Tuesday, January 30, 2018

Cerpen Yuli Nugrahani : TAI BURUNG DI JIDAT LUYI

Luyi membawa cangkir berisi air kelapa. Ia minum seperempat isinya dan kemudian meletakkan cangkir itu di depan kekasihnya yang cemberut.
"Maaf. Aku mencintaimu bukan untuk kepentinganmu. Terserah kau sakit hati atau marah karena caraku yang tidak tepat menurutmu. Itu urusanmu. Aku mencintaimu karena kepentinganku. Aku akan mati kalau tidak mencintaimu."
Luyi mengambil lagi cangkirnya lalu berbalik, ingin melanjutkan pekerjaannya dengan kelapa-kelapa tua sebagai bahan dodol.
"Ohya. Jangan lupa juga. Aku tak percaya kau mencintaiku demi kepentinganku. Jadi sudahlah, nikmati hidupmu."
Luyi menghabiskan sisa air kelapa dalam perjalanannya ke dapur. Dalam hati dia mengulang-ulang kalimat ini: "Aku akan mati kalau tidak mencintaimu. Aku hidup karena mencintaimu."
Bahkan tai burung merpati yang nyasar di jidatnya pun tak terasa olehnya.

...
Luyi melanjutkan pekerjaannya dengan riang hati. Dia bangga dengan cinta dalam hatinya, dan merasa puas karena sudah mengungkapkan isi hatinya di depan kekasihnya. Diparutnya kelapa-kelapa tua itu dengan semangat. Dia mengikuti setiap tahap pembuatan dodol dengan gembira, sambil membayangkan bungkusan warna-warni yang berisi dodol nanti malam siap dalam nampan-nampan kuningan untuk disajikan besok sore, untuk acara lamaran Usi sepupu jauhnya. Pesanan spesial semacam ini tidak mungkin diabaikan oleh Luyi. Dan seperti janjinya pada Usi, dia akan memberi bonus biji-biji wijen terbaik untuk ditaburkan pada dodol yang dibuat. Dari seluruh tahapan pembuatan dodol yang biasa dialakukan, membungkus dodol dengan kertas krep warna-warni adalah tahap yang paling menyenangkan.
"Warna-warni seperti pelangi. Indah." Itu katanya.
"Warna-warni seperti pelangi itu seperti LGBT." Kata kekasihnya saat itu.
"Dari mana kau simpulkan begitu?" 
"Lihat saja di Google. Kau akan menemukan ikatan dan kedekataan yang erat antara pelangi dan LGBT."
Waktu itu Luyi langsung mengetik kata pelangi di Google search. Hmmm, benar juga apa kata kekasihnya itu. Pada halaman pertama pencarian muncul topik : "Mengapa simbol kaum gay bergambar pelangi?" 
Luyi waktu itu menggumam: Pelangi memang indah.
"Dan LGBT kau sebut sebagai indah?" Bisik kekasihnya di telinga Luyi. Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Juga sekarang ini saat Luyi menyiapkan kelapa-kelapa untuk santan kental bagi dodol yang akan dimasaknya, yang terbayang adalah bungkus-bungkus dodol berwarna-warni, seperti pelangi, indah, terserah walau dikaitkan dengan LGBT oleh Google atau juga orang-orang lain. Bayangan pelangi-pelangi itu membuat Luyi bersemangat.
...
Yang tidak disadari Luyi adalah ucapan penuh antusias dan penuh perasaan yang ditujukan untuk kekasihnya tadi pagi itu tidak seremeh yang tampak. Bagi Luyi pernyataan itu jelas sebuah deklarasi terhadap kekasihnya, juga pernyataan cinta yang berkobar-kobar. Tapi bagi kekasihnya, yang ditinggalkan bengong di meja makan, ucapan Luyi adalah siksaan. Dia melihat punggung Luyi yang melangkah pergi dengan cangkir air kelapa dengan galau. Betapa ingin dia menahan Luyi untuk duduk bersamanya di meja makan sambil melanjutkan perbincangan. Mungkin masih tentang cinta atau tak masalah kalau Luyi mau bicara tentang tema yang lain. Baginya, tema apa pun percakapannya dengan Luyi selalu berarti cinta. Pasti dia akan menemukan ujungnya, asal mereka masih bercakap-cakap. Masalahnya, Luyi berbalik badan dengan cepat dan tidak berapa lama sudah tidak tampak lagi badannya. Dia hanya bisa membayangkan Luyi mulai sibuk dengan kelapa-kelapa, memarutnya dan memerasnya menjadi santan kental. Saat jeda bisa dipastikan Luyi akan datang ke mejanya, memberikan tawaran ini-itu yang kadang terasa basa-basi lalu menghilang lagi untuk melanjutnya dodol-dodolnya. Jika malam sudah datang, dia berharap Luyi menemani lebih lama di meja makan. Tapi yang terjadi, Luyi akan membawa sebaskom besar dodol yang siap dibungkus, kertas krep pelangi yang sudah dipotong, dan dia akan duduk di depannya sambil terus bicara, sambil terus bekerja hingga seluruh isi baskom habis berubah menjadi gunungan dodol warna-wani di atas nampan. Seluruh rutinitas itu bisa dipahami, tapi kata-kata Luyi, mampukah diterima sebagai kenyataan relasi mereka?
...
Karena dodol-dodolnya, pada hari itu Luyi lupa pada kekasihnya yang menunggu di meja makan. Dia juga lupa, ah mungkin malah tak pernah tahu kalau ada tai burung di jidatnya, menempel, ikut kemana pun dia pergi. Dan kini saat malam tiba, dia datang ke meja makan dengan dodol matang yang siap dibungkus dan tai burung yang kering di wajahnya. Mengapa meja makan sepi? Kemana kekasihnya? Teriakannya menggema kembali ke telinganya. Sepi. Dia buka HP di sakunya yang dari tadi tak tersentuh. Tak ada pesan apa pun yang tampak di sana karena HP itu tak bisa dinyalakan. Luyi menduga HPnya sudah kehabisan baterai karena dari pagi dia bahkan tidak ingat untuk mencharge HPnya itu. Pintu-pintu masih terbuka : "Di manakah kau?" Luyi melanjutkan pekerjaannya, hingga pelangi tercipta dari dodol-dodol yang dibungkusnya. Saat seluruhnya selesai, Luyi mengusap wajahnya, nyaris mengenai tai burung kering, tapi kesombongan tai itu tetap bertengger di sana meneruskan niat menemani wajah Luyi. "Di manakah kau?" Luyi tertidur di samping pelangi dodol dengan tai burung yang mengering di jidatnya. Mungkin akan terus begitu sampai pagi, saat dia harus menghantar pelangi-pelangi dodol ke rumah sepupunya untuk pesta lamaran.
...
Di rumahnya sendiri, kekasih Luyi mencoba untuk tidur. Begitu pun dia masih berpikir tentang niatnya untuk mengunjungi rumah orang tuanya di negeri asal yang sudah lama ditinggalkannya. Sampai tengah malam, kantuk tak juga menyapanya. Dan pikirannya sudah lama bergulir dari pikiran awal, tidak lagi tentang rumah tua di negeri asalnya, tapi sebuah rumah baru di negeri lain. "Apakah perjalananku ke tempat ini tak ada artinya bagi Luyi?" Kekasih Luyi masih juga termangu, memutar otak untuk mencari cara mencium kening Luyi besok pagi. Mungkin saat Luyi belum bangun. Dan usai itu, dia bisa membantu Luyi mengusung pelangi-pelangi dodol itu ke tempat sepupunya untuk ikut berpesta. Dia ingin meyakini bahwa besok pagi ia akan memulai harinya setelah mencium jidat Luyi, orang yang dicintainya. ***

