Sore-sore kemarin Albert dan Benard heboh setelah sepanjang siang mereka tenang dengan buku-bukunya masing-masing. Bernard asyik dengan komik Naruto sedang Albert menikmati buku lelucon. Bernard dengan menjelaskan sesuatu pada Albert tentang kisah Naruto yang sedang dibacanya. Aku tak tahu persis yang dibahas karena aku tidak familier dengan tokoh-tokoh komik itu, tapi lamat-lamat aku mendengar Bernard menjelaskan,"Ini adalah reinkarnasi dari ini, si itu reinkarnasi dari itu dst..."
Dari kamar yang terbuka aku berteriak,"Dik, reinkarnasi itu apa sih?" Dia tanpa mikir menjawab ngawur,"Entah." Ih.
Albert yang sigap menjawab setelahnya,"Reinkarnasi itu hidup setelah kematian, bu. Jadi kayak hidup kembali tapi dalam bentuk yang berbeda." Oooo... okey. Itu tepat.
"Memang Naruto itu reinkarnasi dari siapa?" Tanyaku. Bernard kembali menjawab ngawur,"Entah." Aku tahu kalau dia tahu tapi dia tak mau menjawab. Tetap Albert yang menjawab,"Naruto itu reikarnasi dari Ashura, eh apa Indra ya?" Halah...
"Tapi perasaan aku dulu juga pernah hidup, bu, sebelum jadi Albert. Sepertinya aku dulu seorang prajurit, mati karena ditusuk. Aku seperti masih merasakan sesak nafas karena ditusuk bagian perut." Nah, nah, cerita itu pernah kudengar dulu. Dia pernah cerita kalau dia dulu pernah mati ditombak.
Bernard menyahut juga,"Aku sepertinya juga pernah hidup sebelum jadi Bernard. Tapi lupa dulu sebagai apa."
"Dik, diinget-inget dunk. Siapa tahu berguna." Bernard cuma angkat bahu.
Aku menjelaskan sembari lalu,"Konon orang mesti reinkarnasi atau hidup kembali dalam wujud berbeda karena tugasnya yang dulu belum beres. Dia harus menyelesaikannya sekarang ini. Jadi kalau bisa diingat kita bisa lebih hati-hati dalam hidup, supaya lebih baik dari kehidupan sebelumnya."
Mereka berdua cuma nyengir saja, seperti aku. "Iya, mungkin saja dulu Bernard itu bosnya Albert atau siapa gitu," kataku.
"Kalau ibu, dulu pernah hidup sebagai apa?"
"Sepertinya ibu dulu pernah hidup sebagai putri cantik anak raja. Yang suka nyuruh-nyuruh. Hehehe..."
"Kalau bapak? Dulu sebagai apa?"
"Bapak itu reinkarnasi dari panda." Kata Albert menggoda bapaknya yang dari tadi diem antara ingin membantah dengan malas ikut dalam perbincangan. Hehehe...
Tuesday, September 29, 2015
Saturday, September 26, 2015
Cinta
Seseorang mengatakan kepadamu,"Aku cinta kamu." Hmmm... so sweet... Iyalah, mendapatkan cinta itu manis rasanya. Dicintai itu rasanya manis banget. Dan tak seorangpun ingin menolak cinta.
Yang tak enak, jika seseorang yang bilang cinta itu mulai mendesak. "Karena aku cinta kamu, kamu harus cinta aku juga dong." atau,"Karena aku cinta kamu, kamu harus jadi pacarku." lebih-lebih,"Karena aku cinta kamu, kamu harus ...begini, begitu, ini, ini... itu, itu...."
Yeee, siapa yang nyuruh kamu punya cinta? Cinta ya cinta saja. Beruntung kalau yang dicintai juga punya cinta sepadan, maka klop, pas. Atau justru cari saja cinta seperti itu sebelum mengatakan cinta, yaitu mencintai orang yang mencintai balik. Jika tidak cinta padaku, aku pun tak kan mungkin cinta padanya. Jika tidak, hmmm.... mari lihat. Untuk titik sekarang ini lebih baik aku menyimpulkan orang yang seperti itu, sebenarnya dia sama sekali tidak mencintai, tapi dia hanya mengingini. Atau mungkin bukan mengingini, tapi membutuhkan. Pun jika aku merasakan hal yang sama, aku akan berpikir dalam hatiku sebenarnya bukan cinta, tapi hanya keinginan, kebutuhan,... hmmm, macam itu.
Lalu cinta itu seperti apa? Menurut Banerjee dalam novelnya, cinta sejati itu hanya mungkin jika orang yang mengaku mencintai tidak membutuhkan orang yang dicintainya. Huahhh... mampus kita. Jika hanya ecek-ecek menuntut meminta mengharap, cinta yang diaku itu belum cinta sejati. Belum mencintai, baru mengingini saja.
Ada lagi yang bilang, cinta itu tak punya alasan. Uhuk. Tak peduli dia jelek, bau, bodoh, miskin,... kalau cinta, ya cinta. Mata jadi buta, telinga jadi tuli, hidung jadi pesek...
Tapi ada yang bilang lain, bahwa cinta itu itu justru punya banyak alasan. Matanya berlipat ganda, telinganya berkali-kali lebih peka. Apa yang tak dilihat oleh orang lain, bisa dilihat oleh mata cinta.
Bukti cinta itu adalah pemberian, persembahan. Cinta itu kata kerja, melulu satu arah kecuali jika karena keberuntungan muncul kata saling di depannya, sehingga tercipta saling cinta.
Jadi piye sekarang ini? Orang yang saling cinta untuk harapan sebuah perkawinan tak kan mungkin masuk dalam deretan cinta sejati macam ini dong. Atau, aku akan membaliknya begini : seharusnya perkawinan tidak perlu dilakukan jika belum sampai pada tataran ini. Hmmm... tidak, tidak. Lebih baik aku bilang : perkawinan adalah salah satu cara untuk memproses supaya cinta sampai pada tataran ini. Dengan begitu aku tak perlu menahan orang yang sudah kebelet menikah untuk sampai pelaminan.
