Menjelang akhir tahun, aku menutup edisi tahun 2011 dengan beberapa ingatan dan kenangan. Tahun 2011 ini menawarkan buanyak hal luar biasa bagiku. Aku akan membawanya pada perjalanan akhir tahunku ini, sembari mempersiapkan tahun 2012 yang akan segera datang. Evaluasi untuk diriku harus lebih kencang kulakukan. Jika mengingat awal tahun 2011 aku punya misi di tahun ini untuk SERIUS, aku harus benar-benar serius melakukan evaluasi akhir tahun ini.
Teman, silakan kirimi aku hasil penilaianmu tentang aku selama perjumpaan tahun 2011 ini. Juga kalau ada usulan, masukan, kritikan, uneg-uneg. Apa saja komentar silakan beri padaku. Itu akan bermanfaat bagiku. Aku menunggunya sebagai bagian dari bumbu yang akan kumasukkan pada racikanku awal tahun nanti. Aku membungkukkan badan padamu dengan ucapan tulus hati : Terimakasih!
Tuesday, December 20, 2011
Monday, December 19, 2011
Almost
Melayang di antara awan. Kadang tidak jelas, ada di mana berada. Aku menirukan bahasa Albert yang mengatakan,"Aku ingin terbang. Tanpa mengepakkan sayap. Sambil tiduran. Entah di mana, tidak usah dipikir."
Albert, anakku, kau bisa melakukannya? Hingga terwujud mimpimu itu? Ajari ibumu ini. Ibu yang semakin hari tidak semakin peka pada tanda-tanda yang kau suarakan.
Kemarin aku mengatakan padanya.
"Orang hidup itu ada maksudnya. Kalau masih hidup, berarti maksudnya masih ada. Seperti Abah yang masih hidup hingga kini, pasti ada maksud."
"Seperti untuk mengajar ngaji anak-anak. Begitu kan, bu?" Selanya.
"Iya. Untuk mengajar ngaji mereka. Juga untuk mengajar kita. Mengaji itu kan untuk dekat dengan Tuhan. Juga mengajar kita untuk dekat pada Tuhan."
"Hmmm...." Dia diam di sebelahku.
"Ingat siapa itu yang Sun Go Kong, yang tangannya besar, bisa menggapai saja. Kalau mau tinggal dipindah saja orang dari satu tempat ke tempat lain."
"Budharulai."
"Ah, masak? Yang tangannya besar itu. Raja Langit atau Kaisar Langit itu, lo."
"Iya."
"Tuhan hampir seperti itu. Tapi Dia tidak memakai tangan-tangan besar seperti itu, tapi bisa mengunakan Abah atau kita sebagai tanganNya untuk memindahkan apa saja. Untuk maksudNya."
"Ya. Hampir seperti itu. Makanya Abah masih hidup ya."
"Itu juga mengapa kita masih hidup. Tuhan butuh tangan, sesekali kita adalah tanganNya. Bagus kalau kita sering menjadi tanganNya."
Albert diam-diam saja. Sedang aku mengunyah-ngunyah sendiri kata-kata itu. Kata-kata itu untuk aku, bukan untuk dia. Aku belum memahaminya juga.
Albert, anakku, kau bisa melakukannya? Hingga terwujud mimpimu itu? Ajari ibumu ini. Ibu yang semakin hari tidak semakin peka pada tanda-tanda yang kau suarakan.
Kemarin aku mengatakan padanya.
"Orang hidup itu ada maksudnya. Kalau masih hidup, berarti maksudnya masih ada. Seperti Abah yang masih hidup hingga kini, pasti ada maksud."
"Seperti untuk mengajar ngaji anak-anak. Begitu kan, bu?" Selanya.
"Iya. Untuk mengajar ngaji mereka. Juga untuk mengajar kita. Mengaji itu kan untuk dekat dengan Tuhan. Juga mengajar kita untuk dekat pada Tuhan."
"Hmmm...." Dia diam di sebelahku.
"Ingat siapa itu yang Sun Go Kong, yang tangannya besar, bisa menggapai saja. Kalau mau tinggal dipindah saja orang dari satu tempat ke tempat lain."
"Budharulai."
"Ah, masak? Yang tangannya besar itu. Raja Langit atau Kaisar Langit itu, lo."
"Iya."
"Tuhan hampir seperti itu. Tapi Dia tidak memakai tangan-tangan besar seperti itu, tapi bisa mengunakan Abah atau kita sebagai tanganNya untuk memindahkan apa saja. Untuk maksudNya."