Saturday, January 27, 2018

Puisi Sabtu 12 : ANGIN TIMUR DI BULAN OKTOBER karya Amir Syarifuddin

ANGIN TIMUR DI BULAN OKTOBER


Ketika  rindu kembali kudatangi kau senja
Di ujung dermaga tempat cermin cinta ditambatkan
Dan batu karang yang setia kepada uji 
tak pernah mengeluh pada musim timur 
membawa ombak sekedar membuktikan cintanya 
atau sabda alam, biarlah.

Mata tabah nelayan menatap jaring yang robek dimakan kerasnya asin dan musim
Laut nakal iseng mengganggu perahu ngaso hingga ikan kecil tak berani pesta di bawahnya menikmati lumut-lumut hijau
Kemana camar pergi bersembunyi
Membangun kembali rumah atau mencari peruntungan di Pulau Perawan di tengah samudra

Pada suatu waktu mantra yang pernah  terucap di sini menjadi benih
Tak mungkin dicabut
Dia akan tumbuh menjadi pohon berbuah manis berkelopak warna-warni atau mejadi gulma di hati menjadi parasit kehidupan menjadi rahasia tuhan

Senja di ujung dermaga tempat cermin rindu kutambatkan

Kau kekasihku senja

Aku bukan nelayan tabah nan mampu berdamai dengan angin timur
Menyulam kembali jaring robek
Setia pada rewelnya perahu tua
Aku bukan batu karang yang setia pada uji
Aku mungkin camar yang tak berani kepakkan sayap
Sembunyi menunggu angin timur pergi
Bermimpi  berlibur di Pulau Perawan di tengah samudra

Kalianda,  26 Oktober 2017

------------

Amir Syarifuddin, atau biasa juga menyebut diri Amir Koboy. Lahir 8 Maret 1981 di Tanggamus. Sekarang bermukim di Kalianda, Lampung Selatan. Menggeluti puisi bersama Komunitas Malam Puisi Lampung Selatan dan belajar teater dalam Sanggar Teater Grilya Lampung Selatan. 

Saturday, January 20, 2018

Puisi Sabtu (11) HANYUTKAN SURATKU karya Muhammad Ramzi Azzahra

HANYUTKAN SURATKU

 Aku ingin hanyutkan suratku pada empat sungai
yang mengalir dari sisi kubah dan kelak akan engkau jala
kemudian kau simpan seperti ikan hias di akuarium

Berenang dalam mimpi panjangmu
yang tak terukur jari-jari waktu menunjuk ke segala arah,
menikam ketiadaan saat kau bangun
pagi tak seindah itu

Lebih dari lukisan batik sayap kupu-kupu
yang hinggap meminum sisa air wudhu' di alismu
meliuk menjadi peta menuju kerajaan agra
dan kita berjumpa di pinggir telaga.

13/01/18

------------


Muhammad Ramzi Azzahra, atau biasa dipanggil Ramsi, lahir di Desa Rombiya Timur, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Madura pada 10 Januari 1992. Seniman muda ini berkegiatan di Komunitas Kampoeng Jerami, Tanian Kesenian Bluto (TKB), Rumah Proses, Masyarakat Santri Pesisiran. Menggeluti musik bersama La Ngetnik (Musik Etnik Kontemporer), Saripati (Band), Al-Karomah putra (Drum Band), dan membuat banyak karya musikalisasi puisi. 

Thursday, January 18, 2018

Jika Kalian Menemui Masalah Apa Pun, Pulanglah.

Anak-anakku sayang, suatu saat nanti akan tiba waktunya kalian pergi dari rumah. Kalian sudah mendapatkan latihan sejauh ini dengan sesekali pergi dari rumah. Meninggalkan bapak ibumu untuk bergaul dengan teman-teman, untuk mendapatkan guru-guru baru setiap kali, untuk mengunjungi tempat-tempat baru, dan berbagai keperluan. Mungkin dari sekian banyak teman, guru dan tempat yang kalian jumpai tidak pernah bapak ibumu datangi. Tapi itu bukan masalah, pergilah.

