Pagi ini aku kelimpungan terbengong di Pasar Pasir Gintung. Aku tahu lapak-lapak sekitar jalan pasar ini 'dibereskan' oleh dinas terkait. Digusur, diusir,...lalu ditendang, dirampok! Waktu itu aku ikut marah melihat kesemenaan pemerintah yang 'gagah' mengendalikan kota dengan cara 'mengusir'.
Hari ini aku merasakan akibat langsung. Jika kemarin-kemarin rasa marah itu menjadi diskusi sosial panjang lebar dengan siapa saja kelompok apa saja, sekarang rasa marah itu menyentil ruang hati yang mengendap paling bawah. Ruang yang menyimpan seluruh memori masa kecil.
Pasalnya, penjual nasi pecel dari Madiun, yang menjadi langgananku saat kangen rumah Gringging, yang menyediakan nasi pecel di pincuk dengan peyek kacang kedelai dan irisan tipis tempe, dengan bumbu pecel khas Jawa Timur, dengan sayuran hijau ditambah cambah mentah dan daun kemangi, hilang!!! Lapaknya rata tidak ada lagi. Yang ada hamparan tikar dan plastik penjual lombok, tempe dan bumbu dapur di lokasi itu. Aku berputar-putar sepanjang pasar dan tidak kutemukan ibu itu.
Laparku hilang keluar lewat keringat dan baju yang basah kuyup di pagi belum ada jam 7. Aku kebingungan di tengah pasar. Sedih dan marah.
Ya ampun. Aku keluar pasar dengan rasa kehilangan. Kehilangan sarana penghubung. Dimana aku bisa mencari nasi pecel yang bisa membawa aku ke ruang waktu di Gringging, Sembak, waktu aku masih kanak-kanak tanpa mikir masalah apapun? Entahlah, aku rupanya tetap akan butuh memory kanak-kanakku seperti itu.
Friday, November 30, 2007
Monday, November 26, 2007
Surat Cinta
Pagi ini aku dapat surat cinta dari kayu cemara. Setetes embunnya cemerlang mengenai ujung bulu mataku. Ada keindahan yang tiba-tiba membayang di bukitku yang ramai. Ya, pagiku selalu ramai dengan anak-anak sehingga kadang-kadang aku lupa bagaimana rasa hening di sudut bukit, di bawah pohon cemara, di ujung kerling matahari pagi.
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Saat aku mengedip, embun itu jatuh di pipi. Berkas pagi yang selalu gatal mengganggu orang menyapa riang,"Hei, mengapa menangis?" Padahal dia tahu persis aku tidak sedang menangis. Toh embun itu juga sahabatnya.
Gerakan tanganku malah membasuhkan seluruh embun di wajahku. Basah seluruhnya oleh embun. Dan berkas pagi tertawa terbahak-bahak. Aku ikut tertawa. "Hening dalam tawa. Hahaha... ini lucu!" ujarku sambil menepuk pundak berkas pagi yang tak jemu bermuka riang. Saat berkas pagi harus pergi, hening dalam tawa di masukkan kantong di dekat jendela. "Bisa kau ambil sewaktu-waktu," katanya.
Aku lambaikan tanganku lewat jendela, memandangnya melintasi bukit dan ujung-ujung cemara. Aku mendesis di antara jemariku,"Terimakasih..."
Benang Kusut
Tiap bulan selalu ada saat dimana benang kusut yang besar ada di depan hidungku. Baunya bisa bermacam-macam. Yang jelas akan mengentak adrenalin dan mencipta mimpi-mimpi yang melelahkan. Dari pengalaman, selalu benang kusut itu akan dapat terurai. Dengan syarat mau mengurainya sedikit demi sedikit dengan telaten. Dan akan selalu ada benang kusut baru ketika benang yang lama sudah indah tergulung.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Akhir-akhir ini aku justru menikmati adanya benang kusut. Bahkan jika tidak kutemukan di ruang-ruang yang biasa aku tandangi, aku akan menyempatkan diri mengembara di ruang-ruang lain yang belum terjamah sehingga aku menemukan benang-benang aneka rupa yang bisa aku urai.
Kepuasan bukan hanya pada saat gulungan-gulungan tercipta. Kepuasan muncul saat tanganku menarik atau mengulur benang. Kadang-kadang ada simpul yang membutuhkan waktu lama untuk mengurainya. Biasanya akan ada seseorang yang ikut membantu dengan sukarela atau terpaksa, menyumbangkan tangan atau jarumnya. Kadang hanya sendirian aku bersimbahpeluh, karena bagi orang lain benang kusut yang sedang aku urai ini hanya buang-buang waktu.
Sesekali memang aku akan ambil jalan pintas. Memotong simpul dengan gunting yang ada di laci hatiku, lalu membuat simpul baru untuk menyambung benang. Harus dilakukan dengan hati-hati, supaya darah tidak menyembur dari benang maupun dari jariku. (Ini rahasia kita, kadang benang-benang punya darah di dalam selnya.) Memotong simpul lalu menyambung lagi selalu menimbulkan bekas, jadi ini langkah yang paling terpaksa.
Tentu saja akan sangat puas jika gulungan benang warna-warni bisa terbuat. Aku tersenyum lega di akhir tugas itu. Biasanya aku juga selalu tertarik memainkannya di tanganku, melempar dan mengelindingkannya ke mana aku ingin. Akan ada benang kusut lagi pada gulungan yang sama.
Ini biasa terjadi.
Monday, November 19, 2007
Bangun Kesiangan
Jaman hidup masih sendiri, di kamar kost, di kamar rumah Gringging atau dimana saja, bangun siang adalah kenikmatan. Molet panjang sambil tetap berbaring bermalasan. Jam 8, 9, 10 atau bahkan lebih tetaplah jam bangun pagi. Walau matahari sudah penuh panas di atas kepala. Selebihnya lapar dominan akan mengusik untuk jalan ke dapur, kamar mandi lalu bergegas ke warung, atau justru duduk ngelosor di ruang tamu membaca koran. Yang terakhir ini pasti terjadi jika rupanya isi dompet tidak memungkinkan. Baca koran kan bisa kenyang perut (atau mual hingga gak nafsu makan), khususe halaman 3 dan seterusnya (yang isi kriminal!)
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Nah ketika sekarang ini bangun kesiangan, amboi! Mesti cepat meloncat, mandi (jika suami tersayang sudah masak nasi. Jika belum ya masak nasi secepat kilat, baru mandi), teriak sana-sini supaya Abet bangun. (Bapake yang mandiin dan nyiapin baju) Cepat membuat susu untuk anak-anak, sesegera mungkin menyiapkan semua untuk berangkat. Lalu ngebut nganter Abet ke sekolah. Pasti macet. Usai cium pipi kanan kiri, salaman, dan Abet lari ke halaman dalam sekolah, aku langsung memutar motor. Terlambat dikit, satpam akan menutup gerbang depan sehingga motor harus lewat jalan di samping gerbang, yang susah bagiku karena naik, berbelok dan sempit. Akan kena macet lagi, tapi begitu sampe di kantor, jam 7, semua akan luruh. Akan lapar tapi akan sangat tenang. Dan di depan komputer aku bisa sarapan. Sarapan sungguhan sambil makan lontong sayur, uduk atau apa saja yang bisa dimakan. Bisa juga sarapan tidak sungguhan melalap segala surat email dan berita di mirifica, detik, