Rapat
pleno undian nomor urut pasangan calon (24/2) Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung menetapkan nomor urut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Lampung.
1. Berlian Tihang-Mukhlis Basri
2. Ridho
Ficardo-Bakhtiar
3. Herman HN-Zainuddin Hasan
4. Alzier Dianis Tabrani-Lukman Hakim.
Masa kampanye dari tanggal 16 Maret sampai 6 April 2014 sedang pelaksanaan pemilihan bersamaan dengan pemilihan legislatif 9 April 2014.
Terus mana yang bisa dipiliha? Hmmm... nanti dulu.
(Foto dari berbagai sumber di jaringan internet)
Tuesday, February 25, 2014
Monday, February 24, 2014
Friday, February 21, 2014
Hari Bahasa Ibu Internasional
Hari Bahasa Ibu Internasional, tepat pada hari ini, 21 Pebruari. Peringatan ini sudah ditetapkan oleh Unesco sejak 17 Nopember 1999, tapi siapa yang tahu? Peringatan ini tidak begitu familier padahal tujuannya adalah untuk menghormati keragaman bahasa yang ada di dunia, dan sekaligus keprihatinan akan musnahnya banyak bahasa di dunia karena tidak lagi digunakan.
Lihat saja di Indonesia, ada berapa bahasa yang ada pada ratusan suku yang ada? Tak terhitung. Di Jawa saja, pulau asalku ada banyak bahasa yang digunakan mulai dari Osing di Banyuwangi ujung Timur hingga Betawi juga Sunda di bagian Barat. Di Lampung tempatku tinggal sekarang juga punya bahasa suku yang baru kukenali beberapa katanya saja.
Bahasa Indonesia baik sebagai pemersatu, tapi bahasa-bahasa asli, bahasa ibu, akan mati jika tak digunakan. Mengingatnya di hari ini membuatku ingin memakai bahasa yang dulu pertama kali dikenalkan padaku. Minimal sedikit di sini ya :
GURIT PANGELING
"Ora ono lakon dadi kongkon
yen bisa, kowe sing kudu rumongso
mlakuo, terus mlaku, aku
ora mung neng mburimu, nanging aku
ugo ing iringanmu, nggondeli lengenmu.
Sepisan-pisan aku bakal mlayu,
ora pengin ninggalake kowe
nanging aku pengin methik kembang kanthil
kae, neng ngarep kae
kanggo wewangen, ugo pangeling,
yen mlako bareng kowe
bakal dadi wektu kang langgeng
mung iso dililing, ugo dideleng,
nganggo dekik esem kang marem."
Pahoman, 21 Pebruari 2014
(Dino kanggo Boso Ibu Sadonya)
Lihat saja di Indonesia, ada berapa bahasa yang ada pada ratusan suku yang ada? Tak terhitung. Di Jawa saja, pulau asalku ada banyak bahasa yang digunakan mulai dari Osing di Banyuwangi ujung Timur hingga Betawi juga Sunda di bagian Barat. Di Lampung tempatku tinggal sekarang juga punya bahasa suku yang baru kukenali beberapa katanya saja.
Bahasa Indonesia baik sebagai pemersatu, tapi bahasa-bahasa asli, bahasa ibu, akan mati jika tak digunakan. Mengingatnya di hari ini membuatku ingin memakai bahasa yang dulu pertama kali dikenalkan padaku. Minimal sedikit di sini ya :
GURIT PANGELING
"Ora ono lakon dadi kongkon
yen bisa, kowe sing kudu rumongso
mlakuo, terus mlaku, aku
ora mung neng mburimu, nanging aku
ugo ing iringanmu, nggondeli lengenmu.
Sepisan-pisan aku bakal mlayu,
ora pengin ninggalake kowe
nanging aku pengin methik kembang kanthil
kae, neng ngarep kae
kanggo wewangen, ugo pangeling,
yen mlako bareng kowe
bakal dadi wektu kang langgeng
mung iso dililing, ugo dideleng,
nganggo dekik esem kang marem."
Pahoman, 21 Pebruari 2014
(Dino kanggo Boso Ibu Sadonya)
Thursday, February 20, 2014
Hariri, oh, Hariri.
Coba buka Youtube sekarang. Wajah Hariri muncul di antara gambar-gambar yang ada. Karena aku pelanggan Youtube dan aku tidak suka cara Hariri bertindak plus caranya membenar-benarkan tindakannya, ini sungguh bikin eneg. (Silakan buka sendiri di Youtube tentang hal ini, pasti ketemu.)
Mataku tidak buta, juga mata siapapun yang melihatnya, entah yang dipasang di Youtube itu hanya seiris atau sekilas, semua orang bisa menilai bagaimana Hariri memandang manusia lain. Dia tidak menghormati martabat manusia bahkan martabatnya sendiri. Jika dia tidak menghargai martabat manusia, how dia bilang dia menghormati Penciptanya? Omong kosong.
Lalu ada pembenaran-pembenaran. Ah, otak itu bisa punya teori apapun. Alasan-alasan bisa diciptakan. Bahkan ekspresi muka bisa dipahat kerut-kerutnya. Tapi perasaan dan nurani setiap orang yang melihat wajah dan tindakan seseorang tidak mungkin bohong. Apakah Hariri patut menjadi panutan? Jika dia tak patut dicontoh, apakah omongannya sungguhan? Bisakah dia dipercaya? Tidak.
Baik kalau Hariri diam saja dulu untuk beberapa saat, belajar lagi menjadi manusia sejati yang semata ciptaan supaya dia bisa menghormati ciptaan yang lain dan kemudian menghormati Sang Pencipta.
(Hmmm... hal yang sama kulakukan untuk diriku sendiri. Ini nasehat untukku sendiri juga.)
Mataku tidak buta, juga mata siapapun yang melihatnya, entah yang dipasang di Youtube itu hanya seiris atau sekilas, semua orang bisa menilai bagaimana Hariri memandang manusia lain. Dia tidak menghormati martabat manusia bahkan martabatnya sendiri. Jika dia tidak menghargai martabat manusia, how dia bilang dia menghormati Penciptanya? Omong kosong.
Lalu ada pembenaran-pembenaran. Ah, otak itu bisa punya teori apapun. Alasan-alasan bisa diciptakan. Bahkan ekspresi muka bisa dipahat kerut-kerutnya. Tapi perasaan dan nurani setiap orang yang melihat wajah dan tindakan seseorang tidak mungkin bohong. Apakah Hariri patut menjadi panutan? Jika dia tak patut dicontoh, apakah omongannya sungguhan? Bisakah dia dipercaya? Tidak.
Baik kalau Hariri diam saja dulu untuk beberapa saat, belajar lagi menjadi manusia sejati yang semata ciptaan supaya dia bisa menghormati ciptaan yang lain dan kemudian menghormati Sang Pencipta.
(Hmmm... hal yang sama kulakukan untuk diriku sendiri. Ini nasehat untukku sendiri juga.)
Wednesday, February 19, 2014
Gurindam Duabelas dari Raja Ali Haji
Foto diambil dari Wikipedia. |
Raja mufakat dengan menteri,
Seperti kebun berpagarkan duri.
Betul hati kepada raja,
Tanda jadi sebarang kerja.
Hukum ‘adil atas rakyat,
Tanda raja beroleh ‘inayat.
Kasihkan orang yang berilmu,
Tanda rahmat atas dirimu.
Hormat akan orang yang pandai,
Tanda mengenal kasa dan cindai.
Ingatkan dirinya mati,
Itulah asal berbuat bakti.
Akhirat itu terlalu nyata,
Kepada hati yang tidak buta.
Raja Ali Haji, pada tahun Hijrah Nabi kita seribu dua ratus enam puluh tiga likur hari bulan Rajab Selasa jam pukul lima, Negeri Riau, Pulau Penyengat. (1847)
Saturday, February 15, 2014
SAATNYA PULANG
Tahun belum berganti sejak terakhir aku memegang wajahmu. Kini rambutmu
meriap hingga lekuk kuping, membisikkan rajangan batu-batu serpih. Air
matamu berubah menjadi debu.
"Aku ini si pengikut takdir. Kutumpangkan suaraku pada angin. Dan kau, Barat, padamulah aku hendak mendarat."