Intinya memang tak perlu sampai sempurna untuk mulai mencintai. Mulai saja dari level paling buncit sekalipun. Lalu disadari, diproses semakin sempurna, sampai pada kesejatian, sampai pada saling memerdekakan, pada saling bantu untuk sampai ke Sang Sumber Cinta itu sendiri. Hyang Ilahi.
Huahhh... cinta....
Yang tak enak, jika seseorang yang bilang cinta itu mulai mendesak. "Karena aku cinta kamu, kamu harus cinta aku juga dong." atau,"Karena aku cinta kamu, kamu harus jadi pacarku." lebih-lebih,"Karena aku cinta kamu, kamu harus ...begini, begitu, ini, ini... itu, itu...."
Yeee, siapa yang nyuruh kamu punya cinta? Cinta ya cinta saja. Beruntung kalau yang dicintai juga punya cinta sepadan, maka klop, pas. Atau justru cari saja cinta seperti itu sebelum mengatakan cinta, yaitu mencintai orang yang mencintai balik. Jika tidak cinta padaku, aku pun tak kan mungkin cinta padanya. Jika tidak, hmmm.... mari lihat. Untuk titik sekarang ini lebih baik aku menyimpulkan orang yang seperti itu, sebenarnya dia sama sekali tidak mencintai, tapi dia hanya mengingini. Atau mungkin bukan mengingini, tapi membutuhkan. Pun jika aku merasakan hal yang sama, aku akan berpikir dalam hatiku sebenarnya bukan cinta, tapi hanya keinginan, kebutuhan,... hmmm, macam itu.
Lalu cinta itu seperti apa? Menurut Banerjee dalam novelnya, cinta sejati itu hanya mungkin jika orang yang mengaku mencintai tidak membutuhkan orang yang dicintainya. Huahhh... mampus kita. Jika hanya ecek-ecek menuntut meminta mengharap, cinta yang diaku itu belum cinta sejati. Belum mencintai, baru mengingini saja.
Ada lagi yang bilang, cinta itu tak punya alasan. Uhuk. Tak peduli dia jelek, bau, bodoh, miskin,... kalau cinta, ya cinta. Mata jadi buta, telinga jadi tuli, hidung jadi pesek...
Tapi ada yang bilang lain, bahwa cinta itu itu justru punya banyak alasan. Matanya berlipat ganda, telinganya berkali-kali lebih peka. Apa yang tak dilihat oleh orang lain, bisa dilihat oleh mata cinta.
Bukti cinta itu adalah pemberian, persembahan. Cinta itu kata kerja, melulu satu arah kecuali jika karena keberuntungan muncul kata saling di depannya, sehingga tercipta saling cinta.
Jadi piye sekarang ini? Orang yang saling cinta untuk harapan sebuah perkawinan tak kan mungkin masuk dalam deretan cinta sejati macam ini dong. Atau, aku akan membaliknya begini : seharusnya perkawinan tidak perlu dilakukan jika belum sampai pada tataran ini. Hmmm... tidak, tidak. Lebih baik aku bilang : perkawinan adalah salah satu cara untuk memproses supaya cinta sampai pada tataran ini. Dengan begitu aku tak perlu menahan orang yang sudah kebelet menikah untuk sampai pelaminan.
Intinya memang tak perlu sampai sempurna untuk mulai mencintai. Mulai saja dari level paling buncit sekalipun. Lalu disadari, diproses semakin sempurna, sampai pada kesejatian, sampai pada saling memerdekakan, pada saling bantu untuk sampai ke Sang Sumber Cinta itu sendiri. Hyang Ilahi.
Huahhh... cinta....
Friday, September 25, 2015
Olah Raga, Olah Tubuh
Jika seseorang bertanya,"Apa kebutuhanmu, Yul?" Aku bisa menjawabnya dengan tegas. "Bergerak. Olah raga. Olah tubuh." Mungkin bukan yang kuinginkan tapi ini yang kubutuhkan.
Yeah, bisa dikatakan, dari dulu aku bukan penggila olah raga. Saat-saat olah raga hanya kulakukan karena kewajiban : jam pelajaran olah raga di sekolah, senam setiap Jumat di sekolah, persiapan fisik saat akan naik gunung, olah raga saat ada pelatihan atau kegiatan di luar rumah, dan ... sudah. Bisa dikatakan soal gerakan tubuh aku sama sekali tidak luwes. Beberapa tahun aku sempat rutin jalan kaki keliling stadion Pahoman dan sekitarnya, minimal 30 menit, tapi itu sudah lama tak kulakukan. Juga jalan kaki di sekitar rumah yang dulu sering kulakukan malam hari.
Satu-satunya olah raga yang masih sering kulakukan adalah senam kaki sebelum tidur. Posisi berbaring, menggerakkan kaki seperti mengayuh sepeda, atau bergerak bersama, aku masih lakukan sampai hitungan ke 50. Atau sesekali aku melakukan peregangan dengan beberapa gerakan yoga yang kuingat saat aku di dapur pagi hari.
Sudah, tak ada lagi. Dan tubuhku sekarang rupanya tidak cukup dengan gerakan-gerakan seperti itu. Aku bisa mendeteksinya dengan cara ini : Tiga minggu lalu aku ikut senam massal gratis. Usai ikut senam sekitar 1 jam, tubuh rasanya jauh lebih sehat. Atau juga saat aku melakukan sendiri gerakan-gerakan menguras keringat agak lama, aku merasa lebih sehat. Dari situlah aku mengira tubuhku memang membutuhkan gerakan-gerakan ritmis yang rutin.
Jadi, kapan harusnya ini kulakukan? Sekarang. Aku ingin dan telah memulainya sekarang. Sembari cari sanggar atau kelompok senam yang bisa kuikuti, aku mengusahakan bergerak lebih rutin di pagi dan sore dengan gerakan-gerakan senam yang kuingat. Dan, ...aku sudah beli sepatu olah raga yang cocok untuk kepentingan ini. Hehehe... Niat, niat, niat... semangat! Sehat!
