Aku punya editor baru. Ahaaa. Ini sama sekali tak sengaja. Setiap saat ni orang rajin banget menemaniku saat aku menulis Jalan Pintas Menuju Alengka (Judul ini sudah dikritik habis oleh Albert. Jadi mungkin nanti aku pertimbangkan untuk diubah kalau memang ada yang lebih menarik. Menurut Albert yang paling tepat judulnya : Albert Menuju Alengka, atau Jalan Menuju Albert. Nah kan ceritanya tak ada yang nyangkut soal Albert? Keputusannya : "Berarti ceritanya ndak keren." Duh.) tanpa mengusikku sama sekali. Mau jam berapa aku bekerja, apapun yang aku tulis, si dia nih diam-diam saja. Mungkin sih dia menyimpan penasaran, tapi dia berhasil menahannya. Hehehe...
Dia itulah editor baru, editor dadakan yang ingin kukenalkan. Denmas Hendrolah orangnya. Hehehe... Saat ngopi di Flambojan Bean Leaf Sugar, Enggal, Bandarlampung (11 Pebruari 2016) yang panas, ditemani kopi tubruk Arabica dari Toraja, Cappucino yang diolah manual dan kentang goreng, aku sodorkan bagian 6 dari bundel tulisan yang sudah aku print.
"Mas Hen baca ini. Ini bagian yang paling berat saat aku menuliskannya. Sebagian risetnya yang dibantu Mas Hen kemarin itu."
Tanpa protes dia membaca bagian 6 yang sementara berisi 9 halaman. Aku melanjutkan mencoret-coret kertas-kertas dari bagian-bagian yang lain. Ini memang termasuk salah satu tahap cara kerjaku dalam menulis. Dalam bentuk print out aku akan mengoreksi, menambah, mencoret dan mengubah yang memang masih harus diedit dalam tulisanku. Bagian-bagian tertentu dari manuskrip ini sudah siap edit maka aku mengeprintnya dan mulai mencoret-coret.
"Kenapa ndak diedit di komputer saja?" Kata Mas Hen sambil melirik.
"Nanti juga diedit di komputer. Tapi dalam bentuk print out aku bisa melihat lebih teliti. Kan Mas Hen tahu buku-buku yang lalu pun aku melakukan begini. Bahkan yang setebal Titik Temu saja kan kuprint dulu sebelum editing. Udah lanjutin baca aja."
Kami pun kembali asyik dengan pekerjaan masing-masing sambil sesekali nyruput kopi, mencomot kentang dan menikmati angin sepoi-sepoi di teras warung kopi itu. Ini tempat yang cukup nyaman walau sayangnya belum ada payung untuk naungan dari panas matahari. Kami terpaksa menggeser meja dan kursi mepet ke dinding biar tidak kena matahari secara langsung.
"Nah, sudah selesai."
"Apa yang harus diubah?"
"Entah. Aku kan tidak membaca semua tulisan. Tapi, apa hubungannya tulisan tentang ulat-ulat ini dengan seluruh cerita? Memang pengaruhnya apa?" Lalu Mas Hen mulai mengeluarkan beberapa komentarnya tentang bagian 6 yang sudah dibaca itu.
Duh. Ya, itu pertanyaan yang mendasar dalam proses editing. Apa pengaruh kata/kalimat/paragraf/bab yang sudah ditulis itu sebagai bagian dari alur cerita? Hmmm... untuk Mas Hen sih aku bisa jawab ngeles saja : "Oh, jelas ada pengaruhnya dong. Itu nanti mempengaruhi perubahan karakter si tokoh." Dalam hati sih aku sudah ngucapin terimakasih buat editor baru ini. Dia sudah mengingatkan aku pada satu hal serius yang mesti kukerjakan untuk manuskrip ini.
Usai itu, sampai sekarang, sampai entah kapan, aku harus mencoret-coret lagi tumpukan kertas-kertas itu. Duh. Aku menjadi lebih lambat karena pada setiap kata aku berhenti untuk bertanya : "Apa pengaruhnya kata ini? Kalau dihilangkan apakah artinya akan berubah?"
Duh. Keringat mulai menetes, membasahi bajuku. Jadi kangen sama Bernard yang jam-jam segini pasti sedang konsentrasi di sekolah. Dengan nadanya yang dewasa dia pasti bisa menghiburku : "Ibu harus lebih santai. Dengan pikiran yang santai, semua akan lebih mudah." Iya deh, Nard. Muah untuk kalian semua.
No comments:
Post a Comment