Wednesday, February 20, 2013

Pantat Besi

Seseorang bersungut-sungut di bawah pohon, jauh dari ruang kelas sastra. Temannya yang kebetulan melintas bertanya apa yang menjadi masalahnya.
"Aku tidak percaya pada guru sastra di kelas itu."
"Mengapa begitu?"
"Dia orang yang plin-plan!"
"Menurutku dia orang yang baik."
"Aku sebutkan beberapa contoh.
Pertama, suatu ketika ketika aku bilang tidak punya keberanian menulis, dia mengatakan : Tulis saja, apapun. Tidak usah berpikir panjang. Tulis saja.
Lalu aku pun menulis. Hasilnya? Dia berkata : Hah, mana mungkin menulis tanpa kerangka gagasan. Mana detail tokoh, plot, dan settingnya?
Kedua, di kali lain dia berkata tulisanku terlalu banyak dialog, padahal menurutnya ada banyak dialog yang bisa dinarasikan. Kemudian ketika aku membuat tulisanku berupa narasi panjang lebar, dia berkata : Tambah dialognya.
 Ketiga, aku masih sabar, dia mengatakan tulisanku terasa lurus dan standar. Dia memintaku mengubahnya dengan metafora-metafora. Tapi kemudian, sesudah melihat tulisanku, dia berkata : Hilangkan kalimat-kalimat yang tidak perlu!
Keempat, aku sudah tidak sabar, dia pernah mengatakan bahwa penulis adalah pembaca. Baca apa saja untuk belajar. Baru saja dia berkata : Baca Pamuk, jangan Andrea!
Nah, menurutmu, apakah otakku yang tolol?"
Temannya tertawa terjengking-jengking.
"Jangan tunjukkan otakmu. Tidak ada masalah dengannya. Coba lihat pantatmu. Harusnya kau memakai pantat besi. Belajar sastra itu seperti duduk di atas kaktus!"
Temannya masih tertawa juga sambil melangkah pergi.

No comments:

Post a Comment