Yeah, bisa dikatakan, dari dulu aku bukan penggila olah raga. Saat-saat olah raga hanya kulakukan karena kewajiban : jam pelajaran olah raga di sekolah, senam setiap Jumat di sekolah, persiapan fisik saat akan naik gunung, olah raga saat ada pelatihan atau kegiatan di luar rumah, dan ... sudah. Bisa dikatakan soal gerakan tubuh aku sama sekali tidak luwes. Beberapa tahun aku sempat rutin jalan kaki keliling stadion Pahoman dan sekitarnya, minimal 30 menit, tapi itu sudah lama tak kulakukan. Juga jalan kaki di sekitar rumah yang dulu sering kulakukan malam hari.
Satu-satunya olah raga yang masih sering kulakukan adalah senam kaki sebelum tidur. Posisi berbaring, menggerakkan kaki seperti mengayuh sepeda, atau bergerak bersama, aku masih lakukan sampai hitungan ke 50. Atau sesekali aku melakukan peregangan dengan beberapa gerakan yoga yang kuingat saat aku di dapur pagi hari.
Sudah, tak ada lagi. Dan tubuhku sekarang rupanya tidak cukup dengan gerakan-gerakan seperti itu. Aku bisa mendeteksinya dengan cara ini : Tiga minggu lalu aku ikut senam massal gratis. Usai ikut senam sekitar 1 jam, tubuh rasanya jauh lebih sehat. Atau juga saat aku melakukan sendiri gerakan-gerakan menguras keringat agak lama, aku merasa lebih sehat. Dari situlah aku mengira tubuhku memang membutuhkan gerakan-gerakan ritmis yang rutin.
Jadi, kapan harusnya ini kulakukan? Sekarang. Aku ingin dan telah memulainya sekarang. Sembari cari sanggar atau kelompok senam yang bisa kuikuti, aku mengusahakan bergerak lebih rutin di pagi dan sore dengan gerakan-gerakan senam yang kuingat. Dan, ...aku sudah beli sepatu olah raga yang cocok untuk kepentingan ini. Hehehe... Niat, niat, niat... semangat! Sehat!
Wednesday, September 23, 2015
Calon Penulis
Sepanjang pagi ada beberapa panggilan yang tidak kudengar. Maafkanlah, akhir-akhir ini memang hp sering kujauhkan dari badanku, jadi yang tertinggal hanyalah miss call. Kali ini dari nomor yang tak dikenal, beberapa kali, hingga kemudian sebuah pesan pendek masuk : "Mbak, bisakah minta alamat emailnya? Saya mendapat nomor ini dari Majalah Nuntius karena saya ingin mengirimkan puisi."
Nah, memang, sejak bulan ini saya menjadi pengasuh rubrik sastra untuk Majalah Nuntius, majalah yang sejak setahun lalu kutinggalkan dalam rasa sayang yang membuncah. Iyalah ya, 9 tahun merawat Nuntius seperti bayi, tentu tak tega juga ditinggalkan jauh-jauh walau tangan sudah tidak lagi menjangkaunya.
Nah, (untuk kedua kalinya) rubrik sastra ini justru rubrik yang tak berani aku bangun saat aku masih menjadi Pemimpin Redaksi Nuntius. Kali ini aku menyanggupinya dengan alasan-alasan personal yang menggembirakan. Jadi, sms itu kutanggapi dengan riang. Memberikan salam kenal dan alamat email serta harapan-harapan.
Si calon penulis ini seorang ibu, usia 56 tahun, mengenalkan diri sebagai Bu Endang. "Ibu, jangan kuatir. Kirim saja 2 atau 3 puisi, nanti kita lihat bersama bagaimana puisi-puisi itu." Jawabku, ketika ada nada kuatir dalam percakapannya soal puisi-puisi yang sudah ditulisnya. Dia tidak yakin apakah puisi-puisinya bagus, apakah layak. "Saya baru belajar menulis." Katanya.
Dia bilang sudah membuat tulisan panjang juga, sudah 100 halaman lebih tentang kisah-kisah keseharian yang dia pernah jumpai. Nah, (tiga kali nah. hehehe.) ini bakal menarik. Jadi kutawarkan kantorku,"Ibu, datanglah. Kantorku terbuka untuk pembelajaran kita. Marilah datang untuk belajar sastra bersama." Wuah, 100 halaman yang sudah ditulis katanya. Aku, 40 halaman belum beranjak juga ke halaman selanjutnya.
Nah, nah, nah... ini satu dari calon penulis. Calon-calon penulis berikutnya akan kutunggu. Mungkin tidak selalu kutanggapi dengan seriang hari ini, tapi aku yakin aku selalu punya cadangan senyum, apapun yang terjadi. Dan kembali terlibat dengan Majalah Nuntius dalam bentuk yang berbeda seperti ini tentu akan memberikan hal yang berbeda sebagai pengalaman dan suatu ketika akan menjadi kenangan yang luar biasa menyanding pengalaman 9 tahun sebagai pemegang Pemimpin Redaksinya.
Nah, memang, sejak bulan ini saya menjadi pengasuh rubrik sastra untuk Majalah Nuntius, majalah yang sejak setahun lalu kutinggalkan dalam rasa sayang yang membuncah. Iyalah ya, 9 tahun merawat Nuntius seperti bayi, tentu tak tega juga ditinggalkan jauh-jauh walau tangan sudah tidak lagi menjangkaunya.
Nah, (untuk kedua kalinya) rubrik sastra ini justru rubrik yang tak berani aku bangun saat aku masih menjadi Pemimpin Redaksi Nuntius. Kali ini aku menyanggupinya dengan alasan-alasan personal yang menggembirakan. Jadi, sms itu kutanggapi dengan riang. Memberikan salam kenal dan alamat email serta harapan-harapan.
Si calon penulis ini seorang ibu, usia 56 tahun, mengenalkan diri sebagai Bu Endang. "Ibu, jangan kuatir. Kirim saja 2 atau 3 puisi, nanti kita lihat bersama bagaimana puisi-puisi itu." Jawabku, ketika ada nada kuatir dalam percakapannya soal puisi-puisi yang sudah ditulisnya. Dia tidak yakin apakah puisi-puisinya bagus, apakah layak. "Saya baru belajar menulis." Katanya.
