Ini sangat direkomendasikan jika datang ke Pontianak. Aku bukan hanya dapat rekomendasi tapi juga traktiran dari Julia Asviana, teman penulis dari kota ini.
"Mbak Yuli mau makan bubur pedas?" Julia menawari usai kami berkenalan secara fisik di lobi Hotel Green Leaf Inn Pontianak tempatku menginap (18 Pebruari 2016)
Aku sedang tidak terlalu oke jika makan makanan yang pedas. Jadi aku tanya sepedas apakah bubur itu.
"Tidak. Sama sekali tidak pedas. Itu adalah bubur nasi yang dicampur segala sayuran." Bayanganku meloncat ke bubur manado. Tapi ternyata bubur yang satu ini sama sekali berbeda dibanding bubur manado.
Jelas rasanya berbeda. Ada satu bumbu yang khas banget yang tak terdeteksi pengetahuanku, tapi aku mengingat pernah makan jenis rasa ini saat aku pergi ke Kalimantan beberapa tahun lalu. Lalu penampilan buburnya juga berbeda. Sayuran yang halus dengan nasi yang lembut yang sudah dihaluskan sehingga tak kelihatan bentuk nasi, disajikan panas dengan daging/kikil dengan taburan teri dan kacang goreng. Jika mau pedas, nah baru tambah dengan dengan sambel. Rasanya gurih, enak. Dan karena kami makan di tengah gerimis yang mendera Pontianak, bubur ini cocok banget. Apalagi warung yang kami datangi memang sudah paten sebagai tempat kuliner, Bubbor Paddas Pa' Ngah, di Pontianak. Sedap. Dan minumnya khas Pontianak pula, es lidah buaya. Mantap.
Makasih, Julia. Jika ke Pontianak lagi, aku mau-mau-mau lagi datang ke tempat ini.
Thursday, February 25, 2016
Wednesday, February 24, 2016
Cap Go Meh di Singkawang tahun 2016
Apakah yang lebih menyenangkan daripada jalan-jalan ke tempat baru, gratis segalanya, diberi uang saku, dan mendapat bonus foto-foto asoy untuk dipamerkan? Hehehe... Mestinya sih ada yang lebih menyenangkan daripada hal itu, tapi ini yang aku ingin pamerkan. Rapat KKPPMP di Singkawang, dan usai itu menikmati perayaan Cap Go Meh persis di pusat kota Singkawang (20 - 23 Pebruari 2016)
Sebuah festival besar bagi warga keturunan China di Singkawang namun dihadiri oleh ribuan orang dari belahan dunia bahkan dari luar Singkawang. Sangat menarik. Aku ingin memulainya dengan pesta Lampion pada Sabtu 20 Pebruari. Jalan-jalan utama di Singkawang sesuai peta yang diedarkan pemda sudah dipenuhi penonton untuk menunggu rombongan-rombongan yang akan mengikuti pawai. Aku sangat antusias apalagi semakin malam, jalanan Singkawang mulai memendarkan lampu-lampu lampion di sepanjang sisinya. Merah dan keemasan. Terlebih ketika pawai dimulai, hingar bingar cahaya berpadu dengan musik dari mobil atau rombongan yang mengikutinya.
Hari Minggu (21 April) menjadi pesta di beberapa keluarga. Dari pagi hingga malam bergilir kami mengunjungi keluarga-keluarga yang sudah mengundang untuk pesta. Makan pagi bersama umat Katolik di Gereja Singkawang, lalu makan siang di Pantai ... (aku lupa namanya. Nanti kucari.) Masih siang hari seorang keluarga di dalam kota Singkawang mengundang untuk jamuan Cap Go Meh, aku cuma sanggup makan es krim dan sedikit mi goreng. Sore itu diundang lagi, malam lagi, lagi, dan lagi... Aku sudah tak sanggup makan lagi.
Senin 22 Pebruari saatnya melihat rombongan tatung yang akan beraksi dalam pawai. Memulainya dari beberapa klenteng yang ada di Singkawang, lalu aku berdiam, memotret saja, hanya memotret di dekat tugu naga. Huft... agak susah berkomentar di pawai ini. Meriah, tapi mengerikan. Huft...