"Ya. Hampir seperti itu. Makanya Abah masih hidup ya."
"Itu juga mengapa kita masih hidup. Tuhan butuh tangan, sesekali kita adalah tanganNya. Bagus kalau kita sering menjadi tanganNya."
Albert diam-diam saja. Sedang aku mengunyah-ngunyah sendiri kata-kata itu. Kata-kata itu untuk aku, bukan untuk dia. Aku belum memahaminya juga.
Monday, December 12, 2011
Favourite Place
Aku punya banyak tempat kesukaan. Jadi sebenarnya menceritakan satu tempat ini juga tidak terlalu istimewa. Tapi, berhubung kemarin sore baru kudatangi, aku ingin menceritakannya. Tempat itu adalah lapangan SPMA. Lapangan ini letaknya di luar atau samping perumahan tempat aku tinggal. Jadi aku harus keluar perumahan untuk menjangkaunya. Biasanya aku datangi bersama anak-anak plus bapaknya. Lapangan cukup luas, dengan dua gawang untuk bermain bola. Di sekelilingnya adalah tanah kosong. Sisi barat ada lahan singkong punya warga. Sisi barat adalah tanah kosong punya SPMA. Sebelah timur adalah gedung punya SPMA yang sekarang menjadi balai latihan milik Propinsi Lampung. Sebelah selatan adalah tanah kosong punya SPMA. Biasanya tiap sore tempat ini dipakai oleh anak-anak, dan remaja untuk beberapa kepentingan. Main bola di lapangan. Latihan motor atau mobil di jalanan sekitarnya. Ini jalan-jalan untuk kepentingan balai latihan. Cukup bagus, halus, aspal. Cukup sepi jadi aman untuk berlatih. Nah, jika ke sini aku selalu sempatin untuk berlari seputar dua putar. Lalu jalan kaki kesana kemari. Atau sekedar kejar-kejaran dengan anak-anak dengan bawa bola.
Satu hal yang cukup asyik namun cuma satu kali kulakukan adalah lempar buah palem. Di sekitar situ tumbuh pohon-pohon palem cukup banyak. Jika sedang berbuah, aduh, warnanya kayaknya segar sekali. Tapi karena tak bisa dimakan, cuma dipandangi. Eh, ternyata ketika buah itu warnanya sudah merah, mereka gampang sekali rontok. Lempar dengan satu buah yang satu jatuh, berhamburanlah buah-buah itu. Asyik banget apalagi buahnya memang sangat banyak. Nuansanya seperti main petasan. Lempar lalu, brukkksss, belasan buah rontok. Begitu lihat bisa seperti itu, semangatlah jiwa anak-anak. Ambil, raup yang banyak, lempar! Sampai gundul semua jatuh yang warna merah. Yang tidak kusadar, ternyata getah buah-buah ini membuat kulitku gatal. Semuanya, di tangan, kaki, leher, kepala, perut, punggung. Aduh. Menyebar ke seluruh tubuh. Ini terasa setelah sekitar 1 jam bermain lempar buah ini. Aku cari kran air, cuci, wouuuwww, malah gatalnya tambah nylekit sakit. Ampun! Setelah itu, tak kusentuh lagi buah ini. Cukup sudah.
Langsung pulang,mandi, gosok dengan minyak tawon, dan bertobat. Moga tidak lupa, karena setiap kali lihat buah palem, selalu ingin meraupnya kembali. Harus menahan diri. Hehehe...
Friday, December 09, 2011
Joseph Adi Wardoyo, SJ
Tanggal 8 Desember 2011, hari Kamis, pukul 17.30, ada bendera kuning tertancap di hatiku. Kabar meninggalnya simbah Adi mengiris hatiku. Kemarin, aku baru saja gegap gempita menceritakan gerakan aktif tanpa kekerasan di Lampung. Itu energi yang aku dapat darimu, Simbah. Masih tidak tetap hatiku, tapi aku terbantu dengan ingatan semangat yang kau tularkan mulai dari 1996 dulu itu. Kau harus pergi, memang harus pergi. Tapi sekaligus berpikir rumit, bagaimana kami? Bisakah kami mengambil energi dari kematianmu? Cukup dewasakah kami menyebarkan nilai aktif tanpa kekerasan padahal hati kami pun masih keras?
