Ini adalah perjalanan yang sudah dirancang dari tahun lalu. Tapi harusnya masih pertengahan Oktober nanti. Ada banyak alasan sehingga acara pendidikan promotor aktif tanpa kekerasan untuk Keuskupan Agung Ende ini dimajukan. Ya, apa dayaku? Aku juga tak punya alasan untuk tidak bisa karena aku punya banyak alasan untuk tetap pergi ke NTT ini. Tak mungkin kulewatkan. Jadi biar kata keringat airmata dan darah kan kulakukan untuk perjalanan ini. (hehehe...lebay nian.)
Lampung menuju Jakarta lalu Kupang. Di sini baru ketemu Rm. Dany, partner untuk menfasilitasi pelatihan. Semalam di Kupang untuk menunggu pesawat lanjutan ke Bajawa paginya menjadi kesempatan untuk membicarakan segala hal secara jasmani rohani dsb.
Pagi jam 6 sudah berangkat dari Hotel Bahtera Indah Kupang ke Bandara El Tari. Katanya sih penerbangan jam 8. Tapi delay lumayan lama dan tak bisa berkutik. Tak bisa berkutik lagi ketika lihat pesawat 'baling-baling bambu' yang sudah menunggu. Fokker 50 inilah yang akan membawa kami ke Bajawa. Syarat mutlak : penumpang lebih dari 10 orang, cuaca baik dan tidak ada pejabat daerah yang tiba-tiba harus naik pesawat hari ini. Jika syarat ini tidak terpenuhi, alamat penerbangan akan batal!
Tentu saja doa tak putus-putus dalam guncangan pesawat kecil ini. Hingga akhirnya tiba dengan selamat di Bajawa. Dari sana masih lanjut ke Mataloko, tempat acara. Mampir bentar untuk makan di Restoran Camelia. Sate babinya enak banget. Juga sup asparagus. Juga juice tomat wortel. Juga cah sawi. Juga ayam goreng. Hehehe...nikmat buanget. (n mahal banget!)
Mataloko yang dingin adalah hari-hari yang romantis. Eh, nggak ding. Kerja keras 5 hari memfasilitasi pelatihan. Bergantian dengan Rm. Dany tentu saja. Kalo tidak sudah semaput pasti.
Nah, jalan-jalan benerannya adalah hari terakhir setelah acara selesai. Tidur di Ndora, sempat ketemu Melky, teman lama. Lalu ke Bena, kampung tradisional. Foto-foto tentang Bena sudah aku post duluan (lihat di tulisan sebelumny). Lalu tidur semalam di Bajawa tempat keluarga Niko - Atik yang menyuguhkan tempe goreng! Makan pavorit ini muncul juga akhirnya. Jika tidak malu sudah kulahap semua-semuanya yang di piring. Tidak seenak tempe Malang atau bahkan Lampung, tapi tempe gitu loh...
Dan esoknya balik lewat Bandara Soa, tepat waktu. Penumpang penuh, cuaca cerah, dan aku barengan dengan pejabat daerah yang mengawal. Jadi pasti berangkat. Di El Tari Kupang sekitar 2 jam, ingin makan tapi males. Malah dapat kaos dan cemilan. Di Garuda baru makan sajian mereka. Mampir Denpasar dapat cemilan lagi. Di Jakarta, kena macet dan lanjut Lampung setelah semalam tidur di Jakarta.
Nah, utang cerita sudah kelar. Tunggu perjalanan berikutnya ya... (selesai. untuk kali ini.)