Malamnya pesta berlanjut di Pontianak dengan pesta barongsai dan liong. Naga-naga berjalan di pusat kota Pontianak. Aku yang sudah kehabisan energi hanya menonton dari lantai atas hotel Haris tempat menginap sembari menikmati sajian restoran mereka. Puncak pesta naga ini sebenarnya tanggal 23 Pebruari dengan pembakaran naga-naga di klentenng. Tapi subuh aku sudah harus cabut ke airport untuk balik ke Lampung. Ya...apapun ini kesempatan emas untuk memulai tahun baru Monyet di tahun ini.
Sebuah festival besar bagi warga keturunan China di Singkawang namun dihadiri oleh ribuan orang dari belahan dunia bahkan dari luar Singkawang. Sangat menarik. Aku ingin memulainya dengan pesta Lampion pada Sabtu 20 Pebruari. Jalan-jalan utama di Singkawang sesuai peta yang diedarkan pemda sudah dipenuhi penonton untuk menunggu rombongan-rombongan yang akan mengikuti pawai. Aku sangat antusias apalagi semakin malam, jalanan Singkawang mulai memendarkan lampu-lampu lampion di sepanjang sisinya. Merah dan keemasan. Terlebih ketika pawai dimulai, hingar bingar cahaya berpadu dengan musik dari mobil atau rombongan yang mengikutinya.
Hari Minggu (21 April) menjadi pesta di beberapa keluarga. Dari pagi hingga malam bergilir kami mengunjungi keluarga-keluarga yang sudah mengundang untuk pesta. Makan pagi bersama umat Katolik di Gereja Singkawang, lalu makan siang di Pantai ... (aku lupa namanya. Nanti kucari.) Masih siang hari seorang keluarga di dalam kota Singkawang mengundang untuk jamuan Cap Go Meh, aku cuma sanggup makan es krim dan sedikit mi goreng. Sore itu diundang lagi, malam lagi, lagi, dan lagi... Aku sudah tak sanggup makan lagi.
Senin 22 Pebruari saatnya melihat rombongan tatung yang akan beraksi dalam pawai. Memulainya dari beberapa klenteng yang ada di Singkawang, lalu aku berdiam, memotret saja, hanya memotret di dekat tugu naga. Huft... agak susah berkomentar di pawai ini. Meriah, tapi mengerikan. Huft...
Malamnya pesta berlanjut di Pontianak dengan pesta barongsai dan liong. Naga-naga berjalan di pusat kota Pontianak. Aku yang sudah kehabisan energi hanya menonton dari lantai atas hotel Haris tempat menginap sembari menikmati sajian restoran mereka. Puncak pesta naga ini sebenarnya tanggal 23 Pebruari dengan pembakaran naga-naga di klentenng. Tapi subuh aku sudah harus cabut ke airport untuk balik ke Lampung. Ya...apapun ini kesempatan emas untuk memulai tahun baru Monyet di tahun ini.
Saturday, February 13, 2016
Bunga Buah Naga : Perkawinan Tengah Malam
Selama beberapa waktu aku jadi makhluk malam. Jika aliran pikiran sangat kuat, laptop berubah menjadi magnet yang tidak akan menggeserku ke manapun. Tapi, malam juga kadang memiliki geraknya tersendiri.
Ini nih contohnya. Mula-mula harumnya menyatu dengan partikel-partikel udara, bercampur dengan dingin dan sisa respirasi dari dedaunan. Aroma yang wangi dan unik itu mengundang hidungku mendekat.
Lalu bentangan jubah putih mengembang malu-malu. Memamerkan putik dan benang sari yang ranum keemasan. Begitu seksi. Hmmm...bagaimana aku menggambarkannya? Dia bercinta dengan dirinya sendiri malam itu. Dalam gelap, dalam putaran sekejab.
Saat pagi menjelang, dia sibuk menyalurkan mimpi-mimpinya. Jika cukup bernas, pangkal kelopaknya akan menggembung sarat dengan biji-biji kehidupan. Manis dan berwarna merah.
Kita menyebutnya Buah Naga.
Ini nih contohnya. Mula-mula harumnya menyatu dengan partikel-partikel udara, bercampur dengan dingin dan sisa respirasi dari dedaunan. Aroma yang wangi dan unik itu mengundang hidungku mendekat.