Anak-anakku sayang, suatu saat nanti akan tiba waktunya kalian pergi dari rumah. Kalian akan punya rumah lain yang menjadi tujuanmu untuk pulang. Kalian akan meninggalkan rumah ini walau bapak dan ibu yakin kalian tidak akan melupakan rumah ini. Kalian akan memiliki hidup sendiri dalam semesta yang luas, yang mungkin tak terbayangkan sekarang ini oleh kalian, juga olah kami. Tapi itu bukan masalah, pergilah.

Anak-anakku syang, itu bukan masalah. Pergilah. Tapi jika bapak dan ibumu ini masih ada, jika kalian menemui masalah apa pun, rumah ini selalu menjadi rumah kalian. Pulanglah. Pulanglah ke rumah ini, bukan tempat lain.

Tuesday, January 16, 2018

Dosakah jika Merokok?

Kalau pertanyaannya adalah dosakah jika aku merokok? Hmmm... susah juga menjawabnya. Bisa banyak versi. Lha iyalah, wong Tuhan Sang Penentu pun tak pernah mengatakan hal itu kok. Hehehe... Tapi ketika Komunitas Generasi Tanpa Rokok (GETAR) Lampung mendeklarasikan diri pada hari Minggu lalu, 14 Januari 2018, spontan aku mengapresiasi dengan sungguh-sungguh.

Komunitas ini berasal dari unsur mahasiswa, penulis, musisi dan karyawan. Terbentuknya komunitas ini berawal dari keprihatinan gempuran industri rokok meracuni generasi tanpa ampun yang dikemas iklan kreatif, olahraga, dunia pendidikan.

Ketua GETAR Lampung, Ismen Sembilan yang juga inisiator komunitas ini mengatakan bahwa mereka terbentuk bukan untuk memerangi para perokok.

"Merokok adalah pilihan setiap orang, tetapi yang terpenting dalam pergerakan kami menyelamatkan anak muda dari pengaruh rokok," kata Ismen. Data yang terhimpun bahwa pecandu rokok sebagian besar menyasar pada usia muda bahkan anak-anak dan perempuan yang menjadi target pasar.

Dalam diskusi tersebut, salah satu pembicara Eni Muslihah, seorang jurnalis yang peduli pengendalian tembakau mengatakan isu rokok dianggap sebagian besar media bukan isu menarik untuk diangkat. Menurutnya, jurnalis selaku ujung tombak pembentuk opini masyarakat juga belum semuanya memiliki pemahaman yang seragam tentang pentingnya pengendalian tembakau di Lampung.

"Lampung sudah punya Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok yang disahkan per Juli 2017 lalu, tapi belum terdengar sosialisasi penerapan perda tersebut," katanya.  Menurutnya masih jarang jurnalis mengangkat dampak isu rokok yang lebih mendalam lagi.

"Masyarakat yang beli rokok, masyarakat yang bayar pajak, masyarakat cukai rokok bahkan masyarakat sendiri yang menanggung dampak akibat rokok tersebut," tuturnya.

Nah, ya. Kukira ini pekerjaan rumah yang sangat besar bagi gerakan ini maupun bagi masyarakat. Dalam keluarga besarku saja banyak perokok aktif super-super yang sepertinya tidak mungkin dihentikan. Orang-orang yang kukasihi, para sahabat juga sudah melekat pada rokok sedari dulu. Aku juga pernah mengincip dikit-dikit. Mungkin anak-anakku nanti juga akan mengincip rokok. Tapi baik juga tulisan ini kupublish untuk mengingatkan bahwa menghentikan rokok bukan soal dosa atau tidak (hihihi, memangnya yang mempermasalahkan itu sapa?), atau soal bisa beli atau tidak, atau soal bisa mikir atau tidak. Tapi, jika memang memilih untuk merokok, pertimbangkan dengan matang segala aspek yang mungkin muncu dari merokok. 

Coba igat beberapa hal kecil ini :

1. Asap rokok bisa menyelinap ke paru-paru anakmu yang kau sayangi. 

2. Rokok bisa merampas hak istrimu untuk membeli tambahan lauk bergizi. 

3. Rokok bisa menjadi racun bagi tubuh perokok.

4. Dan lain-lain....

Saturday, January 13, 2018

Puisi Sabtu (10) : PELAUT DAN KABUT karya Rifqi Arifansyah

Pelaut dan Kabut
Sejenuh apa pun laut menghitung, ikan-ikan tak pernah terjaring angka sebisu dermaga ditinggal pergi, perahu berlayar hanya untuk kembali. sejak hujan memilih pulang gerimis tak kunjung datang menjenguk; kemarau, mulai bosan adalah daun-daun bersedia gugur. kau tak pernah salah menghitung hari: burung selalu tepat menerka gelap berarak serupa ribuan gemintang selepas pesta; senja sepenuhnya jingga sesaat aku memindah samudera ke dalam gelas, surut pun juga larut dan malam meminjamkan bulan pada kening-kening karang. 2017


---------

Rifqi Arifansyah adalah penggiat seni yang lahir di Desa Pakandangan, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Menetap di Bluto saat ini aktif di Sanggar Permata, Forum Belajar Sastra (FBS), Taneyan Kesenian Bluto (TKB) dan Rumah Proses dalam naungan Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ). Minatnya dalam kepenulisan dikembangkan dalam komunitas-komunitas tersebut dan membagikannya lewat media sosial.

Thursday, January 11, 2018

Efektif atau Bahagia?

Pengalaman kehujanan beberapa kali tetep saja aku lupa kalau jas hujanku sudah robek di bagian atas dan bawah (hehehe) sehingga berkali-kali mesti basah kuyup. Hari ini tadi aku niati sungguh-sungguh : Mampir Rang-rang untuk beli jas hujan yang bagus yang tidak mudah robek.

Ternyata aku berangkat kepagian. Rang-rang belum buka. Mikir sebentar di depan toko : Naik fly over atau lewat bawah? Hihihi. Pikiran ndak penting banget yak.

Karena belum dapat jas hujan di Rang-rang sedangkan hasrat untuk mendapatkan jas hujan sedang menggebu (huhuhu, lebay tak apa deh), aku mampir perempatan lampu merah Kedaton, belok ke toko pertama yang menggantung jas hujan.

