserahkan jiwaku." Duhhh, ampun.
Nah, begitu masuk teluk tempat Pantai Friwen berada, suasana langsung tenang. Puji Tuhan. Aku meloncat ke pantai dengan lega. Benar-benar lega. Airnya tenang, dan landai. Beberapa perahu lain juga tampak berlindung di pantai ini tanpa mengeluarkan penumpangnya. Josep bilang kalau mereka parkir sementara waktu menunggu ombak di luar sana agak reda. Wah.
Satu kapal besar sudah memuntahkan penumpang yaitu turis-turis dari Australia. Mereka menyebar di sekitar pantai menggunakan perahu kecil, sebagian berenang di sekitar pantai. Mungkin 3 atau 4 pasang mereka itu. Sedang kami ber-6 plus 3 kru langsung menyerbu salah satu warung dengan satu mace yang ramah. Rm. Koko udah teriak-teriak mau mi instan dari sejak pagi, langsung pesan itu. Sayang seribu sayang mace bilang mi instan habis. Si Josep yang menjawab bahwa mereka punya 9 bungkus di kapal. Oalah, ndak bilang lho Jo.
Beberapa gelas kopi dan teh langsung tersaji. Mace menyiapkan pisang goreng. Kru kapal membuat api di samping warung siap-siap membakar ikan. Kami menyebar mencari kenikmatan masing-masing. Aku langsung menyusuri pantai ke arah kiri, sampai beberapa ratus meter, melemaskan kaki. Rm. Koko main ayunan. Rm. Ewal berenang. Rm. Heri mencari cara untuk mancing. Hihihi. Sr. Natal dan Rm. Bimo kayaknya di warung aja.
Balik dari menyusuri Friwen aku tiduran depan warung. Surga seperti ini sungguh seperti ini, Tuhan. Masih ada bonus aroma wangi pisang goreng yang menggelitik perut sehingga aku jadi kebayang juga pengin makan mi goreng instan. Hehehe... piye to.
Kru kapal sudah menyiapkan nasi untuk makan siang dari Waisai. Ohya, mereka bertiga ini disiplin lho: Tak merokok, tak minum alkohol. Itu sudah masuk dalam kontrak kerja mereka dan mereka menaatinya sepenuh hati.
Kembali tentang Friwen, ini sebenarnya lokasi yang sangat pas untuk berenang. Iri banget lihat rm. Ewal sampai merah merona kerebus air pantai. Aku hanya nyemplung kecipak-kecipik lalu kembali lagi berteduh di bawah pohon. Nyebur kaki aja, kembali lagi di bawah pohon. Hehehe... Tapi pantai ini memang menawarkan ketenangan. Segalanya serba tenang di sini. Ombak dan angin pun rasanya mengikuti irama tenang ini. Sebagai spot terakhir dalam tour Raja Ampat yang dipilihkan oleh Josep dan kawan-kawan, Friwen sangat tepat untuk diam sesaat sebelum pulang. Saatnya mengendapkan segala yang didapatkan dari Raja Ampat supaya tak luntur oleh ingatan lain.
Foto bareng sebelum naik ke kapal. |
Aku menyempatkan diri untuk menikmati ketenangan itu di bangku warung, di bawah pohon, di pasir putihnya, bahkan juga saat masuk ke dalam airnya yang tenang. Sebuah lagu kulantunkan dalam hati:
...
Alangkah indah rumahMu, Tuhan, Raja Alam Raya
Burung pipit serta layang-layang Kau berikan sarang
Betapa kurindu, tinggal di rumahMu
Sorak dan sorai bagiMu.
...
Lagu itu kubahas sendiri dalam percakapanku denganNya. "Intinya adalah kesadaran, Yul. Kesadaran. Jika kau sadar, kau akan selalu tahu bahwa kau sedang ada dalam rumahKu." Iyalah, aku tak mengelak dari hal itu.
Puas berenung-renung, juga berheboh-heboh, makan siang berlimpah sampai super kenyang, main ayunan sambil berfoto-foto, kulit sudah hitam manis. Josep mulai ngajakin kami kembali ke speedboat. Ombakkkk, janganlah dirimu terlalu nafsu siang iniiii.... please. *** (berlanjut)
No comments:
Post a Comment