Lalu bentangan jubah putih mengembang malu-malu. Memamerkan putik dan benang sari yang ranum keemasan. Begitu seksi. Hmmm...bagaimana aku menggambarkannya? Dia bercinta dengan dirinya sendiri malam itu. Dalam gelap, dalam putaran sekejab.
Saat pagi menjelang, dia sibuk menyalurkan mimpi-mimpinya. Jika cukup bernas, pangkal kelopaknya akan menggembung sarat dengan biji-biji kehidupan. Manis dan berwarna merah.
Kita menyebutnya Buah Naga.
Friday, February 12, 2016
Editor Baru
Aku punya editor baru. Ahaaa. Ini sama sekali tak sengaja. Setiap saat ni orang rajin banget menemaniku saat aku menulis Jalan Pintas Menuju Alengka (Judul ini sudah dikritik habis oleh Albert. Jadi mungkin nanti aku pertimbangkan untuk diubah kalau memang ada yang lebih menarik. Menurut Albert yang paling tepat judulnya : Albert Menuju Alengka, atau Jalan Menuju Albert. Nah kan ceritanya tak ada yang nyangkut soal Albert? Keputusannya : "Berarti ceritanya ndak keren." Duh.) tanpa mengusikku sama sekali. Mau jam berapa aku bekerja, apapun yang aku tulis, si dia nih diam-diam saja. Mungkin sih dia menyimpan penasaran, tapi dia berhasil menahannya. Hehehe...
Dia itulah editor baru, editor dadakan yang ingin kukenalkan. Denmas Hendrolah orangnya. Hehehe... Saat ngopi di Flambojan Bean Leaf Sugar, Enggal, Bandarlampung (11 Pebruari 2016) yang panas, ditemani kopi tubruk Arabica dari Toraja, Cappucino yang diolah manual dan kentang goreng, aku sodorkan bagian 6 dari bundel tulisan yang sudah aku print.
"Mas Hen baca ini. Ini bagian yang paling berat saat aku menuliskannya. Sebagian risetnya yang dibantu Mas Hen kemarin itu."
Tanpa protes dia membaca bagian 6 yang sementara berisi 9 halaman. Aku melanjutkan mencoret-coret kertas-kertas dari bagian-bagian yang lain. Ini memang termasuk salah satu tahap cara kerjaku dalam menulis. Dalam bentuk print out aku akan mengoreksi, menambah, mencoret dan mengubah yang memang masih harus diedit dalam tulisanku. Bagian-bagian tertentu dari manuskrip ini sudah siap edit maka aku mengeprintnya dan mulai mencoret-coret.
"Kenapa ndak diedit di komputer saja?" Kata Mas Hen sambil melirik.
"Nanti juga diedit di komputer. Tapi dalam bentuk print out aku bisa melihat lebih teliti. Kan Mas Hen tahu buku-buku yang lalu pun aku melakukan begini. Bahkan yang setebal Titik Temu saja kan kuprint dulu sebelum editing. Udah lanjutin baca aja."
Kami pun kembali asyik dengan pekerjaan masing-masing sambil sesekali nyruput kopi, mencomot kentang dan menikmati angin sepoi-sepoi di teras warung kopi itu. Ini tempat yang cukup nyaman walau sayangnya belum ada payung untuk naungan dari panas matahari. Kami terpaksa menggeser meja dan kursi mepet ke dinding biar tidak kena matahari secara langsung.
"Nah, sudah selesai."
"Apa yang harus diubah?"
"Entah. Aku kan tidak membaca semua tulisan. Tapi, apa hubungannya tulisan tentang ulat-ulat ini dengan seluruh cerita? Memang pengaruhnya apa?" Lalu Mas Hen mulai mengeluarkan beberapa komentarnya tentang bagian 6 yang sudah dibaca itu.
Duh. Ya, itu pertanyaan yang mendasar dalam proses editing. Apa pengaruh kata/kalimat/paragraf/bab yang sudah ditulis itu sebagai bagian dari alur cerita? Hmmm... untuk Mas Hen sih aku bisa jawab ngeles saja : "Oh, jelas ada pengaruhnya dong. Itu nanti mempengaruhi perubahan karakter si tokoh." Dalam hati sih aku sudah ngucapin terimakasih buat editor baru ini. Dia sudah mengingatkan aku pada satu hal serius yang mesti kukerjakan untuk manuskrip ini.