Si ibu pemilik toko dengan ramah menyapa :

"Ya, butuh apa, mbak?"

Terbawa oleh senyum ibu yang manis dan sapaannya yang ramah, aku tersenyum lebar.

"Bu, aku mau jas hujan. Yang besar, yang bagus, yang bisa kupakai termasuk dengan ransel di punggungku. Pokoke ransel ini ndak boleh kehujanan karena isinya macam-macam. Ada laptop, dompet, buku. Semuanya ndak boleh basah."

Hihihi.

Ibu itu masuk toko membongkar raknya. Menunjukkan satu jas hujan warna ungu. Membukanya dan mencobakannya di badanku.

"Ini ukuran terbesar. Tak ada lagi." Dan jas itu tak muat. "Yang lain kosong." Oalah. Kalau gitu ya tidak usah saja. Aku melanjutkan basa-basi, tersenyum, mengucapkan terimakasih, dan pamit. Berhenti sebentar di depan toko sambil mikir : Lurus atau putar balik? Hihihi. Lagi-lagi pikiran yang ndak penting banget. Secara daerah situ tuh kanan kiri penuh berderet toko helm dan jas hujan.

Aku iseng menyeberang. Toko yang mirip dengan yang kudatangi pertama tadi. Helm dan jas hujan berjajar dipajang. Seorang pelayan, laki-laki muda seumur Albert, jauh lebih kurus, hitam, tanpa senyum tanpa kata mendekati.

"Aku butuh jas hujan yang besar yang bisa kupakai dengan ransel tetap di punggungku." Dia tetap diam, mengambil galah berpengait, menurunkan satu jas warna hitam, membuka kancingnya dan menyerahkan padaku. Aku mencobanya tanpa melepas ransel di punggungku, dan pas. Aku membukanya dan menyerahkan kembali pada cowok itu.

"Berapa harganya?"

"Seratus lima puluh ribu."

"Mahal ya. Bisa kurang?"

"Seratus empat puluh ribu."

"Ada ndak yang sebesar itu tapi harganya lebih murah?"

"Tidak ada."

"Kurangi lagi harganya."

"Kalau mau seratus tiga puluh ribu."

"Oke."

"Mau?"

"Ya."

Dia masuk ke toko mengambil jas yang masih baru dalam kemasan rapi. Aku bilang ingin mengeceknya dulu. Kubongkar, kukasih dia lagi sambil mengangguk. Memberikan uang Rp. 150.000,- dan dia membawa duit itu ke bosnya. Dia menyerahkan uang kembalian dan jas hujan. Masih setia tanpa senyum, tanpa ucapan terimakasih. Aku juga ndak mau senyum ndak ngucap terimakasih, membawa uang kembalian dan jas hujan baru, udah deh, ngacir. 

Baru-baru ketika sampai kantor aku terus berpikir dua toko yang kudatangi ini. Toko pertama menyambutku dengan senyuman, obrolan ramah, aku ndak mendapatkan jas hujan yang kuinginkan. Toko kedua bahkan tak ada senyuman atau ucapan basa-basi, aku mendapatkan jas hujan yang sesuai, mereka mendapatkan uang pembelian. Piye menilai peristiwa ini ya? 

Kalau dalam konteks umum, jelas toko kedua lebih efektif. Semua terjadi, lancar dan masing-masing diuntungkan. Tapi mengingat cowok kurus itu kok aku jadi ketularan tidak bahagia ya? Jadi pengin cemberut karena dia tak menyambut dengan senyuman. Tak ingin ngobrol karena dia tak bertanya apa pun. Tak ingin ngucapin terimakasih karena dia tak memberikan ucapan itu. Ealah.  

Wednesday, January 10, 2018

Tiba-tiba Kangen Anji

Tiba-tiba saja kangen Anji. Haiyahh. Ini gara-gara pas balik dari Jawa Timur usai tahun baru semobil dengan Pak Metri yang ngefans berat sama lagu-lagu Anji dan sepanjang jalan lagu-lagu die ini yang dipasang.

Aku kemudian juga jadi ngeh kalau lagu-lagu tertentu yang sering kudengar dari pengamen di samping kantor tuh lagunya Anji. Kukira itu lagu ciptaan mereka sendiri. Hihihi.

Deretan lagu seperti Bidadari Tak Bersayap, Dia, Jerawat Rindu, Merindukanmu, Kekasih Terhebat, Berhenti di Kamu, dan lain-lain. Kok aku segitu katroknya ya. Huh. 

Lihat ini satu syair lagunya :

BIDADARI TAK BERSAYAP


Bidadari tak bersayap datang padakuDikirim Tuhan dalam wujud wajah kamuDikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
Sungguh tenang ku rasa saat bersamamuSederhana namun indah kau mencintaikuSederhana namun indah kau mencintaiku
Sampai habis umurku, sampai habis usiaMaukah dirimu jadi teman hidupkuKaulah satu di hati, kau yang teristimewaMaukah dirimu hidup denganku
Diam-diam aku memandangi wajahnyaTuhan ku sayang sekali wanita iniTuhan ku sayang sekali wanita ini
Sampai habis nyawaku, sampai habis usiaMaukah dirimu jadi teman hidupkuKaulah satu di hati, kau yang teristimewaMaukah dirimu hidup denganku
Katakan yes, I do, jadi teman hidupkuDududududu dududududu dududu
Sampai habis nyawaku, sampai habis usiaMaukah dirimu jadi teman hidupkuKaulah satu di hati, kau yang teristimewaMaukah dirimu hidup denganku
Katakan yes, I doJadi teman hidupkuKatakan yes, I doHiduplah dengankuJadi teman hidupku


Huaaa.... bikin termehek-mehek deh. Dan, aku pernah mengira lagu ini adalah ciptaan pengamen samping kantor. Kurang ajar banget aku ini.
Anji punya nama lengkap Erdian Aji Prihartanto, lebih populer dengan nama Anji atau Manji atau Enji. Dia lahir di Jakarta, 5 Oktober 1979. Pada tahum 2004 Anji sempat mengikuti ajang pencarian bakat Indonesian Idol, namun sayang tidak lolos mengikuti audisi. Dia lalu menjadi vokalis Drive. 
Pada Mei 2011, Anji resmi meninggalkan Drive yang telah membesarkan namanya. Hal ini disebabkan karena kejadian konflik antara Anji dengan manajemen bandnya. Setelah keluar dari Drive, Anji memulai solonya.
Soal lain-lain aku ndak mau nulis ah. Biar saja dia dengan hidupnya. Yang penting suara asyikkk berat. Utangku lunas ya, Ji. 