Aku tidak kuatir murka dan duka tertenun di gaunku. Lenganmu sudah meraih jauh sebelum bibir berpekik. Kini menari saja, ayo menari. Di atas kanopi mangga dan kepala kedasih engkau putih begitu cantik.
"Mestinya kau berkemas. Pesanku sudah diseret para kelinci dan burung elang hingga ke teras rumahmu. Kau tak harus menanti."
Tapi aku bukan kekasih yang meletakkan tangan di atas cemas. Aku menunggu tekuk kakimu, dan kini, menari saja, ayo menari. Bulan yang tersembur dari laharmu, akan menghias jari manisku.
Pada suatu nanti
edelweis-edelweis akan mekar hingga di telapak kaki.
(Catatan untuk Kelud, Malam Jumat Wage, 13 Pebruari 23.00)
"Aku ini si pengikut takdir. Kutumpangkan suaraku pada angin. Dan kau, Barat, padamulah aku hendak mendarat."
Aku tidak kuatir murka dan duka tertenun di gaunku. Lenganmu sudah meraih jauh sebelum bibir berpekik. Kini menari saja, ayo menari. Di atas kanopi mangga dan kepala kedasih engkau putih begitu cantik.
"Mestinya kau berkemas. Pesanku sudah diseret para kelinci dan burung elang hingga ke teras rumahmu. Kau tak harus menanti."
Tapi aku bukan kekasih yang meletakkan tangan di atas cemas. Aku menunggu tekuk kakimu, dan kini, menari saja, ayo menari. Bulan yang tersembur dari laharmu, akan menghias jari manisku.
Pada suatu nanti
edelweis-edelweis akan mekar hingga di telapak kaki.
(Catatan untuk Kelud, Malam Jumat Wage, 13 Pebruari 23.00)
Thursday, February 13, 2014
Kejadian Tidak Menyenangkan di Toilet XXI TIM
Aku tak pernah membayangkan kejadian seperti ini bisa terjadi di sebuah toilet bioskop, yang rapi wangi bersih di XXI Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini. Huft.
Persisnya, usai berburu buku di toko buku pojok gedung di kompleks TIM beberapa hari lalu, aku tak sabar ingin menuntaskan kebutuhan biologis, kebelet pipis. Karena tempat terdekat toilet bioskop dan kutahu itu tempat yang bersih aku jalan cepat setengah lari ke situ. Tak berpikir untuk memilih toilet yang mana, pokoke yang terbuka dan aku menuntaskan hasrat hingga tuntas tas tas.
Tak disangka, pas mau keluar, handle pintu kuputar, dan macet. Pintu tak bisa dibuka! Aku mencoba memutar kembali, mendorong, menggedor, pintu tak beringsut. Huft, mesti teriak. Dan aku mesti berteriak beberapa kali, bermenit-menit hingga ada orang yang mendengar. Waktu aku masuk memang suasana lengang karena bukan jam pergantian jadwal pemutaran film. Tapi aku tahu para petugas kebersihan sedang ada di bagian luar sedang ngobrol ketika aku masuk.
Setelah cukup berkeringat baru ada suara.
"Kenapa, bu?"
"Aku tidak bisa membuka pintu."
Suara perempuan di luar meminta aku sabar, dia akan mengambil kunci. Ya, ya, aku tak ada pilihan lain selain sabar. Dia datang mencoba membuka pintu. Namun hanya handle pintu yang bergerak, sedang slot pintu tetap tertutup. Petugas itu memanggil teman-temannya, mencoba membuka, namun tak bisa. Lalu mereka memanggil beberapa orang lain lagi, sembari meminta aku untuk sabar. Ya, ya, aku tak ada pilihan lain selain sabar dan berkeringat.
Alhasil, setelah waktu berlalu, seseorang mencongkel slot pintu dengan obeng, dan pintu terbuka. Huft. Begitu aku keluar, pintu tertutup dan terkunci lagi, tak bisa dibuka walau dengan kunci. Kesimpulannya, pintu itu memang rusak.
Huft. (Untuk kesekian kalinya, huft.) Aku mengabaikan pintu itu, mengabaikan para petugas itu, yang penting aku sudah di luar, bernafas panjang, mencuci muka, dan keluar. Astaga, aku tak pernah menyangka bahwa suatu waktu aku mengalami hal seperti ini di TIM.
