Sakit. Sakit banget nonton film dokumenter garapan sutradara Joshua Oppenheimer. Aku telat banget menontonnya secara lengkap, tapi sungguh, aku jadi ... aku tak sanggup menceritakannya. Ini secuplik dari Wikipedia tentang film dokumenter, dengan 'aktor' Anwar Congo dan kawan-kawannya :
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan
cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah
direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film
dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat
mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.
Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah
rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum
pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam
sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk
mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh
dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal.
Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga
memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set
film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka
lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan
itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka
sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP
berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian
tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan
PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi
tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar
dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis
bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia
menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari
semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai
terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan
sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan
bencana moral.
Untung Joshua bukan orang Indonesia, sehingga dia bisa pergi, lepas, walau di banyak media dia menceritakan rasa sakitnya ketika membuat film ini. Dia menerima pujian, dan banyak penghargaan. Bahkan sekarang masuk nominasi Academy Award.
Tapi aku, yang orang Indonesia... apa yang akan kulakukan? Aku berterimakasih padanya karena dia telah mengorek korengku. Huks, uhuks, aku berterimakasih karena dia sudah memberikan lampu pada cermin untuk memandang kenyataan. Kini...biar saja aku menangis dulu. Sakit...
Tapi aku, yang orang Indonesia... apa yang akan kulakukan? Aku berterimakasih padanya karena dia telah mengorek korengku. Huks, uhuks, aku berterimakasih karena dia sudah memberikan lampu pada cermin untuk memandang kenyataan. Kini...biar saja aku menangis dulu. Sakit...
No comments:
Post a Comment