Harusnya ini kutulis bulan Januari lalu saat pikiranku masih segar usai mengikuti Srawung Seni Sawah di Merbau Mataram Lampung Selatan, 9 Januari 2020. Tapi beberapa pikiran, kesibukan ragawi, juga rasa yang masih hilir mudik membuatku abai pada kekayaan-kekayaan yang kudapatkan dari moment sederhana itu.
Tentang acara itu sendiri bisa kuceritakan kalau aku mendapat flyernya dari salah satu yang punya gawe, Kang Agus dari Sanggar Sangisu. Di antara ucapan Natal, Kang Agus menyertakan info acara Srawung Seni Sawah. Aku mengingatnya dengan baik karena kemudian iklan-iklan acara ini berkeliaran diantara postingan teman-teman di IG sehingga beberapa hari sebelum acara aku kontak GB untuk melihat kemungkinan nebeng motornya. Aku ndak yakin mampu membawa motor sendiri ke lokasi itu tanpa keluhan sakit pinggang, masuk angin atau apalah-apalah.
Seluruh rangkaian itulah yang membantuku sampai di Merbau Mataram. Keramaian membuatku terpojok di keheningan sawah, di pinggir 'kalangan' yang disiapkan sebagai arena menari. Dan di situlah aku menikmati seluruh acara berjalan.
Secara pelahan aku mempunyai ingatan tentang Mbah Prapto yang sudah meninggal beberapa minggu sebelum acara ini digelar. Tidak, aku tidak kenal langsung dengan penari gaek itu. Tapi aku tak asing dengannya dan rasanya aku mencicip sedikit dengan yang disebutnya sebagai joget amerta.
Dalam keheningan sawah yang ramai itu, aku mengingat pada suatu masa dulu, saat aku masih belum menikah, SMA di tahun terakhir lalu saat mahasiswa dan terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, aku mulai menganggap tari sebagai terapi. Ini kuyakini karena tarian yang kulakukan sebebas hatiku itu berdampak sangat baik bagi seluruh harmoni tubuhku. Membuat jiwaku 'memuai' memenuhi semesta dan berdenyut dalam vibrasi yang harmoni.
Salah satunya ketika aku berada di Kampung Engkurai bersama suku Dayak di Kalimantan Barat. Waktu itu mereka mengajarku tarian sederhana yang berulang-ulang dengan musik yang memakai nada itu-itu saja. Gerak tari ini membuatku mengalami rasa yang sebelumnya hanya bisa kudapat dari meditasi.
Saat itu, gerakan sederhana itu kemudian kumunculkan saat aku berjalan di pematang dari satu kampung ke kampung lain. Saat menginjak tanah basah sebelum mencebur ke sungai. Gerak-gerak bebas pun kubuat dalam sadar untuk merasai daun, batang kayu, tanah, udara, batu, dan sebagainya. Kesadaran yang indah. Itulah kesimpulanku saat itu.
Aku sempat pernah melupakan hal ini di awal-awal pernikahan hingga anak-anak sedang bertumbuh di masa kanak-kanak. Lalu kerinduan akan gerak itu muncul saat bangun pagi lihat kucing di dekat pintu. Kucing? Ya, kucing. Pernah lihat kucing molet kan? Dia merenggangkan seluruh tubuhnya, bahkan lidahnya menjulur, menguap, ... Gerak tubuh yang sangat alami. Itulah yang ingin kuulang lagi mulai beberapa tahun yang lalu.
Nah, Mbah Prapto mengingatkanku akan hal-hal semacam itu. Aku punya visi yang sudah mulai kutemukan saat aku masih kuliah dulu. Dan seluruh denyut semesta sebenarnya sudah membantuku sepenuh daya supaya aku mencapainya. Hal menyenangkan itulah yang kurasakan saat bersama dengan banyak orang dalam keriuhan Srawung Seni Sawah. Aku menemukan hal-hal person yang tersambung dengan segala hal.
Obrolan dengan beberapa teman dalam event itu seperti dengung lebah di sekitarku. Menumbuhkan cintaku pada tubuhku. Tubuh yang sempurna yang membantuku secara luar biasa sehingga dapat terhubung dengan seluruh semesta ini. Mulai dari relasi yang terbatas karena aku menyentuhnya, mendengarnya, menciumnya dan sebagainya. Hingga bisa merasai denyut yang begitu jauh dari panca indera, namun benar-benar dapat kuraakan vibrasinya.
Aku kira inilah yang bisa kuambil dari perjalanan ini, supaya aku tidak menghentikan peziarahanku untuk terus mengasah 'awareness', kesadaran,... terus berjalan... sampai entah.