Tuesday, January 09, 2018

Ahok dan Vero Bercerai?

Vero dan Ahok. 
Ini adalah cuplikan dari berita di Kompas.com kemarin, 8 Januari 2018. 

Pengacara yang mewakili mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Josefina Agatha Syukur, dari Law Firm Fifi Lety Indra & Partners membenarkan Ahok melayangkan surat gugatan cerai terhadap istrinya, Veronica Tan. Surat gugatan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Jumat (5/1/2018).
Ahok menunjuk Law Firm Fifi Lety Indra & Partners sebagai kuasa hukumnya dalam kasus itu.
"Benar bahwa Pak Ahok telah melayangkan gugatan cerai terhadap Ibu Veronica. Itu benar adanya. Nomor perkaranya 10/Pdt.G/2018 tanggal 5 Januari 2018," kata Josefina kepada Kompas.com, Senin (8/1/2018) pagi ini.

Bukan hanya kompas.com yang menayangkan berita itu, tapi buanyak media online menuliskannya. Mulai dari hanya foto hasil scan surat gugatan, keraguan-keraguan, lalu konfirmasi-konfirmasi, kekecewaan atau ada juga yang bergirang. Bagi yang cinta mati sama Ahok mau pun yang sebaliknya, sama-sama berkomentar, berbagai komentar. 

Pembelaan-pembelaan bermunculan. Mencari-cari celah untuk mengatakan bahwa berita itu hoax semata. Bukti-bukti juga diajukan, kejanggalan-kejanggalan dicermati. Sebagian yang lain sudah bergerak cepat mencoba mencari-cari hal-hal yang berkaitan, misalnya hukum perceraian bagi pasangan penganut Kristen Protestan, alasan-alasan yang memungkinkan perceraian mereka, bahkan juga muncul rumor soal orang ketiga atau perceraian yang terpaksa dilakukan karena ada guna-guna, atau Ahok mau masuk Islam. Hohoho.

Bayangkan, seorang panutan yang disanjung dan diikuti oleh banyak orang tiba-tiba melakukan hal yang tak disangka, tentu saja hal itu membuat shock, sedih, kecewa. Bisa jadi banyak orang nanti akan berbalik melawan, memusuhi dan menghujat. Ahok dan Vero yang dari dulu sudah punya banyak musuh, kini akan semakin dimusuhi dan dibenci. Jumlah orang yang menghujatnya akan semakin banyak. 

Dalam berita-berita dikatakan kalau Ahoklah yang menggugat cerai. Dia yang tahu alasan tindakannya. Termasuk, tentulah dia tahu konsekwensi dari tindakannya itu. Dia akan kemana setelah semua hingar bingar ini? Misalnya benar-benar bercerai, kemana mereka akan berada? Ahok, tetapkah dia di minatnya selama ini dalam percaturan politik Indonesia? Kekalahannya kemarin karena isu agama sudah membuatnya terpuruk, namun citra pribadinya masih cemerlang. Jika perceraian itu benar, masihkah citra itu bisa dipertahankan? Dengan cara apa dia akan mempertahankan? Atau memang 'citra' itu tidak penting bagi Ahok? Atau dia akan benar-benar pergi, hilang dari peran-perannya yang baik selama ini bagi masyarakat lalu menjadi Ahok yang lain di rumah yang lain, mungkin bersama istri barunya? Ahai. 

Lalu bagaimana dengan Vero dan anak-anak mereka? Apakah sekarang ini mereka masih di Jakarta? Di Indonesia? Atau mereka sedang pergi di suatu tempat sehingga tak seorang pun bisa menghubungi untuk konfirmasi? Terancamkah hidup mereka karena Ahok dan pilihan sikap Ahok? Ataukah mereka terancam oleh hal-hal lain yang tak kelihatan? Oalah.

Aku sebagai penonton ndak ikut-ikut dah. Tapi tak urung aku deg-degan menunggu akhir dari babak ini. Mereka para pemain bergerak dan menentukan setiap adegan. Apa yang akan terjadi nanti? Ahok dan Vero bercerai?

Monday, January 08, 2018

Catatan Ini Tak Ingin Kulupakan : Membuat Bisnis Kuliner

  • Aku dan suamiku sudah beberapa kali mencoba merintis usaha kuliner. Pernah membuat angkringan Mbah Jo yang fenomenal itu, lalu membuka usaha bakso dan mi ayam Denmas. Belum berhasil. Huft. Tapi impian itu tidak lenyap dari pikiran. Aku dan suamiku masih bermimpi suatu ketika nanti membuat usaha kuliner yang berjalan secara manusiawi, sehat dan kuat. Entah kapan bisa kesampaian.
Catatan dari Febri di instagramnya setelah nyerbu di dapurku beberapa hari lalu bersama dengan teman-teman Jaringan Perempuan Padmarini ingin kuingat karena tulisan itu membantuku menyegarkan impianku tentang bisnis kuliner. Jadi kupasang di sini biar aku ndak lupa yak.