Persisnya, usai berburu buku di toko buku pojok gedung di kompleks TIM beberapa hari lalu, aku tak sabar ingin menuntaskan kebutuhan biologis, kebelet pipis. Karena tempat terdekat toilet bioskop dan kutahu itu tempat yang bersih aku jalan cepat setengah lari ke situ. Tak berpikir untuk memilih toilet yang mana, pokoke yang terbuka dan aku menuntaskan hasrat hingga tuntas tas tas.
Tak disangka, pas mau keluar, handle pintu kuputar, dan macet. Pintu tak bisa dibuka! Aku mencoba memutar kembali, mendorong, menggedor, pintu tak beringsut. Huft, mesti teriak. Dan aku mesti berteriak beberapa kali, bermenit-menit hingga ada orang yang mendengar. Waktu aku masuk memang suasana lengang karena bukan jam pergantian jadwal pemutaran film. Tapi aku tahu para petugas kebersihan sedang ada di bagian luar sedang ngobrol ketika aku masuk.
Setelah cukup berkeringat baru ada suara.
"Kenapa, bu?"
"Aku tidak bisa membuka pintu."
Suara perempuan di luar meminta aku sabar, dia akan mengambil kunci. Ya, ya, aku tak ada pilihan lain selain sabar. Dia datang mencoba membuka pintu. Namun hanya handle pintu yang bergerak, sedang slot pintu tetap tertutup. Petugas itu memanggil teman-temannya, mencoba membuka, namun tak bisa. Lalu mereka memanggil beberapa orang lain lagi, sembari meminta aku untuk sabar. Ya, ya, aku tak ada pilihan lain selain sabar dan berkeringat.
Alhasil, setelah waktu berlalu, seseorang mencongkel slot pintu dengan obeng, dan pintu terbuka. Huft. Begitu aku keluar, pintu tertutup dan terkunci lagi, tak bisa dibuka walau dengan kunci. Kesimpulannya, pintu itu memang rusak.
Huft. (Untuk kesekian kalinya, huft.) Aku mengabaikan pintu itu, mengabaikan para petugas itu, yang penting aku sudah di luar, bernafas panjang, mencuci muka, dan keluar. Astaga, aku tak pernah menyangka bahwa suatu waktu aku mengalami hal seperti ini di TIM.
Tuesday, February 11, 2014
Tunisia
Tunisia bukan perjumpaan
dia penari debu di antara angin,
di bawah matahari, melipat air-air
menggembung di punuk onta sahara.
Di duri kaktus yang keras menjaga diri
kau tumbuhkan bulu mata sebagai pucuk palem
atau pagar ladang sorghum, tempat ciuman pasir
hangat terpanggang di tiap jemarinya.
Sudahkah kau temui pemiliknya?
Tunisia hanyalah wajah di ventilasi bioskop tua
mengerling mengajakmu melewati petang
semata jelujur selendang imajinasi.
Nanti, kau sadar ketika waktu lenyap
tersandera rumah batu tanpa lampu
dan kau tak akan pernah menemukan tanda
kecuali keriput pipi perempuan tua.
(After film screening "Living Desert", at Tunisian Cultural Days at TIM, today)
dia penari debu di antara angin,
di bawah matahari, melipat air-air
menggembung di punuk onta sahara.
Di duri kaktus yang keras menjaga diri
kau tumbuhkan bulu mata sebagai pucuk palem
atau pagar ladang sorghum, tempat ciuman pasir
hangat terpanggang di tiap jemarinya.
Sudahkah kau temui pemiliknya?
Tunisia hanyalah wajah di ventilasi bioskop tua
mengerling mengajakmu melewati petang
semata jelujur selendang imajinasi.
Nanti, kau sadar ketika waktu lenyap
tersandera rumah batu tanpa lampu
dan kau tak akan pernah menemukan tanda
kecuali keriput pipi perempuan tua.
(After film screening "Living Desert", at Tunisian Cultural Days at TIM, today)
Solitary
Kalau kau sempat, berjalanlah di lorong itu
temui dia sebagai waktu terlipat
dengan sudut lancip yang terpotong.