Dia bilang sudah membuat tulisan panjang juga, sudah 100 halaman lebih tentang kisah-kisah keseharian yang dia pernah jumpai. Nah, (tiga kali nah. hehehe.) ini bakal menarik. Jadi kutawarkan kantorku,"Ibu, datanglah. Kantorku terbuka untuk pembelajaran kita. Marilah datang untuk belajar sastra bersama." Wuah, 100 halaman yang sudah ditulis katanya. Aku, 40 halaman belum beranjak juga ke halaman selanjutnya.
Nah, nah, nah... ini satu dari calon penulis. Calon-calon penulis berikutnya akan kutunggu. Mungkin tidak selalu kutanggapi dengan seriang hari ini, tapi aku yakin aku selalu punya cadangan senyum, apapun yang terjadi. Dan kembali terlibat dengan Majalah Nuntius dalam bentuk yang berbeda seperti ini tentu akan memberikan hal yang berbeda sebagai pengalaman dan suatu ketika akan menjadi kenangan yang luar biasa menyanding pengalaman 9 tahun sebagai pemegang Pemimpin Redaksinya.
Saturday, September 19, 2015
Rumah Kucing Cikoneng
Pernah satu malam aku berkunjung ke rumah Denok di Cikoneng, kabupaten Bandung, nun jauh di sana. Apa kurasakan saat tiba di gerbang rumahnya?
"Ini bener-bener rumah kucing, deh." Kataku pelan.
"Iya, aku cuma numpang." Jawab Denok lebih lembut lagi. Hehehe, itu jelas kelihatan
Bayangpun, di halamannya yang rindang aku 3 kotak pasir dengan bau menguar yang khas kucing. Ada dua bantal yang pasti bekas tidur kucing dan karpet yang sedang dijemur dengan bau pesing kucing yang kuat. Indera penciumanku yang sangat sensitif sedikit shock, tapi aku melangkah masuk. Ada empat atau lima kucing menyambut kami. Di dalam rumah, bau makanan kucing yang mengering juga tercium. Juga bulu-bulu yang menempel di semua benda yang ada di rumah itu. Pokoke ini benar-benar rumah kucing.
Wuah, Denok, aduh, aku masuk rumahmu seperti mengambang, tak percaya. Lalu mencoba mencari-cari cara untuk meletakkan tubuh dengan hati-hati supaya tidak mengusik para kucing itu. Siapa coba kuingat namanya : Aa' Naga, Tante Jov, Mimi, Batik, Kuro, Momo, Kuro, Sayu, hmmm... tak tahu aku. Tak ingat nama-nama mereka yang bersepuluh itu, eh atau sembilan ya? Atau lebih? Hehehe... Lupa.
Denok mencarikan kasur lipat untukku, tapi aku belum duduk pun, seekor kucing sudah duluan tidur di situ. Dalam hati aku sudah meniatkan bahwa sehari itu aku hanya santai saja di rumah Denok, jadi aku menjelmakan diriku sebagai seekor kucing juga, yang tiduran dengan gerak santai, pelan, tanpa keinginan apa-apa.
"Kau santai aja, Nok. Aku hanya ingin tiduran saja di rumahmu ini. Ndak usah kemana-mana."
Dia tentu saja setuju, karena sepertinya niat kami sama, hanya bermalas-malasan saja di rumah. Hehehe...
Aku sempat pulas beberapa lama sebelum sore. Saat aku bangun, ealah, rupanya ada yang menemani. Satu dekat kakiku, dan satu lagi dekat bahuku, merasakan aku menggeliat, si manis yang dekat bahuku menoleh, matanya sayu memandangku seolah bertanya,"Kenapa bangun, dah, tidur lagi yukkk..." Iya deh. Aku pun tidur lagi, merasakan badan hangat yang menempel di badanku, dan seekor lagi, entah, sedang menjilati tanganku. Hmmm... maaf ya, walau aku mencintai binatang-binatang manis ini, aku tak bisa ramah memeluk mencium atau berbicara dengan para kucing. Tapi membiarkan mereka menggelendot di badanku sungguh aku tak masalah. Huah, pengalaman tinggal di rumah kucing ini jelas tak kan terlupakan...
"Ini bener-bener rumah kucing, deh." Kataku pelan.
"Iya, aku cuma numpang." Jawab Denok lebih lembut lagi. Hehehe, itu jelas kelihatan
Bayangpun, di halamannya yang rindang aku 3 kotak pasir dengan bau menguar yang khas kucing. Ada dua bantal yang pasti bekas tidur kucing dan karpet yang sedang dijemur dengan bau pesing kucing yang kuat. Indera penciumanku yang sangat sensitif sedikit shock, tapi aku melangkah masuk. Ada empat atau lima kucing menyambut kami. Di dalam rumah, bau makanan kucing yang mengering juga tercium. Juga bulu-bulu yang menempel di semua benda yang ada di rumah itu. Pokoke ini benar-benar rumah kucing.
Wuah, Denok, aduh, aku masuk rumahmu seperti mengambang, tak percaya. Lalu mencoba mencari-cari cara untuk meletakkan tubuh dengan hati-hati supaya tidak mengusik para kucing itu. Siapa coba kuingat namanya : Aa' Naga, Tante Jov, Mimi, Batik, Kuro, Momo, Kuro, Sayu, hmmm... tak tahu aku. Tak ingat nama-nama mereka yang bersepuluh itu, eh atau sembilan ya? Atau lebih? Hehehe... Lupa.
Denok mencarikan kasur lipat untukku, tapi aku belum duduk pun, seekor kucing sudah duluan tidur di situ. Dalam hati aku sudah meniatkan bahwa sehari itu aku hanya santai saja di rumah Denok, jadi aku menjelmakan diriku sebagai seekor kucing juga, yang tiduran dengan gerak santai, pelan, tanpa keinginan apa-apa.
"Kau santai aja, Nok. Aku hanya ingin tiduran saja di rumahmu ini. Ndak usah kemana-mana."
