Friday, February 08, 2013

Yogyakarta (2) Hanya Anak

Hanya bermain.
Beruntung Yogyakarta sangat sabar menemaniku untuk untuk memahami posisi. Yach, percakapan dalam ruang-ruang rapat KKPPMP-KWI sangatlah penting. Juga yang di luar ruangan pun menjadi penting. Ganjuran yang menyediakan pangkuan untuk mengisak, Merapi yang selalu bangga mengasapi kedukaan, Pelem Golek yang menyiapkan seluruh kegembiraan perut, juga seluruh perjalanan. Beberapa simpul aku buat untuk mengikat kepentingan-kepentingan itu.
Baiklah, pertama aku akan akui bahwa aku ini hanya anak. Anak selalu boleh menganggap bahwa apa saja yang disodorkan kepadanya sebagai mainan. Dia boleh memperlakukan dengan seluruh optimalitas tubuhnya, otaknya, hatinya. Saat anak masih bayi, dia punya tangan dan kaki serta mulut yang menarik semua mainan. Semakin anak berumur tangan sudah berkuku, kaki sudah bersepatu, dan mulut ternyata punya lidah dan ludah. Aku tinggal mengoptimalkan memainkan yang sudah disodorkan padaku.
Puncak Merapi dari Kaliadem.
Kedua, karena yang disodorkan hanyalah mainan, maka kesejatian ada pada sukacita. Pun ketika kantong-kantong air mata dikuras, itu hanyalah sisi-sisi sukacita. Tiada lain. Bagaimana menggali sukacita pada sebuah mainan adalah bakat dasar anak, karena dia yakin punya gantungan tempat merengek mengadu.
Ketiga, selalu ada kemerdekaan yang dimiliki anak. Taruhlah mainan, menyusu sebentar lalu terlelap. Atau sebelumnya boleh menangis sekuatnya semampunya, tapi ayunan tidur sudah terpasang. Usai mimpi-mimpi membuai, mainan lama atau baru sudah siap di depan mata.
(Specially thans for Mbakyu Amanda)

No comments:

Post a Comment