Tuesday, August 13, 2019

Satu Malam di Raja Ampat (8): Batu Pensil

Di depan itulah Batu Pensil.

Makan kacang.
Tidur pulas di Raja Ampat City Hotel membuat pegal-pegal gegara naik turun bukit di Piaynemo juga ketegangan akibat guncangan ombak bisa mereda. Hotel sangat sederhana, tapi bagiku cukup nyaman. Air minum lengkap dengan air panas plus kopi teh gula tersedia di ruang depan kamar yang nyambung dengan lobby dan berfungsi juga untuk tempat sarapan. Dan disediakan sarapan lhooo, tentu dengan khasnya kepulauan Raja Ampat, ikan tuna dan daun singkong.

Jam 8 kurang kami sudah otw ke pelabuhan Waisai, antusias namun juga berdebar-debar. Membayangkan ombak yang tinggi siap menghadang. Hohoiii... Sesampai di pelabuhan aku lebih deg-degan lagi. Terasa banget kalau ombak jauh lebih tinggi daripada saat kami bersandar kemarin sore. Speedboat saja susah merapat di dermaga. Wuih, petualanan hari ini pasti seru. Asli, deg-degan.

Dari awal si Josep sudah membagikan jas hujan ke penumpang di bagian belakang, dan beberapa menit begitu kami keluar dari teluk, ombak tinggi sudah membanting kapal. Sekali, dua kali, oleng kanan, oleng kiri... duh.

Si Josep selow aja menjawab setiap pertanyaan:

"Sebentar lagi sampai."

"Itu, pulaunya sudah di depan."

"Itu sudah dekat."

"Ada kok ombak yang lebih tinggi, ini tak seberapa."

"Biasa. Memang bulan ini ombak tinggi. Tapi aman."

Hadehhhh.... rasanya tuh jauhhhhh.... lamaaaaa.... dan ngeriiiii.... Ini belum sampai juga spot yang dituju. Aku kudu mengoreksi ke teman-teman lain soal pernyataanku kemarin,"Aku pernah melalui ombak yang lebih ganas saat di Batangas Filipine, aman kok." Hadehhh, ini dua kali lipat dari perjalanan Batangas, asli. Padahal belum sampai ke lokasi Batu Pensil, spot pertama di hari ini.

"Kita mampir sebentar ke Friwen untuk mengantar alat snorkeling. Ada rombongan besar yang membutuhkan alat-alat kita. Hanya mampir sebentar. Setelah dari Batu Pensil baru kita agak lama di Friwen untuk makan siang sebelum balik ke Sorong."

Nyaris tak ada yang nanggepin. Agak ayem ketika memasuki daerah Friwen yang tenang, tapi begitu speedboat kembali meraung membelah lautan, huhuhuuuu... kembali dag dig dug. Lagian si Josep ini tak menyarankan kami memakai lifejacket yak. Gemes.


Tapi saudara-saudara, semua langsung terbayar tuntas ketika kami memasuki kepulauan dimana Batu Pensil berada. Tandanya, kecepatan perahu menurun, riak ombak menjadi tenang, lalu kata wow mulai muncul dari mulut penumpang satu persatu.

Kami naik ke dermaga kayu yang goyang-goyang, mungkin sudah lapuk persis di seberang batu pensil. Itu mah biasa saja, jika dibandingkan dengan goyangan gelombang, jadi kami merasa santai, berasa tuntas segala mara bahaya (ndak mikir nanti baliknya gimana) pokoknya sekarang menikmati pemandangan indah yang luar biasa.

Batu Pensil sebenarnya biasa saja, berupa karang yang mencuat berdiri di tengah laut, serupa tiang karang atau ya seperti pensil itulah, eh sebenarnya juga ndak mirip pensil. Hanya seperti batu yang tinggi langsing berdiri tegak. Tapi perpaduannya dengan seluruh pulau-pulau di sekitarnya yang membuat Batu Pensil ini istimewa. Juga bening dan tenangnya air laut membuat kami ngah ngoh penuh takjub. Tuhan Maha Pencipta, inilah cipratan surga yang Kau bolehkan kami nikmati. Rasanya.... duhhhh....

Aku tak ingat pasti apakah aku pernah memimpikan tempat seperti ini bisa kukunjungi. Tapi sepertinya, eh mungkin saja sih suatu masa dulu pernah, entah dalam mimpi atau bocoran dari kehidupan masa lalu selintas aku sebagai seorang remaja berdiri di sebuah pulau, melambai-lambai pada kapal yang lewat, meminta mereka untuk mengajakku pergi. Setelah pengembaraan sekian abad, kini aku pulang. Hehehe... seperti itu deh kayaknya, maka aku rasanya nyaman sekali di tempat dini, serasa di rumah sendiri.*** (berlanjut)

No comments:

Post a Comment