Monday, January 20, 2014

Jagal/The Act of Killing

Sakit. Sakit banget nonton film dokumenter garapan sutradara Joshua Oppenheimer. Aku telat banget menontonnya secara lengkap, tapi sungguh, aku jadi ... aku tak sanggup menceritakannya. Ini secuplik dari Wikipedia tentang film dokumenter, dengan 'aktor' Anwar Congo dan kawan-kawannya :

Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.

Untung Joshua bukan orang Indonesia, sehingga dia bisa pergi, lepas, walau di banyak media dia menceritakan rasa sakitnya ketika membuat film ini. Dia menerima pujian, dan banyak penghargaan. Bahkan sekarang masuk nominasi Academy Award.
Tapi aku, yang orang Indonesia... apa yang akan kulakukan? Aku berterimakasih padanya karena dia telah mengorek korengku. Huks, uhuks, aku berterimakasih karena dia sudah memberikan lampu pada cermin untuk memandang kenyataan. Kini...biar saja aku menangis dulu. Sakit...

No comments:

Post a Comment