Usai itu, sampai sekarang, sampai entah kapan, aku harus mencoret-coret lagi tumpukan kertas-kertas itu. Duh. Aku menjadi lebih lambat karena pada setiap kata aku berhenti untuk bertanya : "Apa pengaruhnya kata ini? Kalau dihilangkan apakah artinya akan berubah?"
Duh. Keringat mulai menetes, membasahi bajuku. Jadi kangen sama Bernard yang jam-jam segini pasti sedang konsentrasi di sekolah. Dengan nadanya yang dewasa dia pasti bisa menghiburku : "Ibu harus lebih santai. Dengan pikiran yang santai, semua akan lebih mudah." Iya deh, Nard. Muah untuk kalian semua.
Dia itulah editor baru, editor dadakan yang ingin kukenalkan. Denmas Hendrolah orangnya. Hehehe... Saat ngopi di Flambojan Bean Leaf Sugar, Enggal, Bandarlampung (11 Pebruari 2016) yang panas, ditemani kopi tubruk Arabica dari Toraja, Cappucino yang diolah manual dan kentang goreng, aku sodorkan bagian 6 dari bundel tulisan yang sudah aku print.
"Mas Hen baca ini. Ini bagian yang paling berat saat aku menuliskannya. Sebagian risetnya yang dibantu Mas Hen kemarin itu."
Tanpa protes dia membaca bagian 6 yang sementara berisi 9 halaman. Aku melanjutkan mencoret-coret kertas-kertas dari bagian-bagian yang lain. Ini memang termasuk salah satu tahap cara kerjaku dalam menulis. Dalam bentuk print out aku akan mengoreksi, menambah, mencoret dan mengubah yang memang masih harus diedit dalam tulisanku. Bagian-bagian tertentu dari manuskrip ini sudah siap edit maka aku mengeprintnya dan mulai mencoret-coret.
"Kenapa ndak diedit di komputer saja?" Kata Mas Hen sambil melirik.
"Nanti juga diedit di komputer. Tapi dalam bentuk print out aku bisa melihat lebih teliti. Kan Mas Hen tahu buku-buku yang lalu pun aku melakukan begini. Bahkan yang setebal Titik Temu saja kan kuprint dulu sebelum editing. Udah lanjutin baca aja."
Kami pun kembali asyik dengan pekerjaan masing-masing sambil sesekali nyruput kopi, mencomot kentang dan menikmati angin sepoi-sepoi di teras warung kopi itu. Ini tempat yang cukup nyaman walau sayangnya belum ada payung untuk naungan dari panas matahari. Kami terpaksa menggeser meja dan kursi mepet ke dinding biar tidak kena matahari secara langsung.
"Nah, sudah selesai."
"Apa yang harus diubah?"
"Entah. Aku kan tidak membaca semua tulisan. Tapi, apa hubungannya tulisan tentang ulat-ulat ini dengan seluruh cerita? Memang pengaruhnya apa?" Lalu Mas Hen mulai mengeluarkan beberapa komentarnya tentang bagian 6 yang sudah dibaca itu.
Duh. Ya, itu pertanyaan yang mendasar dalam proses editing. Apa pengaruh kata/kalimat/paragraf/bab yang sudah ditulis itu sebagai bagian dari alur cerita? Hmmm... untuk Mas Hen sih aku bisa jawab ngeles saja : "Oh, jelas ada pengaruhnya dong. Itu nanti mempengaruhi perubahan karakter si tokoh." Dalam hati sih aku sudah ngucapin terimakasih buat editor baru ini. Dia sudah mengingatkan aku pada satu hal serius yang mesti kukerjakan untuk manuskrip ini.
Usai itu, sampai sekarang, sampai entah kapan, aku harus mencoret-coret lagi tumpukan kertas-kertas itu. Duh. Aku menjadi lebih lambat karena pada setiap kata aku berhenti untuk bertanya : "Apa pengaruhnya kata ini? Kalau dihilangkan apakah artinya akan berubah?"
