Judul buku: Kampung Tomo
Penulis: Alexander GB
Desain cover dan tata letak: Devin Nodestyo
Cetakan pertama: Januari 2018
Penerbit: Lampung Literature
ISBN: 9786021419144
Aku mendapatkan buku ini pada minggu ketiga bulan Januari tahun ini. Ini menjadi buku terakhir yang kubaca setelah buku Yulizar Fadli dan Devin Nodestyo. Aku membawa buku bersampul biru ini pada masa cutiku bulan Maret lalu di Bali. Satu-satunya buku yang kubawa untuk berangkat liburan (saat pulang aku membawa 10-an buku tambahan yang kubeli atau yang kudapat sebagai hadiah).
Memulai membacanya saat aku sedang di bandara untuk menunggu penerbangan ke Jakarta maupun ke Bali. Tapi benar-benar kudapatkan 'rasa' saat aku membacanya di pesisir Karang Asem, tempat yang bertolak belakang dari setting Ulubelu yang digunakan oleh GB dalam buku ini.
"Sepertinya mereka tidak terlalu mengharapkan kehadiran saya di rumah ini. Saya teringat Mbah Putri yang selama saya di Ulubelu kerap mengunjungi saya. Istri Bapak meski sejauh ini menunjukkan sikap yang baik, khususnya jika ada paman dan bibi, tentu saya tidak keberatan ia tetap tinggal di rumah ini. Meski saya masih enggan untuk memanggilnya ibu."
Tersandung di paragraf terakhir halaman 79 itu aku mengulang pembacaan dari awal secara cepat. Aku pun mulai ngeh masuk dalam cerita GB. Seolah aku mengiringi si Tomo, tokoh 'saya' yang ada dalam cerita ini. Merasai si Tomo yang 'antara ada dan tiada' di kampung kelahirannya itu, lalu ikut menemani memikirkan hal-hal praktis sebagai solusi atas kematian bapaknya.
Walau bagian endingnya tak terlalu kusuka karena membuatku bingung, aku tidak terganggu GB memutuskan membuat ending semacam itu. Ending itu membuatku berpikir soal 'fana dan maya'. Nah, nah, kalian harus membayangkan aku membaca buku ini di sebuah perkampungan nun di Karang Asem sana sedang dalam persiapan Nyepi. Jadi cocok cucoklah. Mengapa soal fana dan maya yang menyentak? Hmmm.... susah menjelaskannya. Baca saja alenia terakhir ini (hal, 200):
"Ketika saya mendongak, kelelawar membentuk garis melengkung di langit Ulubelu. Saya mendengar ceracaunya. Saya mendengar banyak suara lain, saling tindih, sebagian suara itu terus menggumamkan nama saya. Sosok-sosok yang tadi menampakkan diri telah pergi, yang tersisa hanya gema suara-suara mereka dan kabut yang menyelimuti rerumputan. Lalu datang cahaya dari barat yang menyilaukan, lantas melemparkan tubuh saya ke suatu tempat - seperti jalanan yang diapit bangunan-bangunan tinggi dan menyebarkan bau belerang."
Huhuhu... orang Ulubelu ini. Thanks, ya, B. Kupikir buku ini bisa diteruskan menjadi buku kedua dan ketiga. Aku pasti suka hati membacanya. Ingat Ulubelu dengan tanahnya, masyarakatnya, masalah-masalahnya.... ah kau lebih tahulah soal itu, bahwa itu semua harus disuarakan. Selamat atas buku ini.
No comments:
Post a Comment