Berharaplah dia tersenyum,
walau terkulum kikir
tanpa dekik mengikut.
Dia akan memberi tanda
andai kabut-kabut sudah siap
dan sihir angin ke arah tepat.
Keberuntungan akan menyertaimu
karena pelaminan menunggumu
ditemani selaksa pengantin sunyi.
temui dia sebagai waktu terlipat
dengan sudut lancip yang terpotong.
Berharaplah dia tersenyum,
walau terkulum kikir
tanpa dekik mengikut.
Dia akan memberi tanda
andai kabut-kabut sudah siap
dan sihir angin ke arah tepat.
Keberuntungan akan menyertaimu
karena pelaminan menunggumu
ditemani selaksa pengantin sunyi.
Saturday, February 08, 2014
Pantun Nasehat dan Pantun Jenaka
Aku sedang buru-buru akan keluar rumah kemarin malam ketika Bernard menahanku dengan bukunya.
"Bu, bantu sebentar. Aku ada PR yang bagiannya ibu."
Hmmm, tentu. Jadi aku duduk di sebelahnya. "PR apa?"
"Bahasa Indonesia. Membuat pantun."
Hmmm, aku tak ada ide. "Adik pakai saja pantunnya Sule."
"Nggak bisa. Ini pantun nasehat."
Aku melirik jam. "Ambil kertas dan pena. Cepat adik. Nih, ibu ada ide."
Dia menarik kertas di bawah keypad komputer, mencari-cari pena di dalam tasnya, dan memandangku.
Bunga melati bunga mawar
tumbuh dua batang di halaman
teman mari kita belajar
sungguh berguna di masa depan
"Ah. Sip, ibu. Sekarang pantun kedua, pantun jenaka."
"Hah? Memang PRnya membuat berapa pantun?"
"Dua itu saja. Habis itu ibu boleh pergi, lainnya aku kerjakan sendiri."
Dia menciumku lalu duduk lagi. Memandangku dan menunggu. Yach, kalau sudah kena cium tentu saja aku akan menyerah. Tapi pantun jenaka? Bagaimana buatnya?
"Pokoknya pantun yang bisa membuat orang hahaha hihihi, ibu. Bikin orang tertawa." Bernard menjelaskan.
Hmmm, tak ada ide.
"Jadi pakai hahahaha, hihihihi, ya? Apa ya, Nard? Kenapa tidak cari saja di internet?" Tawarku.
"Kelamaan, ibu. Ayo, cepetan."
Ih, yang buru-buru mau pergi kan aku, la kok dia yang lebih kebelet. Hmmm... pantun jenaka. Let see.
Burung dara burung merpati (Aku berhenti sambil mikir. Bernard sudah menggigit penanya.)
diberi makan dalam peti (Aku diam, lamaaaaa sekali. Bernard berdiri, mengambil minum.)
hahahaha hihihihi (Kok gitu? Protes Bernard. "Sudah tulis saja."
mari tertawa menghibur hati (Kayak gitu? Bernard masih protes.)
"Kurang jenaka, ibu."
"Coba deh baca."
Bernard membacanya. Di bagian hahahaha hihihihi dia tertawa ditimpali tawa kakak dan bapaknya. Dan masih terus tertawa hingga bagian akhir.
"Tuh, kan. Lucu kan Nard. Semua tertawa."
Bernard tidak puas tapi dia tetap menyalinnya. "Tetep aja kurang jenaka. Tapi ya apa boleh buat."
Ih, aku cium kupingnya. "Nanti kita cari ilham lagi. Sekarang ibu pergi ya."
Tanganku diciumnya dan aku beri berkat di dahinya.
"Bu, bantu sebentar. Aku ada PR yang bagiannya ibu."
Hmmm, tentu. Jadi aku duduk di sebelahnya. "PR apa?"
"Bahasa Indonesia. Membuat pantun."
Hmmm, aku tak ada ide. "Adik pakai saja pantunnya Sule."
"Nggak bisa. Ini pantun nasehat."
Aku melirik jam. "Ambil kertas dan pena. Cepat adik. Nih, ibu ada ide."
Dia menarik kertas di bawah keypad komputer, mencari-cari pena di dalam tasnya, dan memandangku.
