17 Maret
Pagi-pagi, terlalu pagi, aku bangun sekitar jam 2 dini hari. Melek beberapa saat,
tertidur lagi menjelang subuh, dan bangun sangat telat. Hari ini hari nyepi.
Kami tak boleh kemana-mana pada hari ini. Jadi aku juga tidak ingin ke
mana-mana. Usai membersihkan diri, aku membaca Cantik itu Luka. Sarapan jam
09.00 dengan roti bakar dan telur ceplok. Baca lagi. Tidur sebentar. Baca lagi.
Tidur lagi. Baca lagi… hahhaa… pukul 016.15 baru makan lagi pesan ke kantin.
Makan siang yang telat itu aku order: nasi dengan vegetables
curry, fried fish dan tofu, serta mi goreng dengan sayuran. Itulah makan siang
merangkap makan malam yang super lengkap. Ditambah dengan jus jeruk dan kopi.
Satu hal yang aku tak bisa lanjutkan sebagai perbincangan lisan: Yuli, siapkah kau pada kematian?
Aku terdiam. Bibirku bilang, aku tak mau membahas tentang hal ini. Lalu bibirku bercerita tentang kematian si anu, si ani, si ano... dan lain-lain. Bukan tentang kematianku. Aku tak mampu bicara tentang kematianku sendiri karena aku masih ketakutan, aku masih tak siap. Ada beberapa hal yang masih ingin kukerjakan dengan tubuh Yuli seperti ini. Aku harus mengejar waktu supaya semua mampu kubereskan sebagai Yuli. Aku bernafas panjang beberapa kali. Ingat gelenyar yang muncul pada tubuhku saat pesawatku turbulensi hebat dalam perjalanan Jakarta - Denpasar. Inget betapa aku mencengkeram pinggang Albert saat diboncengnya dengan kecepatan tinggi mengejar jam misa. Atau, betapa aku berdebar-debar saat hujan deras angin badai. Ohhh... aku berharap masih punya waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas Yuli.
Pikiran-pikiran tentang kematian ini kubawa ke tempat tidur, ke dalam kegelapan dan kesunyian Nyepi.
No comments:
Post a Comment