  • febriliaekawatiPawone Mbak Yul. Dodolan Soto Kediri. Bayarnya pake ide, dan cerita tentang buku apa yang sudah ditulis atau dibaca. Kalau mau nambah sate telur puyuh, ati, empela, kudu bayar cerita lucu, biar semua pembeli bisa tertawa lepas. Di pawone Mbak Yul, juga buka jasa konseling. Yang mau curhat tentang apasaja bisa. Tentang keluarga, pacar, mantan, dan gebetan, samapai cicilan kreditan panci. 
    Di pawone juga bisa bahas tentang sastra, ilmu filsafat, teologi, konservasi, sosial, Marxisme, Leninisme, Rawonisme, Gudegisme, Pecelisme, sampai Bacemisme. Silahkan pokok'e bebas dan beretika. Mbak Yuli mantan wartawan Malang Post, saat ini aktif sebagai penulis sastra dan pegiat HAM. Dewan pembina Jaringan Perempuan Padmarini ini punya cita-cita rodo nyeleneh, kelak di hari tua bersama Mas Piet mau bisnis kuliner, jualan pecel Mediun. Wis rausah dagang pecel, nanti banyak yang ndak bayar.
  • yuli_nugrahaniHmmm... ide yg bagus. Warung pecel gratisan taruh kaleng dekat pintu bagi yg iklas ngasih kencleng. Boleh makan sepuase. Ngobrol. Curhat. Nginep yo boleh. Wah.
  • yuli_nugrahani@piet_hendro Ide apik ki. Kita ra butuh dibayar to? Hehehe.
  • febriliaekawatiMbak @yuli_nugrahanibakal ramee kui. Opo maneh pelanggan model @ayoekeloq dan @iffahrachmi yang anak kost kalau di Bandar Lampung, bisa tiap malem kesitu haha
  • piet_hendroHahahaha....
  • piet_hendroBayarannya ke Naningan, krakatau, way kambas, hehehe....bawa tenda dewe...

Saturday, January 06, 2018

Puisi Sabtu (9) : SURATAN karya Julia Asviana

SURATAN

di belahan jendela
rindumu aku bisikkan
arah mana yang tak jua tampak
semilir embusan dari daun telinga
teramat indah masanya bersilih sulam

di sini hamparan tertinggal dan amnesia
kemelut mengaduh bara yang lepas jamuan
patahkan putik dan serbuk-serbuk riang
abu yang memutih dijilat limburu merandu

inilah hidup dengan garis mutlak dijalani
tak harus membenci karena perbedaan
namun penyesalan dan kenangan itu
menggurat dalam teramat lekat

Julia “JAVioleta” Asviana

Pontianak, 05 Januari 2017


--------------

Julia Asviana adalah penyair yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada tanggal 13 Juli, bekerja di sebuah perusahaan swasta PT. Srana Kalbar Ventura dan mempunyai seorang putri cantik bernama Jeniva yang menjadi ruh bagi puisi-puisinya. Julia mulai menyukai sastra terutama puisi dan cerpen sejak duduk di bangku SMP. Semakin giat meningkatkan karyanya ketika mulai bergabung di grup-grup komunitas sastra melalui media sosial Facebook, dan telah banyak menerbitkan buku antologi puisi bersama teman-temannya. Antologi puisi tunggal berjudul “Nyanyian Angin di Dada Musim" yang terbit pada tahun 2016 oleh Penerbit Rose Book, Trenggalek. Sekarang sedang memproses buku puisi duet dengan Muhammad Rois Rinaldi, diterbitkan dalam waktu dekat.

Thursday, January 04, 2018

Soto Mbok Giyem Cabang Gemolong, Purwodadi, Sragen

Kemarin saat perjalanan balik ke Lampung, tak sengaja menemukan warung soto Mbok Giyem di Gemolong, Purwodadi, Sragen. Tak sengaja karena waktu melewati pasar Gemolong, mobil diarahkan belok ke kiri, melewati sub terminal Gemolong. Nah, harusnya dari jalan ini kami mestinya ambil jalan ke kanan baru belok kiri masuk ke jalan menuju Salatiga lalu Semarang.

Tanpa pikir panjang, kami belok ke kiri bablas lalu tolah toleh karena GPS menyarankan masuk gang kecil ke kanan lalu kanan lagi. Lha piye to? Ternyata, intinya kami harus putar balik di jalan itu kalau mau tetap di jalur semula.

Pas putar balik itulah warung soto Mbok Giyem tampak. Pas banget dengan jam sarapan, jam 08.00 kurang lebihnya. Bayangan soto yang segar gurih lezat pun membuat kami semua setuju berhenti, parkir mobil dan menyeberang.

Lima mangkok soto daging terhidang. Yang tampak adalah kuah bening yang mengepul panas, dengan taburan tauge segar, daun seledri dan bawang, serta bawang goreng. Diaduk sedikit barulah tampak potongan-potongan daging sapi yang lembut dan nasi putih di bagian dasar piring. Ini porsi kecil yang cocok untuk sarapan, tidak bikin perut penuh namun cukup untuk mendapatkan energi di pagi hari. Rasanya ringan, tidak berlebihan rempah-rempahnya, tidak bikin neg.

Di atas meja sudah terhidang gorengan dan lauk-lauk tambahan dalam piring-piring. Tahu goreng, perkedel, tempe, sate ati, usus, paru dan sebagainya. Juga ada kerupuk beberapa jenis, kecap dan sambel. Huaaa, rasanya pengin mengambil semuanya. Yang kupilih sih paru goreng. Susah menolak godaan dari paru goreng yang lembut seperti itu.

Minumnya paling tepat teh tawar yang hangat. Mantap, pas, cocok.

Soto Mbok Giyem ini aslinya Boyolali. Sekarang sudah memiliki beberapa cabang, salah satunya di Gemolong ini. Kata seorang teman yang pernah makan di Boyolali rasa sotonya sih mirip. "Tapi kayaknya lebih enak yang di Boyolali deh."

Masa? Ini kubilang sangat pas di lidahku. Soto kuah bening yang segar.

"Iya sih. Ini memang enak juga."