Bunga melati bunga mawar
tumbuh dua batang di halaman
teman mari kita belajar
sungguh berguna di masa depan
"Ah. Sip, ibu. Sekarang pantun kedua, pantun jenaka."
"Hah? Memang PRnya membuat berapa pantun?"
"Dua itu saja. Habis itu ibu boleh pergi, lainnya aku kerjakan sendiri."
Dia menciumku lalu duduk lagi. Memandangku dan menunggu. Yach, kalau sudah kena cium tentu saja aku akan menyerah. Tapi pantun jenaka? Bagaimana buatnya?
"Pokoknya pantun yang bisa membuat orang hahaha hihihi, ibu. Bikin orang tertawa." Bernard menjelaskan.
Hmmm, tak ada ide.
"Jadi pakai hahahaha, hihihihi, ya? Apa ya, Nard? Kenapa tidak cari saja di internet?" Tawarku.
"Kelamaan, ibu. Ayo, cepetan."
Ih, yang buru-buru mau pergi kan aku, la kok dia yang lebih kebelet. Hmmm... pantun jenaka. Let see.
Burung dara burung merpati (Aku berhenti sambil mikir. Bernard sudah menggigit penanya.)
diberi makan dalam peti (Aku diam, lamaaaaa sekali. Bernard berdiri, mengambil minum.)
hahahaha hihihihi (Kok gitu? Protes Bernard. "Sudah tulis saja."
mari tertawa menghibur hati (Kayak gitu? Bernard masih protes.)
"Kurang jenaka, ibu."
"Coba deh baca."
Bernard membacanya. Di bagian hahahaha hihihihi dia tertawa ditimpali tawa kakak dan bapaknya. Dan masih terus tertawa hingga bagian akhir.
"Tuh, kan. Lucu kan Nard. Semua tertawa."
Bernard tidak puas tapi dia tetap menyalinnya. "Tetep aja kurang jenaka. Tapi ya apa boleh buat."
Ih, aku cium kupingnya. "Nanti kita cari ilham lagi. Sekarang ibu pergi ya."
Tanganku diciumnya dan aku beri berkat di dahinya.
Thursday, February 06, 2014
Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski
Judul : Akting Berdasarkan Sistem Stanislavski, sebuah pengantar
Penulis : Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung
Cetakan 1 : Desember 2012
Isi : 164 + xvi halaman
ISBN : 978-602-17839-0-0
"Selama fisikmu dalam keadaan tegang kau tidak bisa menemukan perasaan halus atau kehidupan spiritual perananmu. Oleh karena itu, sebelum kita mulai menciptakan sesuatu kita harus mengusahakan supaya urat-urat kita berada dalam keadaan seharusnya, hingga tidak mengganggu gerakan-gerakan kita." Stanislavski. (Hal. 95)
Cuplikan itu aku tulis untuk mencuatkan satu dari tiga panggung yang disarikan penulisnya dari sistem Stanislavki untuk pengantar akting (Dalam kamus besar bahasa Indonesia, akting = seni/profesi di atas pentas/tv/film, gambaran perwatakan dramatik baik bersifat emosional maupun intelektual yang dinnyatakan dengan suara dan laku, berakting = bermain drama. Makna lain akting adalah pemangku jabatan untuk sementara), yaitu laku fisik. Tiga panggung itu adalah kerja pikiran, kerja emosi dan laku fisik.
Kenapa aku mengambil 'panggung' laku fisik ini sebagai bagian awal tulisan ini? Apakah dua hal sebelumnya yaitu pikiran dan emosi tidak penting? Justru sebaliknya.
Pertama karena aku menganggap bahwa pikiran dan emosi adalah dua hal 'terdalam' yang tidak bisa dilihat secara langsung oleh manusia lain kalau tidak ada laku fisik (gerakan tubuh, ekspresi muka, dan suara.) Kedua karena aku melihat muara dari akting adalah laku fisik yang dilihat oleh penonton. Dari laku fisik itulah para penonton bisa menangkap pikiran dan emosi para aktor. Dengan begitu, pikiran dan emosi adalah dua aspek yang harus menjadi perhatian dan penekanan utama dalam kerja kreatif seorang aktor. Jika dua hal ini sudah 'selesai' (minimal disadari untuk terus diolah), maka fase-fase laku fisik bisa dilakukan dan dikembangkan.
