Walau suka menulis haiku dan ikut dalam grup haiku,
aku jarang sekali menemukan haiku yang kusuka. Selain itu, aku juga jarang
(malas) mengomentari haiku entah yang kubuat sendiri atau dibuat oleh orang
lain. Tapi haiku yang satu ini membuatku berdebar :
bayang reranting
membatik pantai senja
ombak mendekat
Ditulis
oleh Hikmat Gumelar dipublikasikan lewat facebook pada 11 Maret 2015. Dalam
postingannya, Hikmat memasang gambar bayangan ranting di atas pasir pantai,
sedang ombak tengah berjalan mendekati bayangan itu. Jelas gambar itu diambil
pada sore hari karena cahayanya redup, abu-abu, menandakan matahari sudah mulai
terbenam.
Sebagai
haiku, kita bisa mencermati apakah syarat-syaratnya terpenuhi. Terdiri dari
tiga baris, baris pertama 5 suku kata, baris kedua 7 suku kata dan baris ketiga 5 suku kata. Haiku
Hikmat ini sudah memenuhi syarat baris dan suku kata (Sebenarnya aku lebih suka
menggunakan istilah pattern atau ketukan. Terdiri dari 3 baris, 5 – 7 – 5
ketuk.).
Syarat
lain, haiku juga harus memiliki kigo atau penanda musim dan kireji atau
pemotongan. Walau syarat ini sering diabaikan oleh para penulis haiku modern,
aku secara pribadi lebih menyukai mempertahankan syarat-syarat haiku tradisional
ini. Kigo atau penanda musim sangat mudah ditemukan di Jepang yang memiliki 4
musim. Tapi di negara tropis seperti Indonesia, penanda musim pun sangat banyak
(walau untuk sekarang ini agak kacau karena pemanasan global). Misal bunga
bungur mekar bisa menjadi kigo karena itulah tanda musim kemarau akan segera
berakhir. Kodok bernyanyi dalam paduan adalah kigo karena itulah saat musim
penghujan. Atau ketika capung mulai muncul bergerombol, laron keluar dari
sarang dan sebagainya.
Kigo dalam
haiku Hikmat ini tidak secara jelas terlihat. Tapi imajinasi pembaca bisa
membantu untuk melihatnya. Imajinasi itu juga yang membantuku untuk
mengamatinya lebih dalam. Kita lihat – membatik
pantai senja – ombak mendekat. Aku membayangkan sebuah senja dengan air laut
mulai pasang. Air pasang dan surut akan terjadi setiap hari. Tapi bulan purnama
akan membuatnya lebih signifikan karena gaya gravitasi bulan. Dan itu tidak
terjadi pada seluruh waktu dalam setahun pada negeri tropis. Walau kita tidak
bisa menunjuk secara pasti musim apakah yang melatarbelakangi haiku Hikmat,
tapi kita bisa membayangkan masa seperti apa haiku Hikmat ini ingin
menggambarkan. Aku membayangkan, itulah
senja saat purnama bisa kita lihat pada malam harinya. Dan itulah kigo dalam
haiku Hikmat.
Syarat
berikutnya adalah adanya kireji, atau pemotongan. Ini agak susah dibayangkan.
Di banyak contoh haiku, misalnya haiku Basho, dimanakah kirejinya? Pemotongan
ini kalau kubayangkan dalam pantun seperti pemotongan antara sampiran dan isi.
Sesuatu yang tak ada hubungannya tapi toh terkait juga.
Untuk haiku
Hikmat ini aku kembali menggunakan imajinasi saat membacanya. Ah, tidak, lebih
tepat aku membacanya sebagai susunan kalimat. Aku memotong saja haiku ini
menjadi dua kalimat : bayang reranting membatik
pantai senja - ombak mendekat. Ombak mendekat tak ada hubungannya dengan
bayang reranting yang membatik pantai senja. Dan kalimat pendek itu – ombak mendekat – itulah debar dari haiku
ini. Itulah inti gerak halus yang membuat pembaca sepertiku berdebar. Ini
semacam penantian. Akan terjadi apa nanti? Apakah bayangan reranting yang sudah
terbatik itu akan hilang? Atau bayangan itu akan tetap abadi walau ombak menyapunya?
Wuah, membacanyapun ikut membuatku merasa keren. Membuatku terus berdebar.
Mengapa
haiku begitu populer di Jepang dan kemudian menyebar ke berbagai negara? Karena
haiku sangat sederhana sebagai puisi. Pendek, ringkas, padat. Dan haiku yang
berhasil, dia pasti indah mencerminkan sebuah kejadian, atau sebuah tempat,
dalam lukisan yang jernih dan mendebarkan.
Lalu apa
makna haiku ini? Ah, ketika haiku sudah berhasil menampilkan lukisan, hanya
dengan kata-kata singkat tapi sudah membentuk lukisan, makna itu akan spontan
memercik pada pembacanya. Apakah aku sudah mendapatkan lukisan itu? Tentu saja.
Sudah cukup bahwa aku bilang haiku ini membuatku berdebar. Atau mau masuk lebih
dalam lagi? Haiku ini mengajak khayalanku masuk dalam permenungan tentang hidup
manusia. Hidup manusia adalah bayangan reranting yang terbatik di pasir pantai
saat sore hari. Bayangannya akan semakin redup karena cahaya akan hilang. Apakah
ombak yang mendekat dan menyapu pasir pantai akan menghilangkan bayangan itu? Tidak.
Bayangan akan tetap ada seperti Citra Sang Pencipta yang selalu dibawa oleh
manusia, si ciptaan. Tapi bentun bayangan yang terbatik di pasir dan di air
jelas berbeda. Seperti apa bentuknya yang baru? Kita sedang menantinya, dengan
berdebar, karena hanya misteri saja yang kita ketahui.
Nah, nah,
itu bagiku. Bagi pembaca lain, haiku ini tentu menorehkan hal yang berbeda
pula. Dan itu sah. Apapun, ini adalah haiku yang indah. Trimakasih untuk Hikmat
Gumelar yang sudah membawa keindahan itu dalam haiku. Takzim, Hikmat Gumelar.
Salamku. *** (Yuli Nugrahani)