Wednesday, August 15, 2012

Sarapan Pagi bersama Mgr. Henri

Roti gandum berserat tinggi.
Aku seringkali datang ke kediaman Mgr. Henri (Uskup Emeritus Keuskupan Tanjungkarang) pada jam tidak biasa. Misal pada pagi jam 07.00, yaitu jam yang aku tahu persis belum membuat janji dengan siapa pun kecuali jika harus pergi dari rumah. Jam 7 pagi adalah jam sarapan, maka aku pasti bisa ketemu. Bukan apa-apa, aku memang tidak suka membuat janji bertemu, main tembak saja. Resikonya ya paling tidak bisa berjumpa karena tidak di tempat atau diusir karena memang tidak mau ditemui. Kalau beruntung ya duduk saja di sebelahnya sembari menemaninya makan sembari bicara tentang banyak hal, sambil nonton Metro TV. Jarang aku ikut makan kecuali jika ingin secangkir teh atau kopi. Malu melihat porsi makan di atas meja makannya. Hehehe. Begitu sedikit, sepertinya cukup pas hanya untuk seorang saja.
Pagi ini (15/8) aku datang (ketiga kalinya berkunjung sejak pengumuman emeritus) tanpa niat apapun. Tidak ada rencana, hanya tertarik untuk belok masuk halaman rumah Mgr. Henri begitu lewat di depannya. Tepat pukul 07.05 saat aku memencet bel rumah. Sr. Tatiana mempersilahkan aku masuk, dan aku nyelonong saja ke ruang makan.
"Ingin ikut sarapan, Mgr."
"Haa, rupanya kamu sudah kangen juga."
Aku tertawa. Mgr. Henri menyilahkan aku mengambil cangkir dan piring di laci. Aku mengambil kopi gula plus cream dan duduk di sebelahnya.
"Ambillah dulu. Saya masih lama."
Aku mengambil sepotong roti gandum yang disorongkan Mgr. Henri dan melapisinya dengan selembar keju, dan langsung melahap dengan mencengkeramnya pake tangan kananku. Tangan kiri memegang cangkir sembari sesekali menyeruputnya.
Lihat, apa yang dikerjakan Mgr. Henri? Lihat, apa yang ada di piringnya? Ada beberapa tangkai sawi rebus, sepotong timun dan seiris tomat. Mgr. Henri memotongnya, tepatnya mencincangnya, hingga lembut. Tangan kirinya memegang garpu, dan tangan kanan memegang pisau. Serbet diselipkan di bajunya, dan posisi duduk sempurna. Lalu diambilnya sepotong roti gandum, diolesi mentega. Di bagian atas diolesnya lagi campuran sayuran yang sudah halus itu. Dan dimakan dengan pelan, tenang.
"Kok wajahmu begitu? Ini makanan yang menguatkan. Jangan pikir soal rasa enak atau tidak enak."
Aku tersipu mengingat cara makanku.
Usai makan, Mgr. Henri menggeser piringnya dan mengambil cangkir. Kopi cream yang lebih hitam dari punyaku. Isi cangkirku lebih putih, karena lebih banyak cream ketimbang kopinya. Beberapa komentar pun muncul menimpali Metro TV yang pagi ini mengulas tentang parcel bagi para pejabat.
Ritual sarapan dilanjutkan di dekat kandang burung, dengan membawa satu lembar roti gandum. Dicuil-cuil dan dilemparkan ke para burung yang berkicau ramai menyambutnya. Lalu aku pamit.
"Sudah kenyang, Mgr. Mau melanjutkan hidup."
Wajahnya tak percaya. Biasanya kan ada omongan tentang pekerjaan ini itu, curhat ini itu, dll.
"Tidak ada yang ingin disampaikan?"
"Saya memikirkan sesuatu, tapi tidak yakin. Jadi kapan-kapan saya mampir lagi."
Hehehe, sebetulnya kasihan melihat wajah Mgr. Henri yang bengong sesaat sebelum mengantarku ke pintu. Tapi aku betul-betul memilih untuk pamit dan melanjutkan hidup hari ini di kantor Nuntius. Pukul 08.05.

No comments:

Post a Comment