Aku masih akan menancapkan bendera kuning ini, dan menyebarkannya di lorong-lorong hatiku. Namun jangan kuatir, Mbah, pasti akan aku cabuti semua jika semua sudah lewat. Doakan dan berkati kami dari surga.
Thursday, December 08, 2011
Conspiracy (9)
(Kisah sebelumnya)
Aku memandang Heart dan Brain bergantian. Mereka masih bersitegang dengan anggapan bahwa masing-masing paling benar. Aku tidak bisa menentukan mana yang paling benar, karena harusnya keduanya memang benar. Jika salah satu dari mereka aku anggap benar, aku pun tidak bisa menyalahkan yang lain.
Aku memandang Heart dan Brain bergantian. Mereka masih bersitegang dengan anggapan bahwa masing-masing paling benar. Aku tidak bisa menentukan mana yang paling benar, karena harusnya keduanya memang benar. Jika salah satu dari mereka aku anggap benar, aku pun tidak bisa menyalahkan yang lain.
"Kalian akan terus bertengkar?"
Aku bertanya lirih.
Jelas suara mereka lebih keras dari suaraku. Tapi mereka kemudian diam. Memandangku.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku seperti sedang mengibaskan rasa sakit.
"Aku akan mengerjakan kembali hal ini dengan rapi, Putri. Dengan syarat..."
Brain, yang berani dan kuat mengeluarkan suara.
"Apa?"
"Heart tidak ikut campur. Dia harus diam, tidak nyinyir bersuara maupun tidak bergerak, sedikitpun."
Heart langsung berang dengan mata melotot.
"Kamu! Lihat, Putri! Dengan enak dia bisa mengatakan hal itu seolah aku tidak punya posisi apa-apa di sini. Seolah dia yang paling penting dan bisa mengatasi ini."
"Terserah pada Putri. Tapi saya tidak bisa bekerja dengan bentuk tak jelas seperti yang dilakukan Heart."
"Kali ini kau meremehkanku? Huh, tidak ingat saat-saat kau sandarkan kepala di dadaku!"
Aku lebih menggelengkan lagi kepalaku. Kupejamkan mata.
"Kalian akan menyiksaku dengan pertengkaran kalian?" *
(Bersambung)
Wednesday, December 07, 2011
Active non Violence
Bagaimana memaknai aktif tanpa kekerasan? Menolak kekerasan, sudah pasti. Tidak sebagai korban, pelaku maupun saksi mata kekerasan. Tapi aktif, tidak pasif. Bagaimana? Aku sudah memulainya sejak tahun 1996, tapi hingga sekarang aku masih sering menjadi pelaku. Menjadi korban. Paling sering menjadi saksi mata kekerasan, yang pasif.
Maafkan aku.
Maafkan aku.
Tuesday, December 06, 2011
Scare
Semalam aku merasakan ketakutan. Tidak banyak hal yang bisa membuatku takut, tapi bisa banyak hal juga membuatku ketakutan.
1. Ketakutan pertama adalah pada kemampuanku mendidik anak-anak. Mungkin bukan takut, tapi kuatir. Tapi dua hal ini menjadi hal yang mirip ketika terjadi. Rupanya memang besar sekali konsekwensi ketika anak-anak sudah hadir dan menjadi tanggung jawab.
2. Ketakutan pada perpisahan. Ini tidak mungkin dihindari untuk banyak situasi, dengan banyak orang, makluk, benda. Membayangkannya saja bisa menurunkan air mata apalagi jika benar-benar terjadi. Aku sudah mengalami banyak perpisahan, tapi tak pernah menjadi biasa karena itu.
3. Ketakutan tidak bisa mengendalikan diri. Aku berusaha keras melakukannya, namun sering sekali kemudian terjadi lepas kendali. Aku takut ini terjadi setiap kali karena aku sudah mengalami akibat dari hal ini, setiap kali. Huh.
4. Ketakutan remeh temeh. Aku hitung-hitung dulu ya.
Aku sering bilang aku takut gelap. Tapi ada saat-saat benar-benar gelap tak ada lampu juga menjadi nyaman.
Aku bilang aku takut ulat. Tapi berapa kali pernah juga aku bisa melewati gerombolan ulat bulu di hutan Semeru, atau tempat lain.
Aku bilang aku takut sendiri. Tapi ternyata, beberapa kali aku memilih sendirian, menyepi. Tidak mendengarkan apa-apa, tidak bersuara apa-apa.
