Tuesday, April 24, 2018

Residensi Menulis yang Gagal (5): Ogoh-ogoh yang Menyesatkan

16 Maret 2018

Aku bangun pagi dengan perasaan tenang. Juga suasana sangat tenang. Ke wc, cuci muka, ganti baju, aku turun ke pantai. Semburat cahaya matahari sudah tampak di timur. Oranye, kemerahan, kekuningan. Wah. Dan ombak, nyaris tak ada ombak. Nyaris tak ada suara ombak berdebur. Sesekali saja ada ombak yang pecah tapi secara umum, mereka sangat tenang. Suara burung di atas pohon dekat kolam begitu meriah. Aku mulai menangkap hal-hal detail dalam pandanganku. Bebatuan yang mengkilat kuning disepuh matahari. Ikan-ikan… memanjat eh melonjat ke batu, lalu meloncat lagi ke air, kemudian meloncat lagi. Menjauh saat aku dekati, tapi selalu ada yang meloncat, meloncat… selain aku ada burung, berparuh panjang berkaki panjang mengikuti pergerakan ikan-ikan. Sekali waktu kulihap, hap… burung itu mendapatkan satu ikan di paruhnya. Aku sempat terperanjat. Apakah ikan-ikan itu meloncat ke bebatuan sebagai sarapan burung? Tapi kalau tidak ada perilaku seperti itu, burung itu makan apa?

Batu-batu segala warna ada di pantai ini. Aku terpesona dengan bentuk-bentuk batunya, lonjong, bulat, kotak, panjang… halus, sempurna. Mereka dibentuk dengan baik oleh pembentuknya. Air laut? Gesekan dengan batu lain? Ahai. Air sangat tenang dan bening. Aku bisa melihat dengan jelas bebatuan di bawah air. Sangat jernih. Sangat jelas.

Satu poin yang kudapat dalam jalan pagiku ini: aku tidak boleh lagi mengijinkan amarahku menguasai diriku. Tapi aku tidak boleh lagi membiarkan rasa marah datang dan menghajarku. Membuatku hanya dibungkus emosi.

Aku merenungkan hal ini sepanjang jalan. Menginjak bebatuan yang goyang. Pasir hitam. Batuan yang besar dan padat. Melihat air jernih yang memantulkan keindahan-keindahan. Ohh, aku ingin mengingatnya. Yuli, jangan marah lagi. Jangan lagi membiarkan rasa marah menguasai.

Aku sarapan dengan roti bakar dan telur rebus plus jus lemon tanpa gula. Aku selalu minta bonus madu yang kuminum setelah kuhabiskan sarapanku. Satu telur rebus cepat masuk ke perutku, sedang yang satu lagi (kami mendapat jatah dua telur) kubawa ke kamar, rencanaku untuk makan siang.
Partnerku mengatakan sudah memesan motor kalau aku mau bisa ikut dia jalan. Niat awal adalah pergi salon untuk potong rambut, lalu berjalan sekitar seraya. Tapi kemudian yang kami lakukan berdua adalah menyusuri sepanjang pantai hingga ke Amlapura, lalu balik lewat jalan utama propinsi. 

Hujan deras datang ketika kami sampai di sebuah tempat indah dekat sawah saat kami usai menikmati popmi dan degan, sebelum Culik. Itu sudah sangat dekat, tapi kami yang sudah basah kuyup malah nyasar sekitar 4 km. Mestinya kami belok kanan setelah sampai Culik, tapi kami terus hingga bertemu pantai di sebelah kanan. Itu jelas salah, karena harusnya pantai di sebelah kiri. Huhuhu. Kami jalan terlalu ke barat.

Kami memastikan bertanya dua kali karena kami salah belok juga setelah bertanya satu kali.
Culik adalah desa yang akan kami datangi sore nanti untuk perayaan ogoh-ogoh. Waktu sangat mepet. Ketika sampai di penginapan, hujan deras kembali. Kami mandi dang anti baju kering. Menunggu dengan membaca hingga hujan berhenti, tepat pukul 15.30. kabarnya ogoh-ogoh akan dimulai dengan doa pukul 4.00. ini yang bikin greget ketika kami mendapatkan informasi yang berbeda-beda soal lokasi doa arah arakan ogoh-ogoh dan juga tempat pembakaran ogoh-ogoh.  Ada yang bilang lokasi doa di Amed, lalu berjalan ke Culik untuk dibakar di sana. Ada yang bilang dibakar di Amed. Ada yang lain bilang dari Culik di bawa ke Amed lalu ngumpul di Culik lagi. Ahai. 

Saat malam setelah kami selesai terlibat dalam doa di Culik, diselingin makan bakso lalu melihat ogoh-ogoh, di perjalanan kembali ke tempat nginap kami baru ngeh kalau acara serupa juga dikerjakan di Culik dan juga di Amed. Dua tempat. Dua acara yang sama. Huhuhu.

Kami tertawa menyadari hal itu. Sekaligus bertanya-tanya kenapa orang-orang yang kami tanyai tidak clear memberikan info soal itu. Hahaha… astaga.

No comments:

Post a Comment