Tahun belum berganti sejak terakhir aku memegang wajahmu. Kini rambutmu
meriap hingga lekuk kuping, membisikkan rajangan batu-batu serpih. Air
matamu berubah menjadi debu.
"Aku ini si pengikut takdir. Kutumpangkan suaraku pada angin. Dan kau, Barat, padamulah aku hendak mendarat."
Aku tidak kuatir murka dan duka tertenun di gaunku. Lenganmu sudah meraih jauh sebelum bibir berpekik. Kini menari saja, ayo menari. Di atas kanopi mangga dan kepala kedasih engkau putih begitu cantik.
"Mestinya kau berkemas. Pesanku sudah diseret para kelinci dan burung elang hingga ke teras rumahmu. Kau tak harus menanti."
Tapi aku bukan kekasih yang meletakkan tangan di atas cemas. Aku
menunggu tekuk kakimu, dan kini, menari saja, ayo menari. Bulan yang
tersembur dari laharmu, akan menghias jari manisku.
Pada suatu nanti
edelweis-edelweis akan mekar hingga di telapak kaki.
(Catatan untuk Kelud, Malam Jumat Wage, 13 Pebruari 23.00)
No comments:
Post a Comment