Mawas diri hanya bisa dilakukan dengan landasan kesadaran diri. Menyadari aku ini sedang apa, di mana, bagaimana, apa, mengapa, dan kapan. Kesadaran ini membawaku untuk tahu secara persis 'posisi'ku sekarang ini. Gambaran umum sekarang ini aku sedang duduk, menyalakan komputer, dan ingin menulis sesuatu tentang mawas diri. Aku memakai rok kotak-kotak dengan atasan putih, sepatu yang aku injak bagian belakangnya dengan jari-jari kaki. Rambutku aku kuncir dengan karet hitam, dengan mata tak lepas dari monitor tapi pikiran sedang kosong menari-menari entah.
Kalaupun sekarang aku ingin menulis sesuatu tentang mawas diri, ini bukan sebuah konsep mendalam yang sudah selesai aku kupas kulit-kulitnya. Justru aku masih memegang kulit-kulitnya, merabainya, menciuminya. Tentu bukan tanpa alasan. Beberapa hari ini aku merasakan lesu tidak bergairah tentang apapun walau aku menjalani banyak hal. Biasanya memang ini yang kulakukan jika aku sedang bad mood. Sudah, bergerak saja, lakukan saja kewajiban-kewajiban rutin, tidak usah pikir. Hal seperti itu harusnya hanya dilakukan sebentar, saat memang pikiran malah merusak seluruh tindakan. Namun jika dibiarkan berlarut-larut, bergerak tanpa berpikir adalah kebodohan. Tidak boleh diteruskan.
Lalu kejadian-kejadian 'sial' menurut pandangan manusiawi terjadi. Kehilangan uang, ditilang polisi, ATM macet dengan saldo berkurang, menyesal setelah belanja tanpa hitungan, mimpi buruk tiga malam berturut-turut, dll. Hanya dalam tiga hari semua itu terjadi, di saat rumah ditambahi pekerjaan rumah tangga nyuci, nyeterika, nyapu, ngepel, karena Wawak pergi ke Palembang untuk urusan keluarga. Badan dan jiwa lebur dalam capek, lesu. Aduh.
Aku terpancang pada dua kata itu : mawas diri. Lalu apa? Aku belum mudheng. Sepertinya aku harus duduk hening. Apa yang bisa kulakukan dengan intuisi 'mawas diri' yang sekarang sedang mengempis mengembang dengan kulit-kulitnya yang rapat di tanganku? Apa yang bisa kupikirkan?
No comments:
Post a Comment