Wednesday, January 30, 2013

Lapar

Lagi pula itu memang rumah tua. Beberapa kusen jendela dan pintunya berbunyi,"Bong, bong, bong,..." jika kita mengetukkan siku jari di bagian-bagian tertentu. Menandakan bahwa kayu-kayu yang tampak mengkilat karena lapisan cat dan pernis itu sudah berongga. Tanda lain adalah pada tumpukan kotoran nener di beberapa sudut persis di bawah-bawah kayu.
Benar apa katamu, bahwa tidak berarti rumah itu harus dijual dengan murah. Seorang ahli Feng Shui mengatakan rumah dengan angin-angin besar di bagian timur dengan pintu saling silang dan dapur sebagai bagian terbesar dari masing-masing ruangan yang ada di dalam rumah mempunyai keberuntungan yang tinggi untuk menarik dan mempertahankan rejeki.
Bagiku, teori itu sama sekali menggelikan. Kalau memang demikian tentu aku sudah menjadi kaya raya karena sejak aku belum lahir, rohku sudah menempati rumah ini, karena ibuku sudah menempati rumah ini, juga nenekku, buyutku, dan para leluhurnya, karena aku belum pernah tinggal di manapun kecuali di rumah ini. Banyak benda di rumah ini menandakan bahwa penghuninya pernah kaya. Namun kaya dan pernah kaya tentu saja hal yang berbeda.
Aku sendiri tidak pernah kaya. Terbukti aku tadi menangis di hadapanmu hanya karena aku lapar. Aku telah merendahkan diri dengan ratapanku seperti pengemis. Rasa lapar yang menghimpit perutku dari semalam butuh suaranya. Dengarkah bunyi perutku yang tertahan oleh kembung? Terciumkan bau kentutku yang sering tak tertahan karena tekanan angin di lambungku sudah pada batasnya? Aku tidak bisa lagi konsentrasi pada tangis maupun perkataanku karena rasa lapar ini sudah menekan dadaku.
Dan aku ikut tertawa ketika kamu menertawakan ratapanku. Aku tergiring percaya padamu. Jika aku memang sedang lapar, tentu aku tidak akan tertawa. Begitu kan? Jadi aku tidak lapar. Buktinya aku tertawa. Ya, dan keyakinan itu yang kemudian memporakporandakan seluruh rencanaku selama ini. Kini aku ada di luar rumah tua, yang beberapa detik lalu menjadi rumahku dan sekarang bukan lagi rumahku karena aku sudah menukarnya dengan 100 piring nasi yang sudah berkurang 1 piring karena sudah kumakan tandas baru saja.
Ah, sudahlah. Ini hanya rumah tua. 99 piring yang tersisa akan menemani perjalanan ke rumah berikutnya tempat rohku bisa diistirahatkan. Kamu tidak harus menyesali katidakbisaanmu mengunjungiku sementara waktu. Dan kamu tidak harus mengikutiku karena aku tidak tahu kapan rumah rencanaku siap untuk kaukunjungi.

(Usai percakapan dengan Vikjen baru lalu. Jika aku terisak, dengarkah kau bunyi raungan yang harusnya terdengar karena ketiadaan harapan?)

No comments:

Post a Comment