Duh. Keringat mulai menetes, membasahi bajuku. Jadi kangen sama Bernard yang jam-jam segini pasti sedang konsentrasi di sekolah. Dengan nadanya yang dewasa dia pasti bisa menghiburku : "Ibu harus lebih santai. Dengan pikiran yang santai, semua akan lebih mudah." Iya deh, Nard. Muah untuk kalian semua.
Thursday, February 11, 2016
Ultah Ibu Titik Bersama Negeri Coco
Ibuku, ibu Titik yang manis, selamat ulang tahun.
Selasa 9 Pebruari aku mengucapkan lagi selamat ulang tahun disertai cium dan peluk dari Lampung. Kubilang mengucapkan lagi, ini merujuk kesalahan yang kubuat sehari sebelumnya. Aku mengira tanggal 9 Pebruari tahun ini jatuh pas hari raya Imlek, tanpa lihat kalender yakin aja. Jadi subuh-subuh aku sudah kirim ucapan lewat WA ke ibu, lalu juga grup kami. Ealah, salah. (Salah lagi, salah lagi. Kata Aya yang paham budenya ini selalu blibet urusan tanggal ultah. Duh.)
Nah, kali ini aku sangat terbantu oleh para malaikat dari Negeri Coco, si Yessy and friend. Mereka memanggang kue, menghiasnya, meniupinya dengan doa-doa dan kemudian mengirimkan kue itu untuk 'kembaran Mbah Titik' di Panti Asuhan Desa Putra, Jakarta Selatan. Ndak persis kembar sih karena warga Desa Putra ndak ada yang lahir pada tanggal 9 Pebruari, kue-kue dikirim untuk si kecil Musa dan si kembar Ferry and Fredy yang berulang tahun pada 10 Pebruari. Tak masalah.
Ini sangat-sangat menarik. Bu Titik tercintaku memberi komentar : "Tolong sampaikan ke anak-anak, terimakasih sudah mendoakan Uti (Mbah Putri). Uti juga berdoa untuk kalian, semoga selalu sehat dan bahagia. Tuhan memberkati."
Lalu kami dalam keluarga mami-mami in Sam's Family membayangkan even-even lain untuk digunakan bagi anak-anak lain. Mungkin di seputaran Nganjuk dan Kediri. Hati kami berkobar-kobar karena kue-kue eh harapan-harapan dari Negeri Coco yang manis.
Nah, Yes, apa kubilang. Gerakan kecil akan memberikan inspirasi bagi banyak orang. Urusan banyak orang ini ndak usah kau pikirin deh, biarin aja bergulir. Yang penting kita terus bergerak sesuai langkah kita, sesuai hati yang terusik, sesuai yang tertangkap pancaindera kita. Bergerak saja dengan mantap dan gembira. Peluk untuk kalian di Negeri Coco.
Selasa 9 Pebruari aku mengucapkan lagi selamat ulang tahun disertai cium dan peluk dari Lampung. Kubilang mengucapkan lagi, ini merujuk kesalahan yang kubuat sehari sebelumnya. Aku mengira tanggal 9 Pebruari tahun ini jatuh pas hari raya Imlek, tanpa lihat kalender yakin aja. Jadi subuh-subuh aku sudah kirim ucapan lewat WA ke ibu, lalu juga grup kami. Ealah, salah. (Salah lagi, salah lagi. Kata Aya yang paham budenya ini selalu blibet urusan tanggal ultah. Duh.)
Si kecil Musa |
Si kembar Ferry and Fredy |
Ini sangat-sangat menarik. Bu Titik tercintaku memberi komentar : "Tolong sampaikan ke anak-anak, terimakasih sudah mendoakan Uti (Mbah Putri). Uti juga berdoa untuk kalian, semoga selalu sehat dan bahagia. Tuhan memberkati."
Lalu kami dalam keluarga mami-mami in Sam's Family membayangkan even-even lain untuk digunakan bagi anak-anak lain. Mungkin di seputaran Nganjuk dan Kediri. Hati kami berkobar-kobar karena kue-kue eh harapan-harapan dari Negeri Coco yang manis.