Aku bilang aku takut berada di lalu lintas. Tapi setiap hari aku menyetir Mioku dengan nikmat. Juga membonceng nyaman siapa saja.
Aku bilang aku ketakutan. Tapi mungkin tidak ketakutan.
(Aku ingin mengolah ini. Aku ingin tidak gelisah atau panik. Aku ingin bijaksana pada semua situasi.)
1. Ketakutan pertama adalah pada kemampuanku mendidik anak-anak. Mungkin bukan takut, tapi kuatir. Tapi dua hal ini menjadi hal yang mirip ketika terjadi. Rupanya memang besar sekali konsekwensi ketika anak-anak sudah hadir dan menjadi tanggung jawab.
2. Ketakutan pada perpisahan. Ini tidak mungkin dihindari untuk banyak situasi, dengan banyak orang, makluk, benda. Membayangkannya saja bisa menurunkan air mata apalagi jika benar-benar terjadi. Aku sudah mengalami banyak perpisahan, tapi tak pernah menjadi biasa karena itu.
3. Ketakutan tidak bisa mengendalikan diri. Aku berusaha keras melakukannya, namun sering sekali kemudian terjadi lepas kendali. Aku takut ini terjadi setiap kali karena aku sudah mengalami akibat dari hal ini, setiap kali. Huh.
4. Ketakutan remeh temeh. Aku hitung-hitung dulu ya.
Aku sering bilang aku takut gelap. Tapi ada saat-saat benar-benar gelap tak ada lampu juga menjadi nyaman.
Aku bilang aku takut ulat. Tapi berapa kali pernah juga aku bisa melewati gerombolan ulat bulu di hutan Semeru, atau tempat lain.
Aku bilang aku takut sendiri. Tapi ternyata, beberapa kali aku memilih sendirian, menyepi. Tidak mendengarkan apa-apa, tidak bersuara apa-apa.
Aku bilang aku takut berada di lalu lintas. Tapi setiap hari aku menyetir Mioku dengan nikmat. Juga membonceng nyaman siapa saja.
Aku bilang aku ketakutan. Tapi mungkin tidak ketakutan.
(Aku ingin mengolah ini. Aku ingin tidak gelisah atau panik. Aku ingin bijaksana pada semua situasi.)
Monday, December 05, 2011
Conspiracy (8)
(Kisah sebelumnya.)
"Jadi, apa yang kalian bisa kerjakan?"
Aku menantang masing-masing dari mereka. Heart gelisah di sudut mataku. Brain mendekat, mencoba memasang tubuhnya dengan angkuh. Dia mendehem sekali sebelum memulai kata-katanya.
"Kami sudah bekerja keras. Sudah beberapa putaran purnama kami mencoba melakukan beberapa strategi untuk menemukan kemauan Putri. Kami melakukannya dengan hati-hati supaya ini terjadi tanpa menyakiti Putri."
Aku menatap wajahnya yang serius.
"Jadi, apa hasil yang kalian dapat?"
Kembali Brain berdehem.
"Kami sudah menemukan titik terang. Bahkan kemudian kami sudah melangkah lebih jauh lagi untuk mendapatkan hasil yang optimal, seperti yang dimaui Putri. Putri tahu kalau kami sangat menyayangi Putri. Tidak ingin Putri terpuruk, celaka, dan mendapatkan malu. Kami tidak ingin Putri runtuh hancur oleh apapun juga."
"Lalu?"
Brain tidak mendehem tapi melirik ke arah Heart. Beberapa detik kemudian dia baru melanjutkan.
"Dia, tidak sabar. Melakukan tindakan gegabah yang merugikan semua. Kami sudah coba mengingatkan dia, tapi..."
"Tidak! Itu tidak betul!"
Heart berdiri dengan marah. Ingin membela diri dengan wajahnya yang merah padam.
"Diam, Heart! Memang kau mengacaukan rencana kita!"
"Tidak! Mereka yang berkianat dan mengacaukan semua, Lady. Mereka tidak mendengarkan kata-katamu, malah memberikan tafsiran sendiri terhadap keinginanmu."
"Kamu! Tidak ada pembicaraan yang pasti. Kita sudah sepakat, tapi kau! Apa yang kau kerjakan?!!"
"Aku hanya ingin menyelamatkan Putri dari pikiran logismu yang bodoh itu!"
"Kamu harus lebih mengendalikan diri, kalau tidak ingin Putri terjerumus dalam gerakmu yang ngawur melankolis itu!"