Dia tentu saja setuju, karena sepertinya niat kami sama, hanya bermalas-malasan saja di rumah. Hehehe...
Aku sempat pulas beberapa lama sebelum sore. Saat aku bangun, ealah, rupanya ada yang menemani. Satu dekat kakiku, dan satu lagi dekat bahuku, merasakan aku menggeliat, si manis yang dekat bahuku menoleh, matanya sayu memandangku seolah bertanya,"Kenapa bangun, dah, tidur lagi yukkk..." Iya deh. Aku pun tidur lagi, merasakan badan hangat yang menempel di badanku, dan seekor lagi, entah, sedang menjilati tanganku. Hmmm... maaf ya, walau aku mencintai binatang-binatang manis ini, aku tak bisa ramah memeluk mencium atau berbicara dengan para kucing. Tapi membiarkan mereka menggelendot di badanku sungguh aku tak masalah. Huah, pengalaman tinggal di rumah kucing ini jelas tak kan terlupakan...
Monday, September 14, 2015
Kapan Aku Bisa Menulis?
Seorang guruku, Ahmad Yulden Erwin, bilang berkali-kali, bahkan menandaskan,"Jangan menulis kalau sedang marah." Dulu aku membantah hal itu. Aku tetap menulis saat marah. Sekarang aku setuju, tapi aku gunakan nasehat itu pada saat sedang mengedit tulisan. Aku tidak akan mengedit apapun pada saat sedang marah.
Ernest Hemingway, guruku yang lain mengatakan,“Kita dapat menulis kapan saja bila orang meninggalkan kita sendirian dan tidak menggangu. Atau kita dapat menulis bila kita cukup kejam tentang soal ini. Tetapi jelas tulisan terbaik bila kita sedang jatuh cinta." Aku setuju tiga perempatnya, tidak setuju seperempatnya. Aku seringkali malah butuh orang lain yang bisa mengganggu supaya menulis.
Aku sendiri beberapa kali bilang ke kelompok-kelompok yang sedang belajar menulis,"Jika memang mudah menulis saat jatuh cinta, jatuh cintalah setiap kali. Jika lebih mudah menulis saat patah hati, patah hatilah terus." Biasanya aku akan melanjutkan dengan keterangan-keterangan misalnya jatuh cinta pada sepucuk daun, pada ujung gunting kuku, pada patahan dahan cemara, dan sebagainya. Atau patah hati pada pemerintahan Jokowi, patah hati karena putus listrik, kesandung batu, dan sebagainya. Kadang aku tak meneruskan dengan penjelasan apapun. Biarin saja dirasain sendiri oleh mereka, macam mana jatuh cinta dan patah hati yang mampu menggerakkan inspirasi menulis.
Lalu, kapan aku menulis? Kapanpun aku ingin. Seperti kata Ari Pahala Hutabarat, guruku yang lain lagi, pada suatu kesempatan mengatakan,"Menulis itu kayak mau berak." Kebelet, sampai tak tahan, dan memang harus menulis. Ya, bagiku menulis itu kebutuhan. Jika tak menulis aku bisa mati. Dan biar aku kebelet terus menerus, aku harus makan terus-terusan, makan campur-campur, biar mules. Membaca segala hal, mengembangkan panca indera untuk menangkap segala hal, terjaga sepanjang waktu, .... terus-terusan. Biar terus menerus menulis juga... terus... terus...
Ernest Hemingway, guruku yang lain mengatakan,“Kita dapat menulis kapan saja bila orang meninggalkan kita sendirian dan tidak menggangu. Atau kita dapat menulis bila kita cukup kejam tentang soal ini. Tetapi jelas tulisan terbaik bila kita sedang jatuh cinta." Aku setuju tiga perempatnya, tidak setuju seperempatnya. Aku seringkali malah butuh orang lain yang bisa mengganggu supaya menulis.
Aku sendiri beberapa kali bilang ke kelompok-kelompok yang sedang belajar menulis,"Jika memang mudah menulis saat jatuh cinta, jatuh cintalah setiap kali. Jika lebih mudah menulis saat patah hati, patah hatilah terus." Biasanya aku akan melanjutkan dengan keterangan-keterangan misalnya jatuh cinta pada sepucuk daun, pada ujung gunting kuku, pada patahan dahan cemara, dan sebagainya. Atau patah hati pada pemerintahan Jokowi, patah hati karena putus listrik, kesandung batu, dan sebagainya. Kadang aku tak meneruskan dengan penjelasan apapun. Biarin saja dirasain sendiri oleh mereka, macam mana jatuh cinta dan patah hati yang mampu menggerakkan inspirasi menulis.
Lalu, kapan aku menulis? Kapanpun aku ingin. Seperti kata Ari Pahala Hutabarat, guruku yang lain lagi, pada suatu kesempatan mengatakan,"Menulis itu kayak mau berak." Kebelet, sampai tak tahan, dan memang harus menulis. Ya, bagiku menulis itu kebutuhan. Jika tak menulis aku bisa mati. Dan biar aku kebelet terus menerus, aku harus makan terus-terusan, makan campur-campur, biar mules. Membaca segala hal, mengembangkan panca indera untuk menangkap segala hal, terjaga sepanjang waktu, .... terus-terusan. Biar terus menerus menulis juga... terus... terus...
Sunday, September 13, 2015
Menyelesaikan Emma dari Jane Austen
Mestinya baca dulu tulisan ini yaitu tulisan yang kubuat saat aku memulai membaca novel karya Jane Austen, berjudul Emma pada 4 hari yang lalu. Hari ini hampir tengah malam aku menyelesaikan buku ini. Buku super tebal yang sangat-sangat lambat alurnya. Aku ingin buru-buru menuliskannya karena aku takut lupa point-point yang kudapat setelah menyelesaikannya.