Nah, Yes, apa kubilang. Gerakan kecil akan memberikan inspirasi bagi banyak orang. Urusan banyak orang ini ndak usah kau pikirin deh, biarin aja bergulir. Yang penting kita terus bergerak sesuai langkah kita, sesuai hati yang terusik, sesuai yang tertangkap pancaindera kita. Bergerak saja dengan mantap dan gembira. Peluk untuk kalian di Negeri Coco.
Friday, February 05, 2016
Ipar, Ehhh... Bukan. Sahabat.
Kulonprogo, akhir 2015. |
Siapa mereka? Mereka adik-adik Denmas Hendro, dalam istilah keluarga bisa disebut adik ipar. Tapi aku nyaris tak pernah memakai istilah itu. Bahkan aku jarang memakai istilah adik. Ya, aku sebut mereka sahabat-sahabatku. Kalau ngumpul ya seperti itu isinya. Ngrumpi lalu narsis bareng.
Ya, kedekatan itu tidak berlebihan. Kami sudah akrab dekat sejak sama-sama kuliah di Malang. Kami bertiga sering menghabiskan waktu bersama, saling nginap di kostan masing-masing, masak bersama dan sebagainya. Bahkan ketika relasiku dengan Denmas Hendro belum mengarah pada ikatan yang kuat kami sudah sering ngerumpi bareng. Kadang kalau bapak mereka (yang sekarang juga bapakku) datang ke Malang, aku dijemput untuk rekreasi ke Batu, Pujon atau sekedar belanja. Malah mereka plus bapak beramai-ramai juga menginap di kostanku (Kalau bapak pulang pun aku ikut dapat sangu lho. Hehehe. Denmas pasti ngiri soal ini. Ssstttt.)
Itulah gambarannya. Kami dekat. Bahwa kami sama-sama narsis nah itu bonusnya. Hehehe... Kami tidak selalu seide. Maafkanlah soal ini. Kami sama-sama keras kepala juga. Soal-soal tertentu ya kami berdebat, berantem sedikit, tapi...ini hebatnya kami. Kalau lama ndak ketemu (kami terpisah di 3 kota, Lumajang, Surabaya dan Lampung) pasti kangen. Padahal kangennya itu ya kangen untuk ngeledekin atau ngerjain.
Nah foto macam ini sangat-sangat menghibur. Anak-anak kami meledek para ibu ini biarinlah. Kami toh selalu (merasa) muda. Iya kan, Nik, Tik? Nah, mana foto-foto lain? Kirim ya...
Thursday, February 04, 2016
Bakso dan Mi Ayam Denmas di Ki Maja Way Halim Lampung
Seribu Satu Puisi Yuanda Isha
Judul buku : Seribu Satu Puisi
Penulis : Yuanda Isha
Lay out : Umirah Ramata
Desain sampul : Alra Ramadhan
Sketsa : Yuli Nugrahani
Penerbit : Komunitas Kampoeng Jerami
Terbitan pertama : Desember 2015
ISBN : 978-602-70227-7-5
Kenapa buku ini mesti dipamerin? Okey, ada banyak alasan. Pertama, buku ini indah. Teman-teman bisa melihat penampakannya yang cantik berkat kerja Alra di Malang sana untuk bagian sampulnya dan ketekunan Umi di Cirebon untuk bagian dalamnya.
Kedua, buku ini indah. Puisi-puisi yang ditulis Yuanda di Tanjungpinang ini menampilkan dirinya dengan jujur. Seperti seorang gadis yang membuka gaunnya di malam pertama, dia membuka dirinya. Seluruh luka, kecemasan, juga kegembiraan dan kerinduannya. 1001 puisi dalam 200an halaman buku. Ini indah untuk dibaca, dirasakan.
Ketiga, buku ini indah. Ya, tentu saja karena beberapa belas goresan tanganku dalam bentuk sketsa daun, bunga, manusia dan burung. Yuli Nugrahani di Lampung juga suka membuat sketsa lho. Macam itu pesannya tersurat maupun tersirat.