"Tapi kalian membuat tafsiran yang terlalu jauh dari kemauan Putri!"
"Kita tidak hanya mengikuti kemauan Putri! Heart, kau harus ikut terlibat juga untuk memberi keselamatan pada Putri. Keselamatannya lebih penting!"
Brain membelalak membentak terus bersuara.
Heart dengan wajah tak mau kalah tetap bersuara.
Kepalaku berdenyut-denyut mendengarkan debat kusir antara mereka. *
(Bersambung)
"Jadi, apa yang kalian bisa kerjakan?"
Aku menantang masing-masing dari mereka. Heart gelisah di sudut mataku. Brain mendekat, mencoba memasang tubuhnya dengan angkuh. Dia mendehem sekali sebelum memulai kata-katanya.
"Kami sudah bekerja keras. Sudah beberapa putaran purnama kami mencoba melakukan beberapa strategi untuk menemukan kemauan Putri. Kami melakukannya dengan hati-hati supaya ini terjadi tanpa menyakiti Putri."
Aku menatap wajahnya yang serius.
"Jadi, apa hasil yang kalian dapat?"
Kembali Brain berdehem.
"Kami sudah menemukan titik terang. Bahkan kemudian kami sudah melangkah lebih jauh lagi untuk mendapatkan hasil yang optimal, seperti yang dimaui Putri. Putri tahu kalau kami sangat menyayangi Putri. Tidak ingin Putri terpuruk, celaka, dan mendapatkan malu. Kami tidak ingin Putri runtuh hancur oleh apapun juga."
"Lalu?"
Brain tidak mendehem tapi melirik ke arah Heart. Beberapa detik kemudian dia baru melanjutkan.
"Dia, tidak sabar. Melakukan tindakan gegabah yang merugikan semua. Kami sudah coba mengingatkan dia, tapi..."
"Tidak! Itu tidak betul!"
Heart berdiri dengan marah. Ingin membela diri dengan wajahnya yang merah padam.
"Diam, Heart! Memang kau mengacaukan rencana kita!"
"Tidak! Mereka yang berkianat dan mengacaukan semua, Lady. Mereka tidak mendengarkan kata-katamu, malah memberikan tafsiran sendiri terhadap keinginanmu."
"Kamu! Tidak ada pembicaraan yang pasti. Kita sudah sepakat, tapi kau! Apa yang kau kerjakan?!!"
"Aku hanya ingin menyelamatkan Putri dari pikiran logismu yang bodoh itu!"
"Kamu harus lebih mengendalikan diri, kalau tidak ingin Putri terjerumus dalam gerakmu yang ngawur melankolis itu!"
"Tapi kalian membuat tafsiran yang terlalu jauh dari kemauan Putri!"
"Kita tidak hanya mengikuti kemauan Putri! Heart, kau harus ikut terlibat juga untuk memberi keselamatan pada Putri. Keselamatannya lebih penting!"
Brain membelalak membentak terus bersuara.
Heart dengan wajah tak mau kalah tetap bersuara.
Kepalaku berdenyut-denyut mendengarkan debat kusir antara mereka. *
(Bersambung)
Friday, December 02, 2011
Conspiracy (7)
(Kisah sebelumnya. )
"Jadi, apa mau kalian?"
Hening. Mereka memandangku. Heart beringsut mendekat. Namun, Eyes dengan tamengnya menahannya sehingga jaraknya tidak lebih dekat padaku. Brain salah tingkah dengan wajah kekanakan, yang jarang sekali muncul dalam usia dewasaku ini.
Ketika aku berganti memandang mereka satu-persatu, mereka mengerjap-ngerjap, dalam hening.
Princes of Eyes. Badannya ramping indah. Sesekali dia bisa membulat untuk menggoda, namun seringkali dia adalah yang paling tanggap cepat ketika sesuatu terjadi. Dia mudah tertawa, semudah dia menangis. Dia sangat bebas leluasa bergerak kemanapun yang dia inginkan, terlebih jika melihat sesuatu yang indah, yang bening, yang bercahaya. Kemanapun dia pergi, dia membawa kantong-kantong air mata yang dia taburkan kemanapun dia suka. Maka, dimanapun dia berada, tanah-tanahnya akan basah, subur dan indah. Yang paling menyebalkan jika dia sudah merasa capek, hanya merasa, tidak betulan capek. Dia akan mengunci diri di kamarnya. Sekian lama.
