Pertama, aku harus bilang bahwa angka 9 itu angka yang istimewa. Aku dikandung selama 9 bulan dan lahir pada tanggal 9 dari seorang ibu yang juga lahir pada tanggal 9. Nah, tahun 2019, akhiran 9, tahun ini usiaku 45 tahun, kalau dijumlahkan 4 + 5 maka hasilnya adalah 9.
Kedua, aku pernah menjadi penanggung jawab Majalah Bulanan Nuntius, majalah untuk umat Katolik di Keuskupan Tanjungkarang selama 9 tahun yaitu dari tahun 2005 sampai 2013. Waktu yang sangat luar biasa bagiku. Aku pernah menulis dulu mengerjakan Nuntius sebagai redaktur pelaksana itu seperti ngurus bayi. Hehehe... bayi tua. Yang dulunya terbit tak tentu menjadi terbit sebulan sekali, dan sampai sekarang kalau melihatnya senantiasa terbit sebulan sekali, hatiku juga masih mekar berseri. Sebaliknya kalau mendengar ada masalah di sana, rasanya perih di hati.
Ketiga, aku menjadi badan pengurus Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) KWI selama 9 tahun, dari tahun 2009 - 2018. Yang paling menonjol dalam masa kerjaku di komisi ini adalah kesempatan untukku pergi ke luar Indonesia. Setiap tahun minimal satu kali undangan ke luar Indonesia yang kudapatkan, mulai dengan tahun 2010 ke Kamboja bersama dengan Rm. Ronnie dan kemudian undangan-undangan lain menyusul entah melalui komisi atau undangan secara langsung ke namaku.
Keempat, pasti akan kudapatkan hal-hal lain terkait dengan angka 9 dalam perjalanan hidupku. Hmmm... tentu saja selain dari keistimewaannya secara matematis yang memang melekat pada angka 9.
Nah, aku mau masuk dalam point jawabanku. Angka 9 itu adalah realitas tentang optimalitas. Hihihi... istilah apa jal. Ini kukatakan karena 10 itu tak mungkin. Contoh sederhananya adalah angka yang bisa didapatkan saat ulangan di bangku sekolah dulu. Betul semua akan mendapatkan angka 10. Itu sangat berat walau aku bisa mendapatkannya sesekali untuk pelajaran matematika, Fisika dan Kimia. Itu pun pada bab-bab bahasan tertentu yang memang pas. Pun itu karena keberuntungan tingkat tinggi yang menyertai.
Selain itu sangat tidak mungkin aku mendapat nilai 10. Tapi mendapat angka 9 adalah niscaya, sangat mungkin, dengan pendekatan ke atas atau ke bawah yang sangat dinamis. Angka 9 pun bisa kukatakan sebagai pencapaian optimal.
Maka seperti itu juga aku melihatnya dalam hidup ini. Angka 10 akan sangat mustahil ku dapatkan. Bayangkan saja tak membuat kesalahan sedikit pun. Itu tak mungkin. Kesalahan-kesalahan akan tetap ada dan aku sangat bisa menolelirnya. Namun cita-cita angka 9 tetap akan kusematkan. Aku harus hidup secara optimal sesuai kesadaran yang aku miliki, dan itulah yang memang akan terjadi.
Nah, angka 9 tidak hanya soal peristiwa-peristiwa yang melibatkan angka itu, tapi ini adalah tentang pencapaian paling realistis dalam hidup secara optimal. Aku akan mencapai angka 9. Cukup.
No comments:
Post a Comment