Ya, membaca Jane Austen selalu begitu. Seperti dilempar ke abad 18-an, di mana kelas-kelas dalam masyarakat Eropa masih sangat terasa. Walau membaca setebal hampir 800 halaman, aku tak merasa capek sama sekali. Jane menuliskan detail-detail rumit dengan cara sederhana sehingga seolah-olah kita sang pembaca tinggal tak jauh dari tokoh yang diceritakan. Kalau dalam novel ini tokohnya bernama Emma, yang, seolah-olah kita adalah salah seorang tetangga Emma yang tahu persis gerak gerik gadis ini kesehariannya.
Jane seperti novel lain yang sudah kubaca menempatkan konflik-konflik yang mungkin memang dia alami di kalangannya waktu itu. Konflik yang itu-itu saja, soal cinta, perjodohan, relasi dalam keluarga besar dan masyarakat kecil suatu desa. Asyik dan santai walau di seratusan halaman pertama aku selalu merasa sangat bosan, tidak sabar karena hal-hal remeh temeh yang diketengahkan oleh Jane.
Yang menarik adalah, aku selalu berpikir, bagaimana Jane bisa menyelesaikan ratusan halaman seperti itu di jamannya? Dia pasti seorang penyabar yang tekun yang bekerja sangat telaten untuk novel-novelnya.
Kedua, Jane pastilah seorang penulis perempuan yang berani. Dia mengemukakan pendapat-pendapatnya dengan jelas lewat tokoh-tokohnya. Aku yakin dia pasti mendapat banyak tentangan pada masanya. Tapi aku salut luar biasa pada dia. Pendapatnya tak relevan lagi untuk masa kini, tapi pasti itu sangat luar biasa di masa hidupnya.
Ketiga, Jane pastilah seorang yang punya mimpi dan imajinasi yang besar. Dia membangun tokoh-tokoh novelnya sebagai bayangan dari mimpinya sendiri. Yang menarik lagi, nama Jane dipakai juga dalam cerita-ceritanya walau bukan sebagai tokoh utama. Tapi tokoh Jane selalu ditempatkan sebagai bagian yang penting dengan karakter tokoh yang nyaris sempurna. Mungkin itulah sebagian dari mimpi atau cita-cita Jane.
Yang jelas, novel Jane bukan novel yang rumit. Aku bisa menyelesaikannya hanya dalam hitungan beberapa hari. Andai aku tidak terkukung kerjaan lain-lain aku yakin tak sampai satu hari bisa kuselesaikan novel ini. Sebali koleksi, novel Jane bisa dilirik deh. Untuk membangun daya khayal masa silam, tentang romantisme klasik yang kadang klise, ini sangat menarik.
Ya, membaca Jane Austen selalu begitu. Seperti dilempar ke abad 18-an, di mana kelas-kelas dalam masyarakat Eropa masih sangat terasa. Walau membaca setebal hampir 800 halaman, aku tak merasa capek sama sekali. Jane menuliskan detail-detail rumit dengan cara sederhana sehingga seolah-olah kita sang pembaca tinggal tak jauh dari tokoh yang diceritakan. Kalau dalam novel ini tokohnya bernama Emma, yang, seolah-olah kita adalah salah seorang tetangga Emma yang tahu persis gerak gerik gadis ini kesehariannya.
Jane seperti novel lain yang sudah kubaca menempatkan konflik-konflik yang mungkin memang dia alami di kalangannya waktu itu. Konflik yang itu-itu saja, soal cinta, perjodohan, relasi dalam keluarga besar dan masyarakat kecil suatu desa. Asyik dan santai walau di seratusan halaman pertama aku selalu merasa sangat bosan, tidak sabar karena hal-hal remeh temeh yang diketengahkan oleh Jane.
Yang menarik adalah, aku selalu berpikir, bagaimana Jane bisa menyelesaikan ratusan halaman seperti itu di jamannya? Dia pasti seorang penyabar yang tekun yang bekerja sangat telaten untuk novel-novelnya.
Kedua, Jane pastilah seorang penulis perempuan yang berani. Dia mengemukakan pendapat-pendapatnya dengan jelas lewat tokoh-tokohnya. Aku yakin dia pasti mendapat banyak tentangan pada masanya. Tapi aku salut luar biasa pada dia. Pendapatnya tak relevan lagi untuk masa kini, tapi pasti itu sangat luar biasa di masa hidupnya.
Ketiga, Jane pastilah seorang yang punya mimpi dan imajinasi yang besar. Dia membangun tokoh-tokoh novelnya sebagai bayangan dari mimpinya sendiri. Yang menarik lagi, nama Jane dipakai juga dalam cerita-ceritanya walau bukan sebagai tokoh utama. Tapi tokoh Jane selalu ditempatkan sebagai bagian yang penting dengan karakter tokoh yang nyaris sempurna. Mungkin itulah sebagian dari mimpi atau cita-cita Jane.
Yang jelas, novel Jane bukan novel yang rumit. Aku bisa menyelesaikannya hanya dalam hitungan beberapa hari. Andai aku tidak terkukung kerjaan lain-lain aku yakin tak sampai satu hari bisa kuselesaikan novel ini. Sebali koleksi, novel Jane bisa dilirik deh. Untuk membangun daya khayal masa silam, tentang romantisme klasik yang kadang klise, ini sangat menarik.
Saturday, September 12, 2015
Gagasan-gagasan Aneh, Idealis dan Kompromis
Tak diragukan, aku ini seorang pengkhayal. Hobi melamun dan mudah tenggelam dalam pikiran-pikiran tak terhingga. Dari sana bisa muncul gagasan-gagasan aneh yang bahkan saking anehnya sering membuatku takut untuk menuliskannya. Misal tentang tas plastik yang dibuang di tengah jalan, aku bisa berpikir di dalamnya ada seorang bayi, maka remku mendecit menghindarinya, dan spontan berpikir kuatir kalau-kalau ada kendaraan lain yang menabraknya dan tubuh bayi itu akan porak poranda, berhamburan. Duh, aku membayangkannya dalam detil yang membuatku bergidik ngeri, dan bisa keterlaluan membuatku menangis tak ada ujung pangkal. Pikiran lain bisa menyanggahnya, mengatakan itu plastik biasa saja, tapi kemudian melihat banyaknya plastik yang ada di jalanan, aku bisa berpikir, bisa saja satu dari plastik-plastik itu berisi bayi. Ini mengerikan apalagi aku sudah melihat banyak sekali luka di jalan raya, tikus-tikus yang gepeng, kucing berdarah dan sebagainya. (Karenanya aku anti membuang sampah di jalanan. Plastik atau benda apapun.)