Soto Mbok Giyem ini murah meriah untuk kantong. Berlima kami makan minum dengan tambahan-tambahan kami hanya menghabiskan uang 69 ribu rupiah. Wahhh. Ohya, di dinding terpasang foto kunjungan Pak Jokowi yang berfoto bersama para karyawan. Di dinding yang lain dipasang harga soto dan minuman. Orang-orang silih berganti menikmati soto pagi itu, tampak sumpek dan sibuk. Saat aku masuk dapur mereka untuk menuju toilet, kesibukan terlihat di seluruh ruang. Ada yang sedang menggoreng tahu super mereka, mencuci mangkok-mangkok tak henti, sedang karyawan-karyawan lain hilir mudik melayani pembeli.

Jadi, lain kali kalau nyasar ndak usah ngeluh ya. Ikuti saja, siapa tahu dapat rejeki macam ini. Tapi jangan lupa, setelahnya mesti kembali ke jalan yang benar, jangan terus-terusan menikmati jalan nyasar-nyasar. Hehehe

Wednesday, January 03, 2018

Air Terjun Coban Sewu atau Tumpak Sewu Kabupaten Malang

Sesekali Ikut Campur Urusan Orang Sumenep Ahh...

Sebuah percakapan menarik muncul pada akhir tahun lalu dengan Fendi Kachonk, seorang sahabat dari Moncek, Sumenep. Menuliskan di sini anggap aja aku sedang nyinyir ikut campur urusan orang. Sesekali asyik juga nyinyir model begini. Hehehe.

"Kak, aku dikontak orang pemerintahan untuk menjadi salah seorang penerima Sumenep Award."

"Wah, hebat itu. Bupati Sumenep nyebut juga nama sastrawan."

"Iya, ini pertama kalinya."

"Great." Aku selalu saja otomatis memakai istilah ini jika tak lagi sanggup berkata-kata, karena pada dasarku aku jarang bisa memuji orang lain.

"Aku tidak mau. Aku merekomendasikan beberapa orang lain ke mereka."

"Halah. Kenapa?"

"Aku belum layak. Banyak yang lebih tua, eh lebih senior dariku."

"Lalu, harusnya ada kategori penerima penghargaan senior dan yunior? Halah. Memangnya senior tuh dilihat dari apanya? Lalu kapan bagian yang muda-muda dong? Aku ini termasuk senior atau yunior? Tua ya, tapi pasti orang-orang Lampung aku ini sekelingking doang. Disebut yunior, tapi umurku udah hampir separo abad. Masuk di mana dong aku. Aku tak suka pakai istilah yunior senior untuk sastra."

Entahlah. Aku tak bisa menyukai pemilahan senior dan yunior. Ukurannya seringkali tidak jelas. Kalau pun jelas tetap saja yang namanya penerimaan penghargaan macam gini nih selalu soal dikenal atau tidak, dekat atau tidak, hmmm.... di manapun, pasti selalu sangat subyektif. Lain juri ya lain pemenangnya. Walaupun ada standar penilaian, tetep, bakal tetep subyektif.

Percakapan itu belum usai. Seingatku aku ngoceh panjang lebar soal senior yunior. Lalu tentang pengaruh dan saling mempengaruhi. Misal seseorang itu menerima award, atau penghargaan dari Gubernurlah, Bupatilah, Presidenlah atau dari siapapun, apa pengaruhnya? Ke dirinya sendiri? Menjadi melejit hebat di atas langit sendirian serasa tak terkalahkah? Atau juga ke orang banyak, ke komunitas yang digelutinya, masyarakat yang di sekitarnya dan sebagainya? Juga sebaliknya, siapakah yang memberi pengaruh sehingga seseorang itu mendapatkan rekomendasi penerimaan award? Dirinya sendiri yang memang punya ambisi? Atau karena ada sekumpulan orang yang sudah merasakan peran orang itu terhadap perkembangan bersama?

Hmmm... aku tahu kemudian Fendi dan 17 orang lain dari berbagai kategori sudah menerima award itu dalam sebuah acara di penghujung tahun 2017. Walau dia ngoceh-ngoceh soal tidak profesionalnya penyelenggara juga penyelenggaraan, juga soal pemberian penghargaan tapi tidak menghargai manusia-manusia, juga soal harapan-harapan tahun-tahun berikutnya, aku tetap teriak : "Selamat ya, Fen. Sukses terus. Itu penghargaan untuk seluruh temanmu, bukan hanya untuk dirimu. Jadi awas kalau ndak nulis ndak bergerak ndak jadi orang baik."

Kayaknya dia masih ngoceh sampai hari ini. Bagiku sih gini ajah kalo dimintai nasihat olehnya atau siapapun :"Ndak usah diramaiin soal Bupati award itu. Udah lewat ini. Tahun sudah berganti. Nooo komunitasmu itu yang lebih penting. Bukumu. Taman bacaanmu. Karyamu. Teman-temanmu. Masyarakatmu. Bangsamu."

K. Ali. Salah satu tokoh Sumenep hebat yang kukenal.
Dalam hati aku melanjutkan harapan semoga kategori sastrawan tidak dihapus dari rangkaian Sumenep Award tahun-tahun berikutnya. Dengan begitu minimal pemda setempat meluangkan waktu beberapa lama untuk menggulati nama-nama para penggiat sastra, berdebat antara si a atau si b yang pantas, nyentil-nyentil sastra dan mulai berpikir lebih cerdas untuk mengembangkan sastra. Semoga teman-teman muda di sana entah sahabatku atau bukan tak patah semangat meraih kesempatan itu untuk kepentingan kemajuan sastra di Sumenep. Semoga para sastrawan entah di Sumenep atau di manapun berbahagia.

Juga semoga siapa pun ingat untuk menghargai tokoh-tokoh yang tak bersuara, yang mungkin tak menulis tapi membuat banyak orang menyukai tulisan. Mungkin tak setiap waktu berpuisi tapi membuat banyak anak mencintai puisi. Mungkin tak berbicara banyak tapi menyediakan ruang bagi banyak orang untuk berkembang. Mungkin akan terus tak dikenal hingga matinya namun dikenang sebagai guru bagi anak-anak di sekitarnya.

