Beberapa waktu lalu aku menulis SBY yang bikin repot. Kali ini aku ingin menuliskan bahwa dengan kadar yang sama, hidungku, alias indera penciumanku, selalu membuatku repot. Aku pernah menulis tentang hal ini tapi rupanya aku perlu beberapa penegasan.
Okey, dari lima indera yang kupunya, memang hidungku ini indera yang paling aktif mencatat memory. Dia tak pernah lalai merekam segala macam bau yang mampir di bulu-bulu yang halus, mencatatnya dengan rapi dan terus mengingatnya sepanjang masa.
Maka dalam kondisi normal (artinya tidak sedang sakit atau terganggu), aku mampu mencium bebauan dengan sangat sensitif peka. Ketika yang lain tidak mencium bau air kamar mandi, aku sudah mendapatkan bau payau anyir. Dan begitu dicek, betul saja ada tikus mengambang di sumur. Belum gembung dan busuk, tapi sudah jadi bangkai. Pada jarak bermeter-meter aku bisa menduga ada mobil ayam yang baru lewat dan aku pasti muntah-muntah karena gak tahan bau ayam potong yang sangat kimiawi itu. Bau lain yang bisa membuatku muntah adalah bau kecoa atau bekas kecoa (melihat atau memegangnya tidak masalah bagiku asal gak mencium baunya). Aku pun masih ingat bau-bau makanan saat aku masih kecil. Pun bau harum yang melintas dari orang yang baru mandi, atau bau apa saja yang melekat pada seseorang. Bahkan dulu aku bisa membedakan bau seseorang yang sedang sakit, pada orang-orang dekat tertentu aku masih bisa mengenalinya. Ada bau tertentu jika orang sedang sakit tanpa dia bilang karena pasti tercium bau berbeda dibanding saat sehat. Sayang aku tidak mengasahnya sehingga kadang aku menganggapnya bau biasa.
Nah, repotnya apa? Hmmm, apa ya. Ingatan pada bau-bau ini membuatku selalu dalam rindu. Ini yang pertama. Misal kalau sudah ingat beberapa bau makanan masa kecil, saat galau melanda, duh, betapa inginnya kembali ke masa itu. Yang kedua, karena super peka, aku bisa muntah karena bau yang tidak kusukai walau sangat samar. Ini bukan hanya bau yang busuk, bahkan bau harum yang tak kusukai bisa membuatku mual (saat aku hamil pertama, aku tidak bisa mencium bau harum bahkan dari sabun mandi, odol dan sebagainya). Ketiga, aku bisa sangat fanatik pada satu bau yang kusuka. Dan aku bisa sangat gelisah jika tidak mendapatkannya. Ah, tentu saja ini repot kalau bau itu jauh tak terjangkau. Bisa diare, teman.
Ah, tapi hidung tak punya daun yang bisa menutup menghindari bebauan macam apapun. Jadi, ya, dia terus saja merekam, mencatat, apapun yang tertangkap, dan memerintah seluruh tubuhku bereaksi terhadapnya. Karena satu bau aku bisa kehilangan mood, seperti juga oleh satu bau aku bisa sangat berhasrat, bergairah dan penuh kegembiraan. Duh hidung. Padahal aku akan memakainya sepanjang hidup. Aduh. Akan repot karenanya sepanjang hidup. Aduh. Aduh.
Friday, March 28, 2014
Wednesday, March 26, 2014
SBY Bikin Repot!
Untung tidak tiap hari kejadiannya. Huah. Keluar dari gang rumah aku sudah curiga. Kenapa juga ada polisi di situ, lalu jarak berapa ratus meter ada lagi, ada lagi, terus ada setiap selang beberapa ratus meter. Aih, ini pasti urusan gak bener nih. Nah, benar saja. Semakin ke arah Tanjungkarang, semakin kelihatan sibuk para polisi ini. Berarti tidak jauh di belakangku ada rombongan penggede itu.
"Bert, cepat naik. Kalau tidak kita akan terjebak gak bisa lewat."
Albert yang menunggu di depan Bimbel Medica mau protes, tapi wajahku pasti memaksanya untuk cepat naik ke motor. Benar saja, begitu putar balik di Pasar Koga, penyapu ranjau pertama lewat, lalu mobil pembersih kedua, ketiga, sepasang motor dan rombongan yang konon SBY itu. Bisa diduga kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan. Oalah.
"Memang kenapa sih, bu?"
"Mereka merasa punya negara, jadi boleh saja merepotkan orang banyak."
Hehehe, Albert terdiam di boncengan. Lalu komentar lagi.
"Untung tidak tiap hari ya. Kalau tiap hari, repotnya tiap hari dah."
Ya, untung saja. Dalam hati aku berpikir SBY ini datang sebagai presidennya rakyat Indonesia atau sebagai ketua Partai Demokrat ya? Siapa yang membiayai segala kerepotan ini? Rakyat Indonesia atau partainya kah? (Jadi marah ketika malam hari mendengar korlap aksi FMN di'aman'kan saat mengadakan aksi memberikan kritik-kritik untuk presiden. Oalah.)
"Bert, cepat naik. Kalau tidak kita akan terjebak gak bisa lewat."
Albert yang menunggu di depan Bimbel Medica mau protes, tapi wajahku pasti memaksanya untuk cepat naik ke motor. Benar saja, begitu putar balik di Pasar Koga, penyapu ranjau pertama lewat, lalu mobil pembersih kedua, ketiga, sepasang motor dan rombongan yang konon SBY itu. Bisa diduga kemacetan yang terjadi di sepanjang jalan. Oalah.
"Memang kenapa sih, bu?"
"Mereka merasa punya negara, jadi boleh saja merepotkan orang banyak."
Hehehe, Albert terdiam di boncengan. Lalu komentar lagi.
"Untung tidak tiap hari ya. Kalau tiap hari, repotnya tiap hari dah."
Ya, untung saja. Dalam hati aku berpikir SBY ini datang sebagai presidennya rakyat Indonesia atau sebagai ketua Partai Demokrat ya? Siapa yang membiayai segala kerepotan ini? Rakyat Indonesia atau partainya kah? (Jadi marah ketika malam hari mendengar korlap aksi FMN di'aman'kan saat mengadakan aksi memberikan kritik-kritik untuk presiden. Oalah.)
Monday, March 24, 2014
Takut yang Irasional
Ada rasa takut yang sungguh tidak irasional. Jika menyangkut diriku, satu-satunya urusan takut yang irasional tak masuk akal adalah ... ulat! Ya, binatang kecil inilah yang paling bisa membuatku gemetar ketakutan, entah sekecil apapun dia, entah berbulu atau tidak. Nah, aku tidak takut ular (aku pernah memegangnya, menangkapnya.), juga tidak takut segala binatang melata, kaki seribu, bahkan cacing sekalipun. Tapi kalau ketemu ulat, misal ulat pete yang kecil itu, badanku pasti spontan panas dingin. Parah kan. Boro-boro melihat aslinya, lihat gambarnya saja aku sudah langsung mau pingsan. Pokoke ndak banget deh.
Mengapa itu terjadi aku tak tahu persis. Misalnya pagi ini aku 'ramban' sawi untuk sayur bobor campur dengan tahu. Tanpa syak prasangka aku mengambil daun-daunnya, memotong dan mencucinya. Tapi, begitu mau dimasukin panci, aih, di daun paling atas yang tidak tercelup air cucian, seekor ulil sedang menari dengan genit.
"Bapak, Albert, Bernard, tolong!"
Tiga cowokku itu datang dengan sikap berbeda-beda. Mas Hen langsung menuju arah telunjukku menuding, mengambil baskom sayur dan menyingkirkan ulatnya tanpa banyak cincong. Albert nyengir,"Kirain apaan, bu. Cuma gitu aja takut." Lalu pergi. Bernard dengan lembut memegangku, menenangkan aku, lalu berlari nyusul bapaknya karena mau liat ulatnya macam apa.