Pikiran-pikiran tertentu bisa muncul sangat idealis. Aku bisa sangat patah hati jika membaca undangan yang dikirim lengkap dengan TOR, dengan susunan panitia dan siapa yang diundang. Aku selalu berpikir, jika ada kejanggalan kecil saja, pikiranku sudah terusik. Misal, mengapa bukan si Anu yang diundang, kenapa malah si Ini. Bukankah itu tidak strategis? Bukankah itu menjadi batu sandungan bagi proses yang seharusnya begini dan begitu. Wuahhh... dalam sebulan aku bisa mendapatkan beberapa undangan, betapa aku mesti stress setiap kali karena hal di luar jangkauanku ini. Itu baru soal undangan. Soal lain-lain, ini itu... duh. Aku bisa sungguh terganggu oleh hal-hal sepele semacam itu, bahkan untuk waktu yang lama.
Suatu titik di masa lalu, salah satu guruku, mengatakan : "Kompromi, Yuli. Kompromi. Tak semua yang kau pikiran bisa menjadi realita. Tapi hidupmu itu pun realita. Kompromilah." Hmmm... aku tak paham waktu itu. Belum sepenuhnya paham juga hingga sekarang. Tapi aku melakukannya. Di titik tertentu aku tidak sehat, proses kompromis yang kumaksud jatuh pada kecuekan atau ketidak pedulian. Benar-benar tidak peduli, dan tidak rugi apa-apa karena ketidakpedulian itu. Sementara waktu kubilang : Tidak apa-apa. Hal itu pun membuatku sehat. Hmmm. Hmmm.
Pikiran-pikiran tertentu bisa muncul sangat idealis. Aku bisa sangat patah hati jika membaca undangan yang dikirim lengkap dengan TOR, dengan susunan panitia dan siapa yang diundang. Aku selalu berpikir, jika ada kejanggalan kecil saja, pikiranku sudah terusik. Misal, mengapa bukan si Anu yang diundang, kenapa malah si Ini. Bukankah itu tidak strategis? Bukankah itu menjadi batu sandungan bagi proses yang seharusnya begini dan begitu. Wuahhh... dalam sebulan aku bisa mendapatkan beberapa undangan, betapa aku mesti stress setiap kali karena hal di luar jangkauanku ini. Itu baru soal undangan. Soal lain-lain, ini itu... duh. Aku bisa sungguh terganggu oleh hal-hal sepele semacam itu, bahkan untuk waktu yang lama.
Suatu titik di masa lalu, salah satu guruku, mengatakan : "Kompromi, Yuli. Kompromi. Tak semua yang kau pikiran bisa menjadi realita. Tapi hidupmu itu pun realita. Kompromilah." Hmmm... aku tak paham waktu itu. Belum sepenuhnya paham juga hingga sekarang. Tapi aku melakukannya. Di titik tertentu aku tidak sehat, proses kompromis yang kumaksud jatuh pada kecuekan atau ketidak pedulian. Benar-benar tidak peduli, dan tidak rugi apa-apa karena ketidakpedulian itu. Sementara waktu kubilang : Tidak apa-apa. Hal itu pun membuatku sehat. Hmmm. Hmmm.
Thursday, September 10, 2015
Menyepi
Foto oleh Afrilia Utami. Thanks ya, non. |
manusia menyepi
di perkumpulan
di perjalanan
di perhentian.
Yang meriak pada kesadaran
menarik raga pada diam
mengolah suara
sebagai adonan
di telinga.
Bukan disumbat
bukan dibabat
hanya menunggu waktu tepat
untuk kembali mengucap.
Berharap bibir seirama dengan langkah
juga liuk pundak
impian
dan
harapan.
Wednesday, September 09, 2015
Memulai Emma dari Jane Austen
Secara tak sengaja aku menemukan deretan Jane Austen saat membelikan Toto Chan untuk Marco beberapa waktu yang lalu. Saat aku membaca Pride and Prejudice, aku tak punya bandingan lain dari Jane yang bisa kupilih. Ini, pada satu rak ada berderet novel-novelnya.
Aku langsung terbayang cerita Jane yang begitu lambat, dengan detail-detail yang kadang membuat aku tak sabar saat membaca. Spontan juga kebayang kehalusan romantisme klasik jaman dahulu kala. Maka, jari jemariku langsung menelusuri beberapa novel itu. Ah, jika ada yang mau membayariku pasti kuambil semua buku itu, tapi karena aku ingat dalam dompetku hanya ada beberapa lembar yang harus aku hemat hingga tanggal 25 nanti, aku mesti hati-hati dan menahan diri.
Okey, aku memilih buku yang paling tebal dari semuanya : Emma. Aku baru memulai membacanya semalam, baru beberapa halaman awal, dan perasaan seperti saat aku mulai membaca Pride and Prejudice pun muncul. Rasa tidak sabar, terasa bertele-tele. Dan Jane menuliskan 737 halaman untuk buku ini! Busyet. Energi apa yang dipunyai oleh Jane perempuan penulis itu saat membuat novel-novel seperti ini? Huft. Aku iri.
Kucuplik sedikit untuk menggambarkan Emma seperti apa yang ditulis oleh Jane dalam buku ini. Halaman 210 :"Bagi gadis periang seperti Emma, walaupun malamnya sempat murung, datangnya pagi hampir tidak pernah gagal mengembalikan semangatnya. Usia muda dan kecerahan yang mendatangkan rasa bahagia dan semangat." Ini mirip juga dengan tokoh dalam Pride and Prejudice. Tapi, okey, lihat nanti, aku akan membaca pelan-pelan saja.