Princes of Noses. Dia ini mudah sekali mengikuti Heart. Dia paling dekat dengan Heart. Dia punya tas paling besar di antara seluruh panglimaku. Dia menyimpan segala kenangan lewat radar yang mampu mencium, apapun yang dikatakan oleh Heart. Walau sesekali dia menolak, tidak bisa dipungkiri bahwa dia tetap menaati Heart. Bahkan jika dia harus membongkar seluruh penyimpanannya hingga berhamburan. Lalu dengan teliti dia simpan lagi rapi, sehingga saat sesuatu muncul lagi, dia akan berjingkat mengenali. Ini bau yang pernah tercium! Itulah dia. Aku sangat terbantu olehnya, namun juga paling sering repot karenanya.
Princes of Mouths. Aku sering mengabaikan panglimaku yang ini. Maka dia paling sering tidak terkendali dari semuanya. Dia bisa mengeluarkan kata-kata paling manis yang tidak terbayangkan oleh siapa saja. Namun dia juga bisa mengeluarkan suara paling mengerikan yang pernah ada. Dia mengenakan mahkota indah yang ranum, yang cukup aku banggakan. Dan dia mempunyai titik-titik rasa yang sangat sensitif di sekitar mahkotanya itu. Aku lihat akhir-akhir ini dia cukup menahan diri, namun itu tidak bisa dilakukannya kalau dia bertemu hanya berdua dengan orang-orang yang sangat disukainya, atau justru yang sangat tidak disukainya. Yang aku suka, dia mampu menampilkan dirinya sesuai citra yang aku inginkan, maka dialah yang paling sering aku utus untuk pergi mewakili istanaku, kemana saja.
Princes of Ears. Dialah yang paling tenang diantara semua. Agak kasihan, akhir-akhir ini dia tidak terlalu sehat. Mungkin sudah semakin usur, sehingga seringkali dia hanya ingin berbaring saja, tidak melakukan apa-apa. Atau mungkin dia sudah semakin malas, karena yang didengarnya ya seperti itu-itu saja. Namun dia akan bangkit semangat kalau ada suara-suara tembang cinta. Cinta pada siapa saja. Dia akan cepat-cepat merangkul Eyes, dan juga Heart, untuk bersama-sama mendengarkan. Kemudian, ketika lagu itu berlalu, dia kembali tidak peduli, mendengarkan namun tidak mendengarkan.
Princes of Skins. Ini yang paling berbahaya dari semuanya. Pasukannya paling banyak dibanding semua. Bahkan berkali lipat. Tidak banyak gerakan yang dilakukannya, namun sekali dia bergerak, seluruh panglima lain akan terpengaruh olehnya. Kadang-kadang aku takut juga pada matanya yang galak dan keras itu. Apalagi jika dia sudah memekarkan seluruh bulu-bulunya. Aku tidak bisa tidak, mengkerut membayangkannya. Namun aku juga menyukainya, karena dari semuanya, hanya dia yang tahan terhadap luka.
Brain. Ah, Brain. Apa yang bisa kukatakan tentang dia. Dialah tumpuanku selama ini. Badannya yang tegap siap merangkulku, memelukku sehingga merasa tenang. Namun, dia ini juga yang paling berani mengacak-acak naluri maupun nuraniku. Membuatku tidak bisa tidur bermalam-malam. Tapi, untunglah ada dia.
Heart. Ah, Heart. Aku hidup karena ada dia. Maka aku paling sering mengundangnya datang untuk berbincang, sambil makan apapun camilan, dan juga menikmati cangkir-cangkir hangat maupun sejuk. Maka dibandingkan yang lain, tubuhnya paling tambun subur. Aku sering memintanya untuk menjauh, namun aku juga yang paling sering melanggarnya, kembali mengundangnya untuk datang, makan bersama, tidur bersama. *
(Bersambung)
"Jadi, apa mau kalian?"
Hening. Mereka memandangku. Heart beringsut mendekat. Namun, Eyes dengan tamengnya menahannya sehingga jaraknya tidak lebih dekat padaku. Brain salah tingkah dengan wajah kekanakan, yang jarang sekali muncul dalam usia dewasaku ini.
Ketika aku berganti memandang mereka satu-persatu, mereka mengerjap-ngerjap, dalam hening.