"Udah gak ada lagi, bu. Aman." Kata Bernard ketika baskom sayur diletakkan dekat kompor. Tapi tak mungkin aku memegangnya lagi. Badan masih panas dingin, jadi aku mencomot sayuran dengan jepit untuk dimasukkan panci mendidih.Memang ulatnya sudah tak ada, tapi membayangkan jejaknya, mengingat keberadaannya, begitu saja sudah membuat aku gemetar.
Memang, aku yakin ketakutan ini ketakutan irasional yang tak seharusnya terjadi. Beberapa kali dalam hitungan jari aku juga pernah berhasil mengatasinya. Misal dulu saat melewati pohon waru penuh ulat bulu di kaki gunung Semeru, aku menang melewatinya karena aku bakal lebih ketakutan jika ditinggal rombongan pendaki saat senja mulai meremang. Saat lain ketika ada daun dengan ulat dekat bayiku, Albert bayi, maka aku jadi ibu gagah perkasa membuang daun itu. Juga saat ada serbuan endemi ulat di teras kantor dan sedang ada pemimpin Depag Propinsi datang berkunjung. Aku bisa nahan diri tidak ginjal-ginjal di depan tokoh pemerintah itu saat melihat buanyak ulat bulu di pagar demi penghormatan. Selebihnya? Ah yo parah tenan. Entah mengapa binatang kecil ini begitu jadi racun dalam hidupku, padahal aku sangat suka pada kupu-kupu dan tidak masalah memegang kepompong.
Mengapa itu terjadi aku tak tahu persis. Misalnya pagi ini aku 'ramban' sawi untuk sayur bobor campur dengan tahu. Tanpa syak prasangka aku mengambil daun-daunnya, memotong dan mencucinya. Tapi, begitu mau dimasukin panci, aih, di daun paling atas yang tidak tercelup air cucian, seekor ulil sedang menari dengan genit.
"Bapak, Albert, Bernard, tolong!"
Tiga cowokku itu datang dengan sikap berbeda-beda. Mas Hen langsung menuju arah telunjukku menuding, mengambil baskom sayur dan menyingkirkan ulatnya tanpa banyak cincong. Albert nyengir,"Kirain apaan, bu. Cuma gitu aja takut." Lalu pergi. Bernard dengan lembut memegangku, menenangkan aku, lalu berlari nyusul bapaknya karena mau liat ulatnya macam apa.
"Udah gak ada lagi, bu. Aman." Kata Bernard ketika baskom sayur diletakkan dekat kompor. Tapi tak mungkin aku memegangnya lagi. Badan masih panas dingin, jadi aku mencomot sayuran dengan jepit untuk dimasukkan panci mendidih.Memang ulatnya sudah tak ada, tapi membayangkan jejaknya, mengingat keberadaannya, begitu saja sudah membuat aku gemetar.
Memang, aku yakin ketakutan ini ketakutan irasional yang tak seharusnya terjadi. Beberapa kali dalam hitungan jari aku juga pernah berhasil mengatasinya. Misal dulu saat melewati pohon waru penuh ulat bulu di kaki gunung Semeru, aku menang melewatinya karena aku bakal lebih ketakutan jika ditinggal rombongan pendaki saat senja mulai meremang. Saat lain ketika ada daun dengan ulat dekat bayiku, Albert bayi, maka aku jadi ibu gagah perkasa membuang daun itu. Juga saat ada serbuan endemi ulat di teras kantor dan sedang ada pemimpin Depag Propinsi datang berkunjung. Aku bisa nahan diri tidak ginjal-ginjal di depan tokoh pemerintah itu saat melihat buanyak ulat bulu di pagar demi penghormatan. Selebihnya? Ah yo parah tenan. Entah mengapa binatang kecil ini begitu jadi racun dalam hidupku, padahal aku sangat suka pada kupu-kupu dan tidak masalah memegang kepompong.
Sunday, March 23, 2014
KA. Krakatau Kediri - Merak
Pulang kampung terakhir (karena bapak sakit) yaitu pada 7 - 12 Maret 2014, aku memanfaatkan perjalanan pulang balik Lampung macam relaksasi dengan Kereta Api Krakatau dari Kediri langsung Merak (Berangkatnya Lion Air cukup menyakiti hatiku karena delay yang keterlaluan walau mereka menggantinya dengan sekotak nasi padang!) Ini pengalaman pertama dengan Krakatau sejak dibukanya rute ini 10 Nopember tahun lalu.
Okey, aku sebut ini perjalanan relaksasi karena aku memang butuh diam-diam saja selama beberapa jam setelah menemani bapak di rumah sakit. Terlalu banyak yang kurasakan dan kupikirkan selama 4 hari di Kediri dalam situasi seperti itu. Entah suasana rumah sakitnya, kondisi bapak, rumah Sembak yang senyap, kumpulan pasir Kelud di mana-mana, kekuatiran ini itu dan sebagainya. KA Krakatau membantuku untuk mengendapkannya sebelum aku kembali menginjak Lampung dan kembali dalam rutinitas.
Aku akan cerita tentang kereta ini mulai dari pemesanan tiket. Sistem online kereta api membuat calon penumpang kereta api sekarang ini sangat dimudahkan. Di stasiun Kediri tempat aku membeli tiket, keterangan-keterangan tentang pemberangkatan, kedatangan, harga tiket, jumlah tiket tersisa dalam suatu perjalanan kereta api terpampang jelas di monitor dekat loket. KA Krakatau Kediri - Merak akan berangkat setiap hari pada pukul 06.45, dengan harga normal 230.000 rupiah (untuk gerbong 2 lebih murah, 215.000 rupiah.) Aku memilih gerbong 4, persis di belakang gerbong restorasi pada kursi dekat jendela, no 9 A. KTP mesti disiapkan untuk pembelian tiket, jangan lupa.
KTP juga dibutuhkan saat check in. Mereka sangat rapi sekarang ini, jadi jangan coba-coba pakai calo atau nama yang beda. Juga sangat bersih dan tepat waktu. Hari H, setelah pamit tak tega pada ibu bapak, aku duduk di KA Krakatau tanpa bicara. Kereta api ini disebut kereta api ekonomi AC, ekspres. Dia tidak berhenti di sembarang stasiun, jadi cukup cepat. Toilet bersih dengan air dan tisu yang tersedia di tiap toilet. Minimal aku melihat di 3 toilet yang sempat kupakai. Sayang pintunya agak berat sehingga aku selalu kesulitan saat menutup dan membukanya. Pengalaman terkunci di toilet TIM cukup membuatku horor setiap kali menemukan pintu toilet yang seret.
Gerbong restorasi cukup nyaman. Saat jam makan siang aku nongkrong di situ untuk segelas teh tawar hangat dan semangkuk lontong sayur. Alunan lagu membuatku lebih relax, hanya sayang para hostnya agak gak bisa atur mulut. Mereka cukup kencang ngobrol antar mereka, tertawa-tawa dan tindakan gak perlu lainnya. Padahal ada penumpang yang ada di gerbong itu sedang menikmati makanan. Makanan cukup enak dan bersih walau yach, seperti kebiasaan makanan di perjalanan selalu lebih mahal dari yang seharusnya.
Tidak ada penjual keluar masuk gerbong kecuali di dua stasiun yaitu Solo dan hmmm... kalau tak salah Cirebon. Jadi aku bisa membaca novel Sampar yang kubawa dengan tenang. Aku menghindari kontak mata dengan penumpang lain di sekitarku karena aku sedang tak ingin ngobrol sehingga sepanjang perjalanan itu aku hanya mengucap terimakasih dan beberapa kata saja seperlunya.
Sampai di Merak sekitar jam 2.00 dini hari, terlambat beberapa menit dari seharusnya tapi masih bisa ditoleransi. Turun, langsung naik tangga persis di loket kapal ferry penyeberangan ke Lampung. Ini sangat mudah dari pada kalau naik bis yang mesti jalan kaki sekitar 1 km.