Keempat, buku ini indah. Komunitas Kampoeng Jerami lewat Fendi Kachonk di Sumenep menangkapnya dengan kedua telapaknya. Mengkomunikasikan seperlunya dan merangkai berbagai kota itu menjadi satu buku. Sumenep, Malang, Cirebon, Lampung dan Tanjungpinang bisa bekerja bersama hingga mewujud satu buku tanpa perlu bertemu muka. Apa yang menggerakkannya? Hati? Cinta? Komitmen? Atau semuanya?
Kelima, ya mau apa lagi, memang itulah. Buku ini indah.
Penulis : Yuanda Isha
Lay out : Umirah Ramata
Desain sampul : Alra Ramadhan
Sketsa : Yuli Nugrahani
Penerbit : Komunitas Kampoeng Jerami
Terbitan pertama : Desember 2015
ISBN : 978-602-70227-7-5
Kenapa buku ini mesti dipamerin? Okey, ada banyak alasan. Pertama, buku ini indah. Teman-teman bisa melihat penampakannya yang cantik berkat kerja Alra di Malang sana untuk bagian sampulnya dan ketekunan Umi di Cirebon untuk bagian dalamnya.
Kedua, buku ini indah. Puisi-puisi yang ditulis Yuanda di Tanjungpinang ini menampilkan dirinya dengan jujur. Seperti seorang gadis yang membuka gaunnya di malam pertama, dia membuka dirinya. Seluruh luka, kecemasan, juga kegembiraan dan kerinduannya. 1001 puisi dalam 200an halaman buku. Ini indah untuk dibaca, dirasakan.
Ketiga, buku ini indah. Ya, tentu saja karena beberapa belas goresan tanganku dalam bentuk sketsa daun, bunga, manusia dan burung. Yuli Nugrahani di Lampung juga suka membuat sketsa lho. Macam itu pesannya tersurat maupun tersirat.
Keempat, buku ini indah. Komunitas Kampoeng Jerami lewat Fendi Kachonk di Sumenep menangkapnya dengan kedua telapaknya. Mengkomunikasikan seperlunya dan merangkai berbagai kota itu menjadi satu buku. Sumenep, Malang, Cirebon, Lampung dan Tanjungpinang bisa bekerja bersama hingga mewujud satu buku tanpa perlu bertemu muka. Apa yang menggerakkannya? Hati? Cinta? Komitmen? Atau semuanya?
Kelima, ya mau apa lagi, memang itulah. Buku ini indah.
Tuesday, February 02, 2016
Dahulu Pernah ...
Menunggu bis berangkat dari Pontianak. |
Ya, waktu itu aku bersama beberapa orang masuk ke pelosok Kalimantan Barat hanya dengan modal : sepenuh tubuh dan jiwa. Selebihnya dibayarin CM. Hehehe... Selama hampir satu bulan aku menikmati perjalanannya, perjumpaan dengan orang-orang Dayak, berbagai tanaman semak, kebun, dan hutan, serta binatang-binatang yang biasa dipelihara maupun diburu. Aku juga mengalami seperti yang dilakukan oleh mbak Liest, mandi di sungai, hidup tanpa listrik, berjalan kaki tanpa patokan jelas dan lain-lain.
Sekarang ketika melihat foto-foto ini lagi, dadaku rasanya bergelenyar. Aku bilang, aku suka perjalanan-perjalanan seperti ini. Aku masih ingin melakukannya sampai seluruh sisa hidupku habis. Kotor-kotor dikit yang asyik. Kesasar-kesasar dikit yang mendebarkan. Takut-takut dikit tapi tetap bergelut.
Ya, ya, foto-foto ini memang seperti narsis saja karena kebetulan itulah yang kejepret. Tapi seluruh dinamika yang dialami saat itu tentulah tak terkata. Lihat fotoku di atas menara api ini. Kaki dan celana kotor, hmmm...kukira karena setengah basah karena untuk menuju tempat ini aku harus melewati beberapa sungai kecil dan besar, jalan setapak yang becek, beberapa kampung dengan rumah-rumah betang, perjalanan bertemu babi hutan yang butuh sekitar 2 atau 3 jam jalan kaki.
Yang tampak di foto? Hahaha...inilah. Narsis saja, berpose cantik padahal kaki jelas belepotan lumpur. Wuahhh...suatu saat, suatu saat aku akan melakukan hal-hal ini lagi. Suatu saat...
Subscribe to:
Posts (Atom)