Princes of Eyes. Badannya ramping indah. Sesekali dia bisa membulat untuk menggoda, namun seringkali dia adalah yang paling tanggap cepat ketika sesuatu terjadi. Dia mudah tertawa, semudah dia menangis. Dia sangat bebas leluasa bergerak kemanapun yang dia inginkan, terlebih jika melihat sesuatu yang indah, yang bening, yang bercahaya. Kemanapun dia pergi, dia membawa kantong-kantong air mata yang dia taburkan kemanapun dia suka. Maka, dimanapun dia berada, tanah-tanahnya akan basah, subur dan indah. Yang paling menyebalkan jika dia sudah merasa capek, hanya merasa, tidak betulan capek. Dia akan mengunci diri di kamarnya. Sekian lama.
Princes of Noses. Dia ini mudah sekali mengikuti Heart. Dia paling dekat dengan Heart. Dia punya tas paling besar di antara seluruh panglimaku. Dia menyimpan segala kenangan lewat radar yang mampu mencium, apapun yang dikatakan oleh Heart. Walau sesekali dia menolak, tidak bisa dipungkiri bahwa dia tetap menaati Heart. Bahkan jika dia harus membongkar seluruh penyimpanannya hingga berhamburan. Lalu dengan teliti dia simpan lagi rapi, sehingga saat sesuatu muncul lagi, dia akan berjingkat mengenali. Ini bau yang pernah tercium! Itulah dia. Aku sangat terbantu olehnya, namun juga paling sering repot karenanya.
Princes of Mouths. Aku sering mengabaikan panglimaku yang ini. Maka dia paling sering tidak terkendali dari semuanya. Dia bisa mengeluarkan kata-kata paling manis yang tidak terbayangkan oleh siapa saja. Namun dia juga bisa mengeluarkan suara paling mengerikan yang pernah ada. Dia mengenakan mahkota indah yang ranum, yang cukup aku banggakan. Dan dia mempunyai titik-titik rasa yang sangat sensitif di sekitar mahkotanya itu. Aku lihat akhir-akhir ini dia cukup menahan diri, namun itu tidak bisa dilakukannya kalau dia bertemu hanya berdua dengan orang-orang yang sangat disukainya, atau justru yang sangat tidak disukainya. Yang aku suka, dia mampu menampilkan dirinya sesuai citra yang aku inginkan, maka dialah yang paling sering aku utus untuk pergi mewakili istanaku, kemana saja.
Princes of Ears. Dialah yang paling tenang diantara semua. Agak kasihan, akhir-akhir ini dia tidak terlalu sehat. Mungkin sudah semakin usur, sehingga seringkali dia hanya ingin berbaring saja, tidak melakukan apa-apa. Atau mungkin dia sudah semakin malas, karena yang didengarnya ya seperti itu-itu saja. Namun dia akan bangkit semangat kalau ada suara-suara tembang cinta. Cinta pada siapa saja. Dia akan cepat-cepat merangkul Eyes, dan juga Heart, untuk bersama-sama mendengarkan. Kemudian, ketika lagu itu berlalu, dia kembali tidak peduli, mendengarkan namun tidak mendengarkan.
Princes of Skins. Ini yang paling berbahaya dari semuanya. Pasukannya paling banyak dibanding semua. Bahkan berkali lipat. Tidak banyak gerakan yang dilakukannya, namun sekali dia bergerak, seluruh panglima lain akan terpengaruh olehnya. Kadang-kadang aku takut juga pada matanya yang galak dan keras itu. Apalagi jika dia sudah memekarkan seluruh bulu-bulunya. Aku tidak bisa tidak, mengkerut membayangkannya. Namun aku juga menyukainya, karena dari semuanya, hanya dia yang tahan terhadap luka.
Brain. Ah, Brain. Apa yang bisa kukatakan tentang dia. Dialah tumpuanku selama ini. Badannya yang tegap siap merangkulku, memelukku sehingga merasa tenang. Namun, dia ini juga yang paling berani mengacak-acak naluri maupun nuraniku. Membuatku tidak bisa tidur bermalam-malam. Tapi, untunglah ada dia.
Heart. Ah, Heart. Aku hidup karena ada dia. Maka aku paling sering mengundangnya datang untuk berbincang, sambil makan apapun camilan, dan juga menikmati cangkir-cangkir hangat maupun sejuk. Maka dibandingkan yang lain, tubuhnya paling tambun subur. Aku sering memintanya untuk menjauh, namun aku juga yang paling sering melanggarnya, kembali mengundangnya untuk datang, makan bersama, tidur bersama. *
(Bersambung)
Thursday, December 01, 2011
Conspiracy (6)
(Kisah sebelumnya.)