Aku langsung terbayang cerita Jane yang begitu lambat, dengan detail-detail yang kadang membuat aku tak sabar saat membaca. Spontan juga kebayang kehalusan romantisme klasik jaman dahulu kala. Maka, jari jemariku langsung menelusuri beberapa novel itu. Ah, jika ada yang mau membayariku pasti kuambil semua buku itu, tapi karena aku ingat dalam dompetku hanya ada beberapa lembar yang harus aku hemat hingga tanggal 25 nanti, aku mesti hati-hati dan menahan diri.
Okey, aku memilih buku yang paling tebal dari semuanya : Emma. Aku baru memulai membacanya semalam, baru beberapa halaman awal, dan perasaan seperti saat aku mulai membaca Pride and Prejudice pun muncul. Rasa tidak sabar, terasa bertele-tele. Dan Jane menuliskan 737 halaman untuk buku ini! Busyet. Energi apa yang dipunyai oleh Jane perempuan penulis itu saat membuat novel-novel seperti ini? Huft. Aku iri.
Kucuplik sedikit untuk menggambarkan Emma seperti apa yang ditulis oleh Jane dalam buku ini. Halaman 210 :"Bagi gadis periang seperti Emma, walaupun malamnya sempat murung, datangnya pagi hampir tidak pernah gagal mengembalikan semangatnya. Usia muda dan kecerahan yang mendatangkan rasa bahagia dan semangat." Ini mirip juga dengan tokoh dalam Pride and Prejudice. Tapi, okey, lihat nanti, aku akan membaca pelan-pelan saja.
Saturday, September 05, 2015
Perbedaan
Mempunyai anak-anak seperti Albert dan Bernard, adalah rahmat luar biasa. Mereka berbeda, ya, sangat berbeda. Satu contoh kemarin sore. Di jalan raya Hajimena ada truk fuso bermuatan batu terguling di jembatan, sangat dekat dengan pintu gang masuk perumahan kami tinggal.
Albert, begitu mendapat kabar itu, langsung mandi, menyiapkan buku, pinjam motor dan mengajak beberapa temannya untuk nonton! Nonton bagaimana truk itu diderek, dari magrip hingga jam setengah 10 malam. Huah. Itu pun dia pulang setelah dicari bapaknya. Persis saat truk sudah ke posisi aman siap dipindahkan.
Bernard, ah dia mah adem ayem. Cuek, tak perduli. Saat digoda bapaknya,"Nard, ikut yuk. Lihat fuso yang terguling di depan." Jawabannya cuek saja, sambil terus nonton tivi. "Ngapain lihat truk terguling? Apa yang dilihat?" Huah. Itu pun dia tak memindahkan pandangan matanya.
Memang berbeda.
Albert, begitu mendapat kabar itu, langsung mandi, menyiapkan buku, pinjam motor dan mengajak beberapa temannya untuk nonton! Nonton bagaimana truk itu diderek, dari magrip hingga jam setengah 10 malam. Huah. Itu pun dia pulang setelah dicari bapaknya. Persis saat truk sudah ke posisi aman siap dipindahkan.
Bernard, ah dia mah adem ayem. Cuek, tak perduli. Saat digoda bapaknya,"Nard, ikut yuk. Lihat fuso yang terguling di depan." Jawabannya cuek saja, sambil terus nonton tivi. "Ngapain lihat truk terguling? Apa yang dilihat?" Huah. Itu pun dia tak memindahkan pandangan matanya.
Memang berbeda.
Tuesday, September 01, 2015
Reputasi
Pagi yang heboh selalu terjadi di pagi hari. Setelah menjerang air untuk mandi Bernard, menanak nasi, minum segelas atau dua gelas air, aku akan membangunkan anak-anak. Huft, ini bagian yang mesti diulang berkali-kali. Kadang setelah nasi matang, lauk matang, sayur matang, tetap saja mereka sembunyi di balik selimut.
Biasanya terakhir aku akan bilang,"Pokoknya ibu tak akan membangunkan lagi. Terserah kalian."
Masih belum bangun juga aku akan mondar-mandir ke kamar,"Ibu sarankan kalian lihat jam dulu deh kalau mau memutuskan untuk tidur lagi." Walau mereka tidak bergerak-gerak, aku tahu mereka sudah bangun dan pasti mendengar suaraku.
Usai itu barulah mereka akan mulai beranjak. Mandi, makan, dan hal-hal yang perlu dilakukan. Sambil makan sesekali mereka akan lupa kemalasan-kemalasan mereka, malah mengajukan protes-protes. "Ibu ini lho, ndak mbangunin aku." Ih, kuketok kepala mereka secara spontan. Dasar.
Pagi tadi sembari lari ke motor, Bernard berujar,"Reputasiku bakal turun nih bu."
"Reputasi apaan?"
"Telat terus setiap hari. Mepet jam doa. Harusnya lebih pagi lagi berangkatnya."
Ealah, lha yang bangun siang tuh siape? Yang masih lelet-lemot tuh siape? Yang menurunkan reputasi tuh siape? Eeee....
Biasanya terakhir aku akan bilang,"Pokoknya ibu tak akan membangunkan lagi. Terserah kalian."
Masih belum bangun juga aku akan mondar-mandir ke kamar,"Ibu sarankan kalian lihat jam dulu deh kalau mau memutuskan untuk tidur lagi." Walau mereka tidak bergerak-gerak, aku tahu mereka sudah bangun dan pasti mendengar suaraku.
Usai itu barulah mereka akan mulai beranjak. Mandi, makan, dan hal-hal yang perlu dilakukan. Sambil makan sesekali mereka akan lupa kemalasan-kemalasan mereka, malah mengajukan protes-protes. "Ibu ini lho, ndak mbangunin aku." Ih, kuketok kepala mereka secara spontan. Dasar.
Pagi tadi sembari lari ke motor, Bernard berujar,"Reputasiku bakal turun nih bu."
"Reputasi apaan?"
"Telat terus setiap hari. Mepet jam doa. Harusnya lebih pagi lagi berangkatnya."
Ealah, lha yang bangun siang tuh siape? Yang masih lelet-lemot tuh siape? Yang menurunkan reputasi tuh siape? Eeee....
Subscribe to:
Posts (Atom)