Monday, January 01, 2018

Sebagian dari Cowok Kesayangan Warisan Bapak Suliham

Hendro, Albert, Bernard dan Erlo
Sejak bertemu Bapak Suliham tahun 1996, aku sudah merasa sebagai sahabatnya. Saat itu aku belum ada bayangan kepastian akan menikah dengan Mas Hendro, tapi rasanya aku nyambung banget kalau ngobrol dengan bapak.

Ketika akhirnya aku menikah dengan Mas Hendro, aku sangat bersyukur mendapat bonus besar terlibat dalam keluarga besar Bapak Suliham. Saat bapak meninggal, aku merasa sedih dan kehilangan.

Pada akhir tahun ini, salah satu yang kami peringati selain Natal dan Tahun Baru bersama keluarga besar, kami juga berdua untuk 40 hari meninggalnya Bapak Suliham. Kami berdoa di makam, memang tidak persis sama dengan 40 hari itu tapi sekitar seminggu setelahnya.

Salah satu yang menarik adalah ikutnya Erlo dalam perjalanan kami berempat dan mendapatkan moment foto bersama empat cowok itu. Hendro, adalah anak kedua dari Bapak Suliham. Anak pertama, Priswanto, sudah meninggal beberapa tahun lalu di Jember karena sakit. Erlo adalah anak dari Priswanto dan Maria. Punya adik satu, Vivi. Hendro punya anak dua bersamaku, Albert dan Bernard. Sedangkan Ninik dan Atik, adik-adik Mas Hendro masing-masing memiliki dua anak perempuan.

Dengan demikian, mereka berempat inilah laki-laki keturunan Bapak Suliham yang sekarang ini memberikan warna pada seluruh keluarga besar, dan meneruskan darah bapak. Bersama mereka aku melihat kemiripan-kemiripan yang mencuat secara fisik dan atau non fisik. Sifat-sifat tertentu terasa Suliham banget. Hehehe... Pada foto itu, mereka naik menggunakan dua trail ke puncak B29, boncengan dan menikmatinya. Itu kan bapak banget. Bapak Suliham adalah pensiunan sinder Kehutanan, hobi jalan menikmati alam, easy going, sekaligus peduli pada orang lain. Mereka berempat juga mewarisi sebagian dari sifat-sifat itu. Beberapa sifat jelas banget berbeda, tapi mereka bisa nyambung satu sama lain.

Nah, di antara seluruh warisan bapak, empat cowok ini jelaslah paling berharga. Mereka akan memberi warna pada kehidupan, seperti Bapak Suliham juga memperindah kehidupan sesuai masanya. Suatu waktu pasti kami akan terlibat lagi dalam perjalanan-perjalanan selanjutnya. Perjalanan akhir tahun ini merupakan moment kedua Erlo bergabung bersama kami dalam trip yang asyik di Jawa Timur.

Seberapa Pantas Kau Jadi Alasanku untuk Iri?

Aku ini sulit sekali menjadi iri pada orang lain. Karena itulah aku bisa gembira meluap-luap karena keberhasilan orang lain, siapa pun itu. Ini agak bertolak belakang dengan akyuh yang dulu. Hehehe. Penyebab utamanya adalah pengalaman-pengalamanku mengenali orang-orang, aku selalu menemukan celah di mana mereka tidak perlu menjadi alasan untuk iri. Aku tak ingin menjadi seperti orang-orang itu. Katakanlah misalnya si anu mendapatkan penghargaan hebat di suatu bidang. Uhuiii, aku gembira sekali mendengarnya, melihatnya, karena itu hal luar biasa yang sudah dicapainya. Tapi sungguh deh, aku sulit sekali iri lalu ingin seperti dia ketika aku tahu sedikit saja darinya yang tidak kuingini, misalnya ternyata dia baru cerai. Nah, untuk apa iri terhadap orang seperti itu? Aku ndak ingin seperti dia.

Keuntungan dari sifat ini adalah aku tidak punya ganjalan sedikit pun atas pencapaian atau kesuksesan siapa pun. Aku akan ikut bergembira bersamanya sejauh dilibatkan olehnya atau kalau tidak dilibatkan untuk merayakannya, tetap saja aku gembira, salut dan meletakkan apresiasi yang besar padanya.

Kerugiannya, aku terlalu 'luas' meletakkan konteks peristiwa. Aku tak bisa memotong peristiwa-peristiwa menjadi bagian yang kecil, fokus, sehingga mendorongku untuk 'iri' dan membuatku mempunyai semangat untuk menjadi 'seperti seseorang pada bagian yang itu'. Bukan bagian yang lain.

Dalam pergantian tahun ini pikiranku terganggu oleh hal itu. Apa mungkin aku terlalu sombong, merasa 'sempurna' dalam situasi seperti ini, sempurna pada situasi apa pun, bahkan aku tetap merasa sempurna saat orang lain menyatakan aku di bawah standar mereka? Atau aku memang terlalu tak peduli untuk meraih hal-hal yang dianggap prestasi?

Hmmm...kayaknya ndak juga. Aku ini malah seringkali minder kalau membandingkan diri dengan orang lain. Untungnya aku jarang membanding-bandingkan diri dengan orang lain sehingga aku jarang minder. Huhuhu. Apa aku tak peduli untuk meraih prestasi? Ndak juga. Aku punya jadwal hidup yang cukup jelas berdasarkan analisa SWOT pribadi setiap kali. Bahkan aku membuat target-target personal untuk kucapai.

Hmmm...karena saat ini masih hari pertama dalam tahun 2018, aku ingin mulai memanjakan pikiran-pikiran macam gini supaya aku bisa mengingatnya dengan lebih baik. Kupikir baik juga kalau aku mulai 'iri' pada orang-orang tertentu dan aku melakukan upaya-upaya yang lebih keras untuk menyamainya, ah tidak, mengalahkannya. Hohoho... selamat tahun baru 2018.