Istana menjadi dingin, beku dengan perkelahian antara Princes of Heart dengan para panglimaku yang lain. Brain yang aku harap bisa menjadi penengah, kali ini pura-pura sabar, ikut beku. Tidak ada tindakan apapun pada moment seperti ini. Seolah-olah dia membiarkan semua menjadi beku, membiarkan berlalu, berlaku begitu.
Hari ini memanggil mereka semua menghadap, tanpa pasukan. Masing-masing dirinya datang. Sikap kaku resmi menggelanyuti mereka semua. Kelihatan bahwa Heart berusaha menjauh. Matanya tertunduk pada kakinya sendiri, namun lihatlah kekerasan maksudnya. Aku tersenyum melihatnya. Sedikit geli karena kejanggalan posisi tubuhnya. Prince of Eyes, Noses, Mouths, Ears, dan Skins membawa tamengnya masing-masing. Mata mereka galak seolah ingin mengadili My Heart.
Brain mendehem berkali-kali. Aku melihatnya.
"Jadi, bagaimana perkembangannya?"
"Kami belum menemukan tanda-tanda, Putri."
"Tentu saja!"
Aku memberang dengan bentakan. Semua, kecuali Brain berjingkat kaget.
"Karena kalian sibuk dengan perkelahian kalian sendiri. Bahkan kalian bawa-bawa pasukan-pasukan kalian untuk ikut dalam persekongkolan ini!"
"Ampuni kami, Putri."
"Aku tarik mandatku!"
Mereka beringsut mendekatiku dengan sekali jingkatan kaget yang berikutnya.
"Aku yang akan melakukan sendiri pencarian ini. Aku yang akan mencari Dew. Sendiri!"
"Jangan!!!"
Mereka serempak dalam satu kata.
Brain mendekatiku dengan wajah, yang jelas dibuat kelihatan sabar.
"Putri, jangan lakukan itu."
"Kalian! Hanya! Mengawalku!! Aku! Akan mencarinya! Sendiri!"
Aku memberi tekanan pada tiap kataku.
"Jangan!!!"
Kembali mereka serempak menahanku. Kali ini dengan seluruh tubuh mereka, mencekal aku.* (Bersambung)
Istana menjadi dingin, beku dengan perkelahian antara Princes of Heart dengan para panglimaku yang lain. Brain yang aku harap bisa menjadi penengah, kali ini pura-pura sabar, ikut beku. Tidak ada tindakan apapun pada moment seperti ini. Seolah-olah dia membiarkan semua menjadi beku, membiarkan berlalu, berlaku begitu.
Hari ini memanggil mereka semua menghadap, tanpa pasukan. Masing-masing dirinya datang. Sikap kaku resmi menggelanyuti mereka semua. Kelihatan bahwa Heart berusaha menjauh. Matanya tertunduk pada kakinya sendiri, namun lihatlah kekerasan maksudnya. Aku tersenyum melihatnya. Sedikit geli karena kejanggalan posisi tubuhnya. Prince of Eyes, Noses, Mouths, Ears, dan Skins membawa tamengnya masing-masing. Mata mereka galak seolah ingin mengadili My Heart.
Brain mendehem berkali-kali. Aku melihatnya.
"Jadi, bagaimana perkembangannya?"
"Kami belum menemukan tanda-tanda, Putri."
"Tentu saja!"
Aku memberang dengan bentakan. Semua, kecuali Brain berjingkat kaget.
"Karena kalian sibuk dengan perkelahian kalian sendiri. Bahkan kalian bawa-bawa pasukan-pasukan kalian untuk ikut dalam persekongkolan ini!"
"Ampuni kami, Putri."
"Aku tarik mandatku!"
Mereka beringsut mendekatiku dengan sekali jingkatan kaget yang berikutnya.
"Aku yang akan melakukan sendiri pencarian ini. Aku yang akan mencari Dew. Sendiri!"
"Jangan!!!"
Mereka serempak dalam satu kata.
Brain mendekatiku dengan wajah, yang jelas dibuat kelihatan sabar.
"Putri, jangan lakukan itu."
"Kalian! Hanya! Mengawalku!! Aku! Akan mencarinya! Sendiri!"
Aku memberi tekanan pada tiap kataku.
"Jangan!!!"
Kembali mereka serempak menahanku. Kali ini dengan seluruh tubuh mereka, mencekal aku.* (Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)