Latihan, adalah sarana seorang aktor untuk melepaskan ketegangan dalam dirinya dan menjadikan tubuh bergerak secara wajar, sadar dan alami. Stanislavski mempunyai metode-metode latihan untuk persiapan gerak tubuh dan suara, sehingga aktor tidak menjadi robot atau zombi belaka, yang berakting tidak wajar, palsu dan dipaksakan. Stanislavski percaya bahwa perasaan sejati manusia adalah bagian yang paling pokok dari akting bagus seorang aktor.
"Jadikan yang sulit itu menjadi kebiasaan, karena terbiasa akan menjadi mudah, dan yang mudah menjadi indah." Itu dikatakan Stanislavski soal sangat pentingnya latihan-latihan. (Hal. 124)
Di bagian akhir buku ini, penulis buku mengingatkan apa yang dipesankan oleh Stanislavki untuk tidak sekali-kali membawa persoalan pribadi ke atas panggung. Mereka harus masuk panggung dengan khusuk dalam sikap mental yang sama dengan para pendeta saat menyiapkan altar. Keheningan ini akan membawa harmoni dalam nyanyian pikiran, hati dan daya kehendak. Maka ketika mereka mulai bergerak dan bersuara, penonton akan melihat laku fisikal yang jujur, benar dan wajar, selaras dengan pikiran dan emosionalnya.
Dan karena keseluruhan hal itu, aku bilang, buku ini bukan hanya baik untuk calon aktor atau aktor, tapi juga baik dibaca oleh manusia yang memang sungguh ingin menjadi manusia. Bukan menjadi manusia robot atau zombi. Buku ini mengajak manusia untuk bertindak secara sadar, wajar, jujur dan benar. Bukan hanya di atas panggung sebagai akting tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis : Iswadi Pratama, Ari Pahala Hutabarat
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung
Cetakan 1 : Desember 2012
Isi : 164 + xvi halaman
ISBN : 978-602-17839-0-0
"Selama fisikmu dalam keadaan tegang kau tidak bisa menemukan perasaan halus atau kehidupan spiritual perananmu. Oleh karena itu, sebelum kita mulai menciptakan sesuatu kita harus mengusahakan supaya urat-urat kita berada dalam keadaan seharusnya, hingga tidak mengganggu gerakan-gerakan kita." Stanislavski. (Hal. 95)
Cuplikan itu aku tulis untuk mencuatkan satu dari tiga panggung yang disarikan penulisnya dari sistem Stanislavki untuk pengantar akting (Dalam kamus besar bahasa Indonesia, akting = seni/profesi di atas pentas/tv/film, gambaran perwatakan dramatik baik bersifat emosional maupun intelektual yang dinnyatakan dengan suara dan laku, berakting = bermain drama. Makna lain akting adalah pemangku jabatan untuk sementara), yaitu laku fisik. Tiga panggung itu adalah kerja pikiran, kerja emosi dan laku fisik.
Kenapa aku mengambil 'panggung' laku fisik ini sebagai bagian awal tulisan ini? Apakah dua hal sebelumnya yaitu pikiran dan emosi tidak penting? Justru sebaliknya.
Pertama karena aku menganggap bahwa pikiran dan emosi adalah dua hal 'terdalam' yang tidak bisa dilihat secara langsung oleh manusia lain kalau tidak ada laku fisik (gerakan tubuh, ekspresi muka, dan suara.) Kedua karena aku melihat muara dari akting adalah laku fisik yang dilihat oleh penonton. Dari laku fisik itulah para penonton bisa menangkap pikiran dan emosi para aktor. Dengan begitu, pikiran dan emosi adalah dua aspek yang harus menjadi perhatian dan penekanan utama dalam kerja kreatif seorang aktor. Jika dua hal ini sudah 'selesai' (minimal disadari untuk terus diolah), maka fase-fase laku fisik bisa dilakukan dan dikembangkan.
