Terhalang pohon tumbang, di awal pendakian. |
Aku menghitung logistik yang sisa. Roti tawar, susu coklat, sebungkus mi, beberapa saset kopi dan beberapa bungkus cemilan. Masih cukup untuk makan siang seusai dari puncak. Yoyok bilang butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di puncak. Jadi cukup okey, tidak perlu buru-buru turun. Godril dan Mai memilih tinggal di tenda. Dan memang diperlukan orang yang menunggu di situ karena tenda dan barang-barang tidak mungkin dibawa naik.
Mendaki, memanjat, merangkak. |
Untungnya cuaca sedang kering sehingga tidak licin dan tidak ada pacet. Aku ingat Gunung Tanggamus yang kami daki tahun 2009 lalu. Hutan tropis yang basah, penuh pacet dan hujan! Kami kurang beberapa menit saja sampai puncak terpaksa mengurungkan niat demi selamat. Kali ini hatiku membara, harus sampai puncak. Betung cukup terjal. Kami mendaki setengah memanjat.
Dan puncak setinggi 1.523 Mdpl (meter dari permukaan laut itu) baru tercapai setelah 1 jam 30 menit, plus istirahat tiga kali untuk tiga teguk air. Setengah jam lebih lama dari perkiraan. Aku kira akulah penghambat utama perjalanan ini karena mengatur nafas bagi seorang ibu hampir kepala 4 ini agak susah dilakukan pada tanah yang terlalu miring hampir tegak. Apalagi olah fisik nyaris diabaikan beberapa tahun terakhir ini. Albert dan Bernard di umur 11 dan 8 tahun sama sekali tak perlu dikuatirkan. Mereka masih bisa mendaki sambil bercerita, bertanya, menyanyi seperti biasa, sedang ibunya sudah ngos-ngosan.
"How are you, ibu? I'm fine." Setiap saat Bernard berteriak padaku.
Puncak Betung, 1523 Mdpl. |
Serumpun bambu. |
Ohya, di jalan kami menemukan serumpun bambu, aku menduganya sebagai bambu betung, yang batannya besar-besar. Aku berkhayal mungkin itulah cikal bakal nama Gunung Betung. Nanti aku coba cari kebenarannya. Bambu ini bernama latin Dendrocalamus asper Backer, di beberapa daerah dikenal sebagai Bambu betung (Indonesia), awi bitung (Sunda), pring petung (Jawa), awo petung (Bugis), bambu swanggi (Papua). (bersambung)
No comments:
Post a Comment