Ah, recomended banget deh. Aku pasti akan mengulangnya lagi untuk perjalanan yang lain. (Foto-foto aku upload menyusul. Entah kenapa memory cardku tak bisa terbaca oleh netbookku ini. Hmmm...)
Okey, aku sebut ini perjalanan relaksasi karena aku memang butuh diam-diam saja selama beberapa jam setelah menemani bapak di rumah sakit. Terlalu banyak yang kurasakan dan kupikirkan selama 4 hari di Kediri dalam situasi seperti itu. Entah suasana rumah sakitnya, kondisi bapak, rumah Sembak yang senyap, kumpulan pasir Kelud di mana-mana, kekuatiran ini itu dan sebagainya. KA Krakatau membantuku untuk mengendapkannya sebelum aku kembali menginjak Lampung dan kembali dalam rutinitas.
Aku akan cerita tentang kereta ini mulai dari pemesanan tiket. Sistem online kereta api membuat calon penumpang kereta api sekarang ini sangat dimudahkan. Di stasiun Kediri tempat aku membeli tiket, keterangan-keterangan tentang pemberangkatan, kedatangan, harga tiket, jumlah tiket tersisa dalam suatu perjalanan kereta api terpampang jelas di monitor dekat loket. KA Krakatau Kediri - Merak akan berangkat setiap hari pada pukul 06.45, dengan harga normal 230.000 rupiah (untuk gerbong 2 lebih murah, 215.000 rupiah.) Aku memilih gerbong 4, persis di belakang gerbong restorasi pada kursi dekat jendela, no 9 A. KTP mesti disiapkan untuk pembelian tiket, jangan lupa.
KTP juga dibutuhkan saat check in. Mereka sangat rapi sekarang ini, jadi jangan coba-coba pakai calo atau nama yang beda. Juga sangat bersih dan tepat waktu. Hari H, setelah pamit tak tega pada ibu bapak, aku duduk di KA Krakatau tanpa bicara. Kereta api ini disebut kereta api ekonomi AC, ekspres. Dia tidak berhenti di sembarang stasiun, jadi cukup cepat. Toilet bersih dengan air dan tisu yang tersedia di tiap toilet. Minimal aku melihat di 3 toilet yang sempat kupakai. Sayang pintunya agak berat sehingga aku selalu kesulitan saat menutup dan membukanya. Pengalaman terkunci di toilet TIM cukup membuatku horor setiap kali menemukan pintu toilet yang seret.
Gerbong restorasi cukup nyaman. Saat jam makan siang aku nongkrong di situ untuk segelas teh tawar hangat dan semangkuk lontong sayur. Alunan lagu membuatku lebih relax, hanya sayang para hostnya agak gak bisa atur mulut. Mereka cukup kencang ngobrol antar mereka, tertawa-tawa dan tindakan gak perlu lainnya. Padahal ada penumpang yang ada di gerbong itu sedang menikmati makanan. Makanan cukup enak dan bersih walau yach, seperti kebiasaan makanan di perjalanan selalu lebih mahal dari yang seharusnya.
Tidak ada penjual keluar masuk gerbong kecuali di dua stasiun yaitu Solo dan hmmm... kalau tak salah Cirebon. Jadi aku bisa membaca novel Sampar yang kubawa dengan tenang. Aku menghindari kontak mata dengan penumpang lain di sekitarku karena aku sedang tak ingin ngobrol sehingga sepanjang perjalanan itu aku hanya mengucap terimakasih dan beberapa kata saja seperlunya.
Sampai di Merak sekitar jam 2.00 dini hari, terlambat beberapa menit dari seharusnya tapi masih bisa ditoleransi. Turun, langsung naik tangga persis di loket kapal ferry penyeberangan ke Lampung. Ini sangat mudah dari pada kalau naik bis yang mesti jalan kaki sekitar 1 km.
Ah, recomended banget deh. Aku pasti akan mengulangnya lagi untuk perjalanan yang lain. (Foto-foto aku upload menyusul. Entah kenapa memory cardku tak bisa terbaca oleh netbookku ini. Hmmm...)
Saturday, March 22, 2014
Kenangan Pohon Gayam
Secarik kenangan dari belik Ngrawan di bawah pohon gayam
terbawa angin hingga di lenganmu merapat dalam semak.
Bau gaharu tubuh terayun di mimpi tanpa air
menisik sudut pada sujud jelang subuh.
Ranting-ranting trengguli menunduk
burung pleci berhimpit berpasangan
pagi retak di cangkir induk semang.
Matamu terbang di ujung jalan menanjak
sengaja mengikat pokok api pada manik hasrat.
Tak ada lagi yang perlu ditunggu juga aroma matahari
siap menyeberangkan langkah pada angin pusar meninggi.
terbawa angin hingga di lenganmu merapat dalam semak.
Bau gaharu tubuh terayun di mimpi tanpa air
menisik sudut pada sujud jelang subuh.
Ranting-ranting trengguli menunduk
burung pleci berhimpit berpasangan
pagi retak di cangkir induk semang.
Matamu terbang di ujung jalan menanjak
sengaja mengikat pokok api pada manik hasrat.
Tak ada lagi yang perlu ditunggu juga aroma matahari
siap menyeberangkan langkah pada angin pusar meninggi.
Thursday, March 20, 2014
Unconditional Love
Belajar cinta tanpa syarat sungguh berat. Bahkan aku yang ibu, belajar tentangnya dengan anak-anak yang keluar dari rahimku pun terasa sulit.
"Ya, akan ibu belikan sate kalau langsung mandi sekarang juga!"
"Cepat beresin bukunya, nanti digarukin."
"Tidak. Makan sendiri. Ibu bilang mau nyuapi tadi. Sekarang tidak."
"Kita akan ke Jakarta kalau naik kelas."
Belum kalau menyangkut orang lain.
"Aku tak akan datang karena kau tak datang waktu ultahmu."
"Untuk apa membelaku sedang saat aku sedih kau tidak peduli padaku."
"Memang kau temanku, tapi aku tak bisa memberimu karena waktu itu kau tak jadi mampir."
Ah, macam-macam seperti itulah. Seringkali ada syarat untuk cinta. Aku mencintaimu kalau kamu melakukan ini, itu, ini dan itu. Ah, padahal jika masih ada syarat, benarkah itu sungguh-sungguh cinta?
"Ya, akan ibu belikan sate kalau langsung mandi sekarang juga!"
"Cepat beresin bukunya, nanti digarukin."
"Tidak. Makan sendiri. Ibu bilang mau nyuapi tadi. Sekarang tidak."
"Kita akan ke Jakarta kalau naik kelas."
Belum kalau menyangkut orang lain.
"Aku tak akan datang karena kau tak datang waktu ultahmu."
"Untuk apa membelaku sedang saat aku sedih kau tidak peduli padaku."
"Memang kau temanku, tapi aku tak bisa memberimu karena waktu itu kau tak jadi mampir."
Ah, macam-macam seperti itulah. Seringkali ada syarat untuk cinta. Aku mencintaimu kalau kamu melakukan ini, itu, ini dan itu. Ah, padahal jika masih ada syarat, benarkah itu sungguh-sungguh cinta?
Wednesday, March 19, 2014
Oh My Son! (2)
Dari awal, anak bungsuku tercinta, Bernard, adalah anak yang suka ngeyel. Dia dikandung karena ngeyel, dilahirkan dengan ngeyel, dan hidupnya selalu ngeyel. Malam ini dia dengan mata merah yang pasti sudah mengantuk nyeyel ngotot bilang kalau belum mengantuk.
"Aku belum ngantuk, ibu. Sebenarnya aku ingin mengerjakan sesuatu, tapi malas." (Asli, anakku yang satu ini bahasanya kelas tinggi. Mesti hati-hati kalau bicara dengannya. 'Mengerjakan sesuatu' itu bisa berarti pekerjaan yang super penting jika aku menelusurinya.)
Dia ngelesot di sampingku, melihatku mengetik calon novel sambil komentar-komentar cari perhatian yang intinya aku tak bisa menambah satu paragrafpun. Maka aku ajak dia makan mi rebus. Hehehe...
"Kita bikin mi saja yuk, Nard."
"Asyik, kita berdua saja ya, bu." Bapaknya sedang pergi, dan kakaknya sudah tidur.
Maka kami berdua masak lalu makan dari satu mangkok. Dia tanya tentang segala hal, salah satunya tentang pekerjaan yang paling berat di dunia.
"Apa ya? Bernard pernah lihat tukang angkut beras di pasar?" Dia menggeleng sambil menyeruput mi."Kapan-kapan lihatlah. Mereka bekerja sangat keras. Mungkin bukan yang paling keras, tapi kalau adik yang mengangkut beras itu, pasti sudah patah punggungnya."
"Ya kan aku masih kecil."
"Iya, dan semoga Bernard tidak harus begitu. Mesti menyiapkan diri supaya bisa memilih yang lain, tidak harus angkut beras yang berat. Sekolah, belajar, punya kemampuan ini itu. Bernard mau jadi apa nanti?"
"Belum tahu. Tapi tidak jadi guru ah, juga bukan tukang angkut. Nantilah aku pikir."
"Okey, jadi sekarang tidur yuk."
"Aku belum ngantuk, ibu." Padahal matanya sudah 5 watt.
"Kalau gitu temani ibu saja di kamar yuk."
"Okey." Dia berbaring di sebelahku. Aku pura-pura tidur menyapa parau. "Goodnite, Bernard."
"Goodnite, ibu. Have a nice dream."
"Hmmm..."
Aih, sedetik kemudian dia miring ke kiri dan tidak ada lagi suara hingga pelan-pelan nafasnya teratur, tenang, terlelap. Ah, Bernard. Buatlah dirimu punya pilihan. Dan pilihlah yang membuatmu bahagia. Tetap ngeyel juga tak apa.
"Aku belum ngantuk, ibu. Sebenarnya aku ingin mengerjakan sesuatu, tapi malas." (Asli, anakku yang satu ini bahasanya kelas tinggi. Mesti hati-hati kalau bicara dengannya. 'Mengerjakan sesuatu' itu bisa berarti pekerjaan yang super penting jika aku menelusurinya.)
Dia ngelesot di sampingku, melihatku mengetik calon novel sambil komentar-komentar cari perhatian yang intinya aku tak bisa menambah satu paragrafpun. Maka aku ajak dia makan mi rebus. Hehehe...
"Kita bikin mi saja yuk, Nard."
"Asyik, kita berdua saja ya, bu." Bapaknya sedang pergi, dan kakaknya sudah tidur.
Maka kami berdua masak lalu makan dari satu mangkok. Dia tanya tentang segala hal, salah satunya tentang pekerjaan yang paling berat di dunia.
"Apa ya? Bernard pernah lihat tukang angkut beras di pasar?" Dia menggeleng sambil menyeruput mi."Kapan-kapan lihatlah. Mereka bekerja sangat keras. Mungkin bukan yang paling keras, tapi kalau adik yang mengangkut beras itu, pasti sudah patah punggungnya."
"Ya kan aku masih kecil."
"Iya, dan semoga Bernard tidak harus begitu. Mesti menyiapkan diri supaya bisa memilih yang lain, tidak harus angkut beras yang berat. Sekolah, belajar, punya kemampuan ini itu. Bernard mau jadi apa nanti?"
"Belum tahu. Tapi tidak jadi guru ah, juga bukan tukang angkut. Nantilah aku pikir."
"Okey, jadi sekarang tidur yuk."
"Aku belum ngantuk, ibu." Padahal matanya sudah 5 watt.
"Kalau gitu temani ibu saja di kamar yuk."
"Okey." Dia berbaring di sebelahku. Aku pura-pura tidur menyapa parau. "Goodnite, Bernard."
"Goodnite, ibu. Have a nice dream."
"Hmmm..."
Aih, sedetik kemudian dia miring ke kiri dan tidak ada lagi suara hingga pelan-pelan nafasnya teratur, tenang, terlelap. Ah, Bernard. Buatlah dirimu punya pilihan. Dan pilihlah yang membuatmu bahagia. Tetap ngeyel juga tak apa.
Oh My Son!
Sudah dari dulu nih anak, anakku sulung tercinta, Albert, tak bisa diam barang beberapa menit. Selalu saja ada alasan baginya untuk bergerak kesana kemari. Aduh. Aku senewen sungguh dalam minggu ini. Dia sedang ulangan mid semester, tapi buku hanya dipegangnya, diletakkan, dipegang lagi. Lah, kapan belajarnya, Albert?
"Ini sedang belajar, ibu."
Padahal dari tadi kudengar dia meniup-niup seruling. Lalu bentar keluar.
"Albert!"
"Iya, ibu." Hmmm, manis nian suaranya menjawab. Langsung melanjutkan,"Kasian burungnya, bu. Jadi aku taruh dulu di tempat aman." Di tangannya ada kurungan ciblek, dia pindahkan ke teras. Lalu masuk kamar lagi. Begitu aku tengok sudah tidak ada.
"Albert!"
"Hadir." Astaga. Dia malah di dalam kamar mandi, nyemprotin dindingnya dengan air hingga berbentuk huruf gambar seluruhnya.
"Hmmm, tadi kan katanya belajar di rumah karena hujan tidak perlu ke Medica."
"Iya, ibu." Wajah malaikatnya kembali terpasang. Beberapa saat kemudian aku dengar suara dapur yang meriah dengan minyak panas. Dan apa terjadi? Albert menggoreng opak.
"Enak kalau belajar sambil nyemil." Astaganaga. Tapi dari tadi belum terbaca buku itu, nak. Besok IPA dan bahasa Lampung? Aduh. Dia masih saja santai walau aku sudah senewen.
"Ini sedang belajar, ibu."
Padahal dari tadi kudengar dia meniup-niup seruling. Lalu bentar keluar.
"Albert!"
"Iya, ibu." Hmmm, manis nian suaranya menjawab. Langsung melanjutkan,"Kasian burungnya, bu. Jadi aku taruh dulu di tempat aman." Di tangannya ada kurungan ciblek, dia pindahkan ke teras. Lalu masuk kamar lagi. Begitu aku tengok sudah tidak ada.
"Albert!"
"Hadir." Astaga. Dia malah di dalam kamar mandi, nyemprotin dindingnya dengan air hingga berbentuk huruf gambar seluruhnya.
"Hmmm, tadi kan katanya belajar di rumah karena hujan tidak perlu ke Medica."
"Iya, ibu." Wajah malaikatnya kembali terpasang. Beberapa saat kemudian aku dengar suara dapur yang meriah dengan minyak panas. Dan apa terjadi? Albert menggoreng opak.
"Enak kalau belajar sambil nyemil." Astaganaga. Tapi dari tadi belum terbaca buku itu, nak. Besok IPA dan bahasa Lampung? Aduh. Dia masih saja santai walau aku sudah senewen.
Tuesday, March 18, 2014
MENGELAK
"Dari debu kau kuangkat ke pelaminan
kurias dengan kulit jelawe kurendam
kuendap, kutoreh menjadi cantik wajahmu."
Langit adalah bentengmu
tempat mengelak dari segala rumus
dan jaring kata-kata.
"Karena kucinta kau
dari jenis segala."
Terlempar dalam hening bersambung
ra ma da sa sa say so hung.
kurias dengan kulit jelawe kurendam
kuendap, kutoreh menjadi cantik wajahmu."
Langit adalah bentengmu
tempat mengelak dari segala rumus
dan jaring kata-kata.
"Karena kucinta kau
dari jenis segala."
Terlempar dalam hening bersambung
ra ma da sa sa say so hung.
Sunday, March 16, 2014
Bapak
Kemarin aku telepon ibu.
"Bu, bapak piye?"
"Ini lagi sarapan. Sudah baik, tapi sedikit sekali makannya dan masih aras-arasen."
"Apakah bapak mau bicara denganku?"
Ibu bertanya ke bapak.
"Bapak nggak mau bicara. Takut kalau pas bicara nanti lupa mau ngomong apa. Bicara ke ibu ae, nanti disampaikan. Memang bapak jarang bicara sekarang. Sik males."
Ibu bicara lagi dengan bapak di ujung sana dengan nada riang, sepertinya menggoda bapak. Ahhh...
Aku tak bisa tidak menjadi murung jika ingat bapak. (Bapak bernama lengkap A. Samiran Karya Atmaja, 66 th) Saat mendengar bapak masuk ruang ICU rumah sakit Baptis Kediri, jiwaku langsung terbang ke sana. Ragaku baru terbang di hari ketiga setelah mengingat segala macam pertimbangan. Jumat 7 Maret lalu aku memaksa diri dalam perjalanan yang gelisah ke Kediri. (Penerbangan paling malam, sampai di Juanda persis tengah malam, naik taksi tanpa nawar dan milih, di Bungurasih cari bis terdepan yang menuju Kediri lalu naik becak ke rumah sakit pada jam 3.30 dini hari. Sebenarnya agak takut, sangat sepi, tapi tak ada pilihan.)
Di rumah sakit, bapak baru saja dipindah ke ruang rawat, tidak lagi di ICU. Langsung tersenyum ketika aku ada di samping ranjangnya. Aku setuju dengan pendapat Yeni.
"Rasanya aneh melihat bapak begitu lemah di tempat tidur. Dari kita kecil sampai sekarang, bapak selalu siap untuk kita, apapun yang terjadi. Bapak selalu membuat kita percaya bahwa semua baik-baik saja, semua aman, dan kita sangat percaya padanya."
Bapak tak pernah sakit. Terakhir ketika ketemu di Jakarta sehari setelah ulang tahun ibu, 10 Pebruari 2014 lalu, bapak terlihat fit, penuh vitalitas. Curhat banyak hal dengan berapi-api, walau ada juga nelangsa di sana sini. Nah, kemudian kata dokter,"Jantung koroner dan ada cairan di paru-paru." Astaga, bapak.
Tiga malam aku menemani bapak di rumah sakit bergantian dengan ibu yang jaga saat siang. Yeni dan Windra sudah balik ke Jakarta. Setiap malam aku merasakan kedekatan dengan bapak walau tanpa percakapan. Bapak sulit sekali ngobrol walau sepertinya ingin ngobrol. Ketika ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba bapak kehilangan ingatan kata apa yang ingin dikatakan, sehingga membuatnya jengkel dan akhirnya terdiam. Ah, bapak.
Perjalanan balik ke Lampung dengan kereta api Krakatau menuju Merak pada 11 Maret lalu membuatku seperti melayang antara nyata dan maya. Tidak tega meninggalkan bapak hanya dengan ibu dan kerabat lain. Mbak Lis dengan anak bayinya tak mungkin diharapkan membantu lebih. Sedang ibu sendiri masih pasien yang tiap bulan mesti kontrol ke rumah sakit karena jantung yang sudah bercincin. Tapi aku juga punya kewajiban-kewajiban di Lampung yang tak mungkin ditinggal.
Aku mesti percaya kalau semua akan baik-baik saja. Saat pamit, aku bisikkan berkali-kali ke bapak. "Aku sayang bapak."
"Bu, bapak piye?"
"Ini lagi sarapan. Sudah baik, tapi sedikit sekali makannya dan masih aras-arasen."
"Apakah bapak mau bicara denganku?"
Ibu bertanya ke bapak.
"Bapak nggak mau bicara. Takut kalau pas bicara nanti lupa mau ngomong apa. Bicara ke ibu ae, nanti disampaikan. Memang bapak jarang bicara sekarang. Sik males."
Ibu bicara lagi dengan bapak di ujung sana dengan nada riang, sepertinya menggoda bapak. Ahhh...
Aku tak bisa tidak menjadi murung jika ingat bapak. (Bapak bernama lengkap A. Samiran Karya Atmaja, 66 th) Saat mendengar bapak masuk ruang ICU rumah sakit Baptis Kediri, jiwaku langsung terbang ke sana. Ragaku baru terbang di hari ketiga setelah mengingat segala macam pertimbangan. Jumat 7 Maret lalu aku memaksa diri dalam perjalanan yang gelisah ke Kediri. (Penerbangan paling malam, sampai di Juanda persis tengah malam, naik taksi tanpa nawar dan milih, di Bungurasih cari bis terdepan yang menuju Kediri lalu naik becak ke rumah sakit pada jam 3.30 dini hari. Sebenarnya agak takut, sangat sepi, tapi tak ada pilihan.)
Di rumah sakit, bapak baru saja dipindah ke ruang rawat, tidak lagi di ICU. Langsung tersenyum ketika aku ada di samping ranjangnya. Aku setuju dengan pendapat Yeni.
"Rasanya aneh melihat bapak begitu lemah di tempat tidur. Dari kita kecil sampai sekarang, bapak selalu siap untuk kita, apapun yang terjadi. Bapak selalu membuat kita percaya bahwa semua baik-baik saja, semua aman, dan kita sangat percaya padanya."
Bapak tak pernah sakit. Terakhir ketika ketemu di Jakarta sehari setelah ulang tahun ibu, 10 Pebruari 2014 lalu, bapak terlihat fit, penuh vitalitas. Curhat banyak hal dengan berapi-api, walau ada juga nelangsa di sana sini. Nah, kemudian kata dokter,"Jantung koroner dan ada cairan di paru-paru." Astaga, bapak.
Tiga malam aku menemani bapak di rumah sakit bergantian dengan ibu yang jaga saat siang. Yeni dan Windra sudah balik ke Jakarta. Setiap malam aku merasakan kedekatan dengan bapak walau tanpa percakapan. Bapak sulit sekali ngobrol walau sepertinya ingin ngobrol. Ketika ingin mengatakan sesuatu tiba-tiba bapak kehilangan ingatan kata apa yang ingin dikatakan, sehingga membuatnya jengkel dan akhirnya terdiam. Ah, bapak.
Perjalanan balik ke Lampung dengan kereta api Krakatau menuju Merak pada 11 Maret lalu membuatku seperti melayang antara nyata dan maya. Tidak tega meninggalkan bapak hanya dengan ibu dan kerabat lain. Mbak Lis dengan anak bayinya tak mungkin diharapkan membantu lebih. Sedang ibu sendiri masih pasien yang tiap bulan mesti kontrol ke rumah sakit karena jantung yang sudah bercincin. Tapi aku juga punya kewajiban-kewajiban di Lampung yang tak mungkin ditinggal.
Aku mesti percaya kalau semua akan baik-baik saja. Saat pamit, aku bisikkan berkali-kali ke bapak. "Aku sayang bapak."
Bagian Penghabisan - 2
sore tertusuk ujung pena
meratap dalam riap nafas
sedannya menempel di kelopak terakhir
cattleya tersedak remah-remah
ungu wajahnya
merunduk di perdu penitian
jengah
angin membuatnya gemetar
dan dia harus selalu sembunyi
dalam rongga senyum-senyum tangguh
samudera tanpa pantai
meratap dalam riap nafas
sedannya menempel di kelopak terakhir
cattleya tersedak remah-remah
ungu wajahnya
merunduk di perdu penitian
jengah
angin membuatnya gemetar
dan dia harus selalu sembunyi
dalam rongga senyum-senyum tangguh
samudera tanpa pantai
Saturday, March 15, 2014
Bagian Penghabisan
adanya di lembaran terakhir
tertulis dengan tinta basah
setengah teresap pada kertas
setengahnya lagi menunggu angin
cangkir kopi meneriakkan hampa
menyulutkan api di pucuk kepala
kulemparkan engkau pada sore
tertusuk di ujung pena
muntah di kilau tersisa
lalu kering
dan kekal
tak terhapuskan
tertulis dengan tinta basah
setengah teresap pada kertas
setengahnya lagi menunggu angin
cangkir kopi meneriakkan hampa
menyulutkan api di pucuk kepala
kulemparkan engkau pada sore
tertusuk di ujung pena
muntah di kilau tersisa
lalu kering
dan kekal
tak terhapuskan
Thursday, March 13, 2014
SAMPAR, SESI PANJANG BELAJAR MENULIS
Penulis :
Albert Camus, 1947
Penerjemah : Nh. Dini
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
Cetakan 3, 2013.
Tebal : 386 + x hlm.
Ukuran : 13,4 x 18,4 cm
Harga : Rp 49.500ISBN : 978-979-461-582-9
Aku membutuhkan waktu lumayan lama untuk membaca buku ini (walaupun sekali duluuu aku pernah membacanya secara tergesa), lebih dari seminggu. Buku yang membuatku bilang,"Aku menemukan lagi satu guru menulis yang membuatku jatuh cinta. Inilah dia orangnya, Albert Camus."
Ya, dia pemenang nobel tahun 1957 dengan hasil karya kelas dunia dalam bahasa Perancis antara lain La Peste, L'Envere et I'Endroit, L'Etranger, Le Mythe de Sisyphe dan La Chute. Pria kelahiran Aljazair 7 Nopember 1913 ini mengawali karier penulisan sebagai wartawan sebelum melahirkan karya-karya sastra. Dia mempunyai pendirian yang teguh tentang kemanusiaan, namun juga sangat sederhana. "Seni bukanlah sesuatu yang bisa dinikmati seorang diri," begitu menurutnya. Maka, sepenuhnya seorang seniman, juga sastrawan selalu hidup dalam keindahan dan serta merta tak bisa lepas dari kelompok masyarakat.
Albert menyerukan perdamaian, persahabatan antar manusia. Hal itu pula yang kental terasa dalam novel Sampar ini. Dalam kengerian sebuah epidemi, yang mengakibatkan kesakitan, pengucilan dan perpisahan, Albert menyodorkan relasi antar manusia yang saling peduli, sekaligus saling berbagi. Kisah ini memberiku pemahaman yang luas, lengkap dan detail.
Namun, silakan saja membaca sendiri novel ini untuk menemukan persahabatan dengan Albert. Aku sedang ingin menuliskan satu hal yang sungguh-sungguh tersurat dalam novel ini sehingga aku menyebutnya sebagai guru, gu, yang padanya aku jatuh cinta, jatuh hati setengah mati. Dia mengajarku menulis, teguh kukuh dalam kerjaanku sekarang ini (Tentang Nina, Iru, Krishna, ayah, Kandy, Tanjungkarang, bakal cerita panjang yang padanya kusampirkan seluruh malamku. Wuih.), pada satu detil yang aku sebenarnya ingin menyerah beberapa waktu lalu.
Ya, Albert melalui tokoh Grand dalam Sampar memberiku satu pelajaran berharga, seluruh novel itu, tapi lihat secara khusus pada halaman 124 - 128. Aku mengulang bagian-bagian, yang sebenarnya sepele dari keseluruhan Sampar, dengan mata selalu berbeliak, dan kucatat ulang seluruhnya.
Grand, seorang tokoh figuran, dalam seluruh kesesakan hidupnya, terobsesi menuliskan sebuah kisah. Masih berupa satu paragraf yang dia tulis berulang, edit berkali-kali, dan belum selesai sampai entah. Dikatakan kerja hobi ini butuh malam demi malam, minggu demi minggu untuk menyempurnakan satu kata. Bahkan untuk sebuah kata penghubung. 'Tetapi' atau 'dan', 'dan' atau 'lalu', 'lalu' atau 'kemudian', atau bahkan 'dan' atau 'tidak'.
"Ya," kata Grand. "Naskah itu harus sempurna." Maka Grand berkutat pada satu paragraf, ah bukan, satu kalimat. "Suatu pagi yang cerah di bulan Mei, seorang wanita anggun penunggang kuda betina Alezane melewati jalan setapak yang dibatasi bunga-bunga di Bois de Boulogne." Satu kalimat itu saja setelah berbulan-bulan dan hingga berbulan-bulan lagi, dan Grand belum menganggapnya selesai.
Di halaman lain Grand digambarkan mengganti kata 'anggun' dengan 'langsing' karena menurutnya kata ini lebih nyata. Di halaman 327 ditunjukkan hasil penulisan ulang Grand yang kesekian kali tak terhitung. "Di pagi Mei yang cerah, seorang wanita langsing penunggang kuda Alezane yang megah, berjalan di tengah-tengah bunga jalan setapak di Bois..."
Belum selesai. Grand bilang di halaman 382, sejak insiden pembakaran karyanya secara sengaja,"Saya hilangkan semua kata sifat di dalamnya!" Hingga cerita Sampar berakhir, belum diketahui bagaimana akhirnya Grand menyelesaikan kalimatnya itu. Hmmm, keteguhan itu sungguh indah. Bagiku ini akan menjadi sesi belajar yang panjang. Sungguh menarik.
Wednesday, March 12, 2014
MONOLOG
Terikat oleh kecemasan
juga kelekatan
(atau cinta)
tangan-tangan waktu terus melakukan usahanya
mencari-cari hubungan dalam tanda-tanda
kata-kata beku
lipatan-lipatan kenangan
dulu serangkai wangi mawar
mengambang di sekitar indera
lalu semuanya luruh dari rahim
lusuh
terserak rata di atas panggung
melata berkaki banyak
serupa monolog
melangkahi berjuta penonton
sepotong tak akan cukup
(mendamba waktu yang sama
saat udara bisa begitu utuh, penuh
dan engkau kupanggil nama
bukan pernah)
lonceng di ujung pentas
menandai
setiap koma
dan akhir
dari gema tepuk tangan.
juga kelekatan
(atau cinta)
tangan-tangan waktu terus melakukan usahanya
mencari-cari hubungan dalam tanda-tanda
kata-kata beku
lipatan-lipatan kenangan
dulu serangkai wangi mawar
mengambang di sekitar indera
lalu semuanya luruh dari rahim
lusuh
terserak rata di atas panggung
melata berkaki banyak
serupa monolog
melangkahi berjuta penonton
sepotong tak akan cukup
(mendamba waktu yang sama
saat udara bisa begitu utuh, penuh
dan engkau kupanggil nama
bukan pernah)
lonceng di ujung pentas
menandai
setiap koma
dan akhir
dari gema tepuk tangan.
Wednesday, March 05, 2014
Buletin Insan, Maret 2014, KSP Kopdit Mekar Sai
Gerakan Buruh Mandiri dan Tak
Terbeli
Ch. Dwi Yuli Nugrahani*
Perjuangan buruh terus bergerak dinamis sejak muncul kesadaran akan
kekuatan massal yang dimilikinya. Salah satu tanda yang dapat dilihat oleh
masyarakat luas adalah aksi-aksi setiap 1 Mei (hari Buruh Internasional). Satu
dekade terakhir ini gaungnya berkisar pada tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing dan buruh kontrak. Point ini
merupakan bagian dari tuntutan akan adanya regulasi yang berpihak pada mereka.
Bukan hanya pada 1 Mei, aksi-aksi terus digodok oleh serikat buruh/pekerja sesuai
dengan situasi dan kondisi tempat mereka bekerja. Gerakan ini masih akan terus
berkembang karena secara umum bisa dikatakan bahwa buruh Indonesia masih jauh
dari hidup layak yang dapat menunjukkan martabat hidup sebagai manusia.
Contoh kecil dapat dilihat dari sekelompok buruh yang bekerja di salah satu
perusahaan di Lampung. Mereka digaji Rp. 637.000,- tiap bulan. Gaji pokok ini
ditambah dengan tunjangan kehadiran, makan dan transportasi hingga mencapai Rp.
1 juta rupiah. Dengan tanggungan seorang istri dan seorang anak, penghasilan
ini jauh dari mencukupi. Masih ditambah lagi, ketika pekerja ini adalah pekerja
outsourcing, sewaktu-waktu bisa
dipecat jika perusahaan outsourcingnya
tidak lagi membutuhkannya. Sampai dia mendapat pekerjaan lagi, bagaimana dia
hidup jika mendapat gaji seperti itu, tanpa pesangon dan boro-boro punya tabungan?.
Akrobat
Para Buruh
Mulai
tahun 2014, upah minimum propinsi (UMP) Lampung adalah Rp 1.399.037,- (Ditetapkan pada Sabtu 7/12/2013). Angka ini diberlakukan
untuk pekerja lajang pada tahun pertama bekerja. Dibandingkan dengan tahun-tahun lalu yang UMP selalu di bawah angka
Kebutuhan Hidup Layak (KHL), tahun ini angka itu setara KHL yang sudah didapatkan Dewan Pengupahan Propinsi dari hasil survey.
Angka KHL menjadi acuan bagi kelayakan hidup pekerja. Di dalamnya ada
komponen-komponen kebutuhan hidup sehari-hari yang kemudian nilainya diambil
dari survey pasar untuk waktu tertentu. Komponen dari KHL
merujuk pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian
Kebutuhan Hidup Layak.
Salah satu komponen KHL yang tidak memungkinkan buruh/pekerja bertahan
kalau tidak lagi mendapatkan gaji bulanannya adalah komponen tabungan.
Disebutkan bahwa komponen tabungan adalah 2 % dari seluruh total kebutuhan yang
sudah didapat dari hasil survey, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal,
transportasi, dan sebagainya. Dengan angka KHL seperti itu, maka tabungan yang
bisa disisihkan oleh para buruh tidak akan melebihi angka Rp. 30.000,- tiap
bulan (dengan melihat angka KHL yang sudah ditetapkan). Dengan tidak adanya
komponen social cost (biaya-biaya
untuk kebutuhan hidup sosial seperti kondangan, melayat, mengunjungi orang
sakit dan sebagainya), angka 30 ribu rupiah itu tak mungkin disisihkan karena
sudah terpakai untuk biaya sosial.
Maka, yang muncul dan biasa terjadi pada buruh atau keluarga buruh adalah
akrobat hutang. Gali lubang, tutup lubang. Kalau ini yang terjadi, keluarga itu
tidak akan bisa tahan lebih lama dalam keluarga sejahtera seperti yang
diharapkan. Maka, kalau pada akhirnya juga tidak memunculkan para penggerak
buruh militan yang bisa berjuang pada ranah lebih tinggi lain misalnya soal
kebijakan yang tidak adil, politik dan sebagainya, hal ini bisa dimaklumi
karena para buruh masih berkutat pada urusan perut. Atau, kalaupun muncul,
mereka masih rentan dimainkan oleh pihak lain, bahkan bisa dibeli oleh
kepentingan politik tertentu.
Pemberdayaan Keluarga Buruh
Mau
tak mau mereka, para buruh dan keluarganya terkenai dampak yang secara langsung
dirasakan saat masalah-masalah perburuhan terjadi. Misalnya karena kebijakan upah murah, perselisihan
hubungan kerja, pemutusan hubungan kerja, dan sebagainya. Para buruh dan
keluarga banyak yang tidak siap menghadapi masalah-masalah itu sehingga
kehidupan mereka dalam keluarga menjadi timpang. Ada yang tertimbun hutang,
keputusasaan, bahkan perceraian.
Buruh dan keluarganya masih belum aman dalam pengelolaan
finansial/ekonominya. Selain itu mereka juga minim pengetahuan, keahlian dan
jaringan. Aktifitas perburuhan yang dimaksudkan untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka seringkali berakibat yang sebaliknya pada keluarga
masing-masing. Jangankan mendapat dukungan keluarga (istri, suami atau anak),
bahkan keluarga bisa jadi menjadi teror bagi aktifis perjuangan buruh karena
tidak hasil yang langsung bisa dirasakan oleh keluarga.
Kondisi idealnya, keluarga harusnya memberikan dukungan dan penguatan pada
pasangannya yang menjadi aktifis buruh. Mereka juga harus dibantu untuk
menemukan kondisi yang aman secara ekonomi dalam keluarga. Tidak hanya
mengandalkan upah yang masih sangat tergantung pada kebijakan perusahaan dan pemerintah
tapi juga mulai memikirkan alternatif penghasilan lain melalui sumber lain.
Katalisator bagi Gerakan Buruh yang Mandiri
Pelatihan kewirausahaan bagi para pekerja menjadi salah satu alternatif
yang bisa mendorong para buruh/pekerja dan keluarganya mempunyai pilihan lain.
Mereka akan mempunyai wawasan tentang dunia lain di luar tempat kerjanya selama
ini, dan potensi itu bisa digali kembangkan untuk kepentingan finansial mereka.
Anggapan
awal bahwa gerakan buruh itu semata ketika
vokal dalam aksi di jalan, harus ditambah
dengan melihat dalam konteks yang lebih kecil dan
konkret, yaitu tentang jaring pengaman ekonomi untuk keluarga
masing-masing. Penguatan ekonomi keluarga harus mulai dipikirkan sebagai
pendorong bagi gerakan buruh atau perjuangan buruh. Dan ini sangat mungkin untuk dilakukan. Usaha ekonomi mandiri
bisa dimulai dari hal yang kecil, tidak harus menunggu modal yang besar.
Dari pengalaman mengadakan pelatihan semacam ini para penggiat serikat
buruh dalam lingkaran jaringan yang dimiliki oleh Forum Komunikasi Serikat
Pekerja Lampung (FKSPL) di wilayah Lampung, Palembang, Jakarta, Jawa Barat dan
Jawa Tengah (Wisma Albertus, 1- 3 Nopember 23 menunjukkan hal itu. Dampak
yang tak terduga kelihatan dari peserta yang
antusias membuat proyeksi usaha, dan langsung menerapkannya untuk diri sendiri,
keluarga atau kelompoknya dan juga kesepakatan untuk bertemu lagi untuk
mengevaluasinya. Dalam perbincangan selanjutnya dapat dilihat bahwa
pelatihan menjadi inspirasi bagi kemajuan ekonomi keluarga mereka.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah solidaritas dalam gerakan buruh.
Untuk point ini diperlukan kesadaran untuk tetap hidup dalam komunitas. Jika
ini berjalan, kekuatiran atau kecenderungan bahwa seorang yang mulai mapan
ekonominya lupa pada perjuangan, tidak perlu terjadi. Dalam pelatihan seperti
disebut di atas, salah satu cara untuk terus membangun solidaritas adalah
melalui credit union atau koperasi
dengan konsep yang benar dalam prinsip dari, oleh dan untuk.
Pendidikan, Swadaya, Solidaritas
Untuk bagian penutup tulisan ini, penulis ingin mengambil saripati dari
bahan yang pernah dipaparkan oleh FX. Siman, Ketua Pusat Koperasi Kredit
(Puskopdit) Caraka Propinsi Lampung dalam sebuah pelatihan. Ada tiga hal yang
bisa mendorong masyarakat, dalam hal ini masyarakat pekerja/buruh, untuk sampai
pada kesejahteraan yang hakiki.
Pertama adalah pendidikan. Pendidikan ini penting karena
bisa secara bertahap bisa mengubah pola pikir baik bagi penggerak maupun
yang digerakkan. Misalnya pendidikan tentang membangun usaha bersama dalam bidang keuangan dengan
sistem menabung sesuai kemampuan. Secara bersama baik penggerak maupun
yang digerakkan gotong royong membangun permodalan. Pendidikan akan membangun manusia untuk membuka jendela pikiran,
melihat bahwa masih banyak hal yang bisa diperbuat di luar hal-hal rutin
yang biasa dikerjakan.
Kedua adalah swadaya. Setiap orang
bahkan yang kecil dan dianggap tidak mampu pun bisa berswadaya atau mandiri.
Hal ini sangat bisa terwujud,
tetapi harus dilakukan bersama-sama. Pendapatan sekecil apapun harus diusahakan untuk tidak dihabiskan dalam keadaan apapun. Harus ada
yang ditabung.
Ketiga adalah solidaritas. Kesetiakawanan
atau solidaritas harus terbangun untuk mendapatkan komunitas gerakan yang kuat. Saling menjaga kepercayaan menjadi salah satu bagian yang tidak bisa
ditinggalkan dalam hal ini. Untuk komunitas buruh/pekerja, hal ini sangat
krusial dilakukan sebagai proses dalam penyatuan seluruh kekuatan untuk
perubahan seperti yang dicita-citakan. Dengan demikian, slogan yang biasa
diserukan oleh para buruh bukanlah slogan belaka. Buruh bersatu tak bisa
dikalahkan!
*(Penulis adalah Dewan Penasehat Forum Komunikasi Serikat
Pekerja Lampung (FKSPL) dan koordinator Bagian Justice and Peace Keuskupan
Tanjungkarang)
Saturday, March 01, 2014
Arranged Marriage
Judul : Arranged Marriage (Perjodohan)
Penulis : Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Gita Yuliani
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Isi : 376 hlm; 20 cm
ISBN : 978-602-03-0135-8
Ini buku ketiga dari Chitra Banerjee Divakaruni yang aku baca. Yang pertama kumpulan cerpen "The Unknown Errors of Our Lives", lalu novel "Queen of Dreams" dan yang ketiga ini kumpulan cerpen "Arranged Marriage".
Aku jatuh hati pada Divakaruni. Karena, pertama, tulisannya selalu (so far) menyangkut kaitan kehidupan modern (Amerika) dan tradisional (India). Kehidupan yang sederhana menjadi rumit, dan yang rumit bisa menjadi begitu sederhana dalam tarik menarik India - Amerika ini. Hal ini juga muncul dalam 12 kumpulan cerpen Arranged Married ini. Semuanya memakai setting India - Amerika, migrasi orang-orang India ke Amerika yang kemudian bergulat dalam dua dunia, modern dan tradisional yang sama-sama kuat.
Kedua, Divakaruni menulisnya dengan cara yang sangat biasa namun menjadi penuh gaya. Lihat saja satu paragraf dalam cerpen Kata Cinta. "Ibumu bercerita tentang bagaimana radang sendi Bibi Arati tidak sembuh meskipun dia sudah memakai tapal kunyit. Tahun ini hawa dingin sekali di Calcuta, bunga-bunga shiuli semuanya mati. Kau mendengarkan, berpegang pada bunyi o yang bulat, bunyi e yang panjang dan cair, bunyi s yang menyapu wajahmu selembut ciuman malam. Ibumu sedang mencoba mengatur pernikahan untuk sepupu Leela yang akan lulus universitas tahun depan, ingat? Dia rindu padamu. ... Suaranya kecil dan jauh, seperti kaleng karena penuh berisik statis. ... Kau ingin bercerita padanya, tetapi jantungmu berlarian dalam dadamu seperti burung yang terjaring, dan kata-kata yang sudah kaulatih demikian lama, lenyap sudah."
Keren. Itu satu kata yang bisa mewakili buku kumpulan cerpen ini. Kau membayangkan paragraf tadi ingin bercerita apa? Dalam cerita Kata Cinta, tokoh 'kamu' dipaksa untuk mewakili satu generasi India yang tinggal di Amerika, menjalin cinta dengan seorang pria Amerika, Richard. Kamu dan Richard tinggal bersama, dan kemudian diketahui ibunya lewat telepon tak disangka di pagi hari karena pria itu yang mengangkat telepon. Ibu menolak anak perempuan yang tidak punya moral India. Lalu pergulatan 'kamu' pun menukik, naik, turun, hingga di bagian akhir Divakaruni menggantungnya di dua paragraf terakhir. Kalimat terakhir cerpen ini adalah : "Cinta itu seperti hujan, dan ketika kau mengangkat wajahmu kepadanya, seperti hujan dia mencuci hal-hal tidak penting, membuatmu kosong, bersih, siap untuk memulai."
Sederhana. Itu kalimat kedua yang aku suka untuk menilai cerita-cerita fiksi Divakaruni. Dan karena kesederhanaannya itu, dia bisa memunculkan banyak detail yang mendorong setiap pembaca untuk lebih paham tentang tradisi, budaya orang-orang India, khususnya orang-orang India yang sudah bermigrasi ke jaman modern. Dan penulis perempuan ini sangat paham pergulatan para tokoh utamanya, yang memang hampir semuanya adalah perempuan.
Penulis : Chitra Banerjee Divakaruni
Penerjemah ke Bahasa Indonesia : Gita Yuliani
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Isi : 376 hlm; 20 cm
ISBN : 978-602-03-0135-8
Ini buku ketiga dari Chitra Banerjee Divakaruni yang aku baca. Yang pertama kumpulan cerpen "The Unknown Errors of Our Lives", lalu novel "Queen of Dreams" dan yang ketiga ini kumpulan cerpen "Arranged Marriage".
Aku jatuh hati pada Divakaruni. Karena, pertama, tulisannya selalu (so far) menyangkut kaitan kehidupan modern (Amerika) dan tradisional (India). Kehidupan yang sederhana menjadi rumit, dan yang rumit bisa menjadi begitu sederhana dalam tarik menarik India - Amerika ini. Hal ini juga muncul dalam 12 kumpulan cerpen Arranged Married ini. Semuanya memakai setting India - Amerika, migrasi orang-orang India ke Amerika yang kemudian bergulat dalam dua dunia, modern dan tradisional yang sama-sama kuat.
Kedua, Divakaruni menulisnya dengan cara yang sangat biasa namun menjadi penuh gaya. Lihat saja satu paragraf dalam cerpen Kata Cinta. "Ibumu bercerita tentang bagaimana radang sendi Bibi Arati tidak sembuh meskipun dia sudah memakai tapal kunyit. Tahun ini hawa dingin sekali di Calcuta, bunga-bunga shiuli semuanya mati. Kau mendengarkan, berpegang pada bunyi o yang bulat, bunyi e yang panjang dan cair, bunyi s yang menyapu wajahmu selembut ciuman malam. Ibumu sedang mencoba mengatur pernikahan untuk sepupu Leela yang akan lulus universitas tahun depan, ingat? Dia rindu padamu. ... Suaranya kecil dan jauh, seperti kaleng karena penuh berisik statis. ... Kau ingin bercerita padanya, tetapi jantungmu berlarian dalam dadamu seperti burung yang terjaring, dan kata-kata yang sudah kaulatih demikian lama, lenyap sudah."
Keren. Itu satu kata yang bisa mewakili buku kumpulan cerpen ini. Kau membayangkan paragraf tadi ingin bercerita apa? Dalam cerita Kata Cinta, tokoh 'kamu' dipaksa untuk mewakili satu generasi India yang tinggal di Amerika, menjalin cinta dengan seorang pria Amerika, Richard. Kamu dan Richard tinggal bersama, dan kemudian diketahui ibunya lewat telepon tak disangka di pagi hari karena pria itu yang mengangkat telepon. Ibu menolak anak perempuan yang tidak punya moral India. Lalu pergulatan 'kamu' pun menukik, naik, turun, hingga di bagian akhir Divakaruni menggantungnya di dua paragraf terakhir. Kalimat terakhir cerpen ini adalah : "Cinta itu seperti hujan, dan ketika kau mengangkat wajahmu kepadanya, seperti hujan dia mencuci hal-hal tidak penting, membuatmu kosong, bersih, siap untuk memulai."
Sederhana. Itu kalimat kedua yang aku suka untuk menilai cerita-cerita fiksi Divakaruni. Dan karena kesederhanaannya itu, dia bisa memunculkan banyak detail yang mendorong setiap pembaca untuk lebih paham tentang tradisi, budaya orang-orang India, khususnya orang-orang India yang sudah bermigrasi ke jaman modern. Dan penulis perempuan ini sangat paham pergulatan para tokoh utamanya, yang memang hampir semuanya adalah perempuan.
Subscribe to:
Posts (Atom)