Latihan, adalah sarana seorang aktor untuk melepaskan ketegangan dalam dirinya dan menjadikan tubuh bergerak secara wajar, sadar dan alami. Stanislavski mempunyai metode-metode latihan untuk persiapan gerak tubuh dan suara, sehingga aktor tidak menjadi robot atau zombi belaka, yang berakting tidak wajar, palsu dan dipaksakan. Stanislavski percaya bahwa perasaan sejati manusia adalah bagian yang paling pokok dari akting bagus seorang aktor.
"Jadikan yang sulit itu menjadi kebiasaan, karena terbiasa akan menjadi mudah, dan yang mudah menjadi indah." Itu dikatakan Stanislavski soal sangat pentingnya latihan-latihan. (Hal. 124)
Di bagian akhir buku ini, penulis buku mengingatkan apa yang dipesankan oleh Stanislavki untuk tidak sekali-kali membawa persoalan pribadi ke atas panggung. Mereka harus masuk panggung dengan khusuk dalam sikap mental yang sama dengan para pendeta saat menyiapkan altar. Keheningan ini akan membawa harmoni dalam nyanyian pikiran, hati dan daya kehendak. Maka ketika mereka mulai bergerak dan bersuara, penonton akan melihat laku fisikal yang jujur, benar dan wajar, selaras dengan pikiran dan emosionalnya.
Dan karena keseluruhan hal itu, aku bilang, buku ini bukan hanya baik untuk calon aktor atau aktor, tapi juga baik dibaca oleh manusia yang memang sungguh ingin menjadi manusia. Bukan menjadi manusia robot atau zombi. Buku ini mengajak manusia untuk bertindak secara sadar, wajar, jujur dan benar. Bukan hanya di atas panggung sebagai akting tapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Wednesday, February 05, 2014
UNCHANGED
Mengambang di Atas Kembang |
"Siapakah kau, peri dari sungai Melawi,
atau cenggeret pohon jati?"
Belasan putaran matahari pada bumi,
dan kau masih mengira lenganku
sayap-sayap licin berkeriapan.
"Bagaimana kau bisa melakukan,
sehari menyisir riak pantai,
sehari memeluk gunung,
dan kini kau masuki gua-gua
dengan sayap-sayap, kaki-kaki
mengambang di udara sepi?"
Aku selalu kembali, di kamar kita
karena di situlah aku bisa nyenyak
tidur tanpa mimpi, dengan wajahmu
berpeluh lasak di telingaku.
"Sampai kapan kau akan rentang
sayap-sayap membentang, berkelepak
melintas musim, menjauhi lintang?"
Sayang, aku ulang bahwa lengan,
ini lengan, bukan sayap-sayap
hanya sepasang bukan berlaksa,
dan aku akan selalu pulang.
Mata cintamu masih tak percaya.
Tuesday, February 04, 2014
PEREMPUAN
Ini perempuan kelewat batu
Kurusetra bukan hanya tempat ksatriya
karena ke sanalah perempuan itu pergi
menangisi setiap huruf yang terhapus
"Kau sudah butakan inderawiku
lalu kau buka jendela. Jadi, di mana dunia,
Tuan, supaya kulanjutkan penciptaan?"
ini perempuan terlanjur gagu
kamus menjadi lembaran hancur
dibukanya halaman per halaman
andai satu saja masih tersisa
itulah kata yang akan diucapkannya.
Kurusetra bukan hanya tempat ksatriya
karena ke sanalah perempuan itu pergi
menangisi setiap huruf yang terhapus
"Kau sudah butakan inderawiku
lalu kau buka jendela. Jadi, di mana dunia,
Tuan, supaya kulanjutkan penciptaan?"
ini perempuan terlanjur gagu
kamus menjadi lembaran hancur
dibukanya halaman per halaman
andai satu saja masih tersisa
itulah kata yang akan diucapkannya.
Monday, February 03, 2014
Sajak untuk Song
Song,
jemarimu kelopak kenanga mekar
di pundaknya mengumbar aroma
hangat getah eukaliptus samar
mirip seikat mimpi tanpa jendela.
Song,
karna matanya sudah mengalir
dan hatinya batang ulir si pandai besi
bolehkah aku yang memintanya?
Lepaskan dia.
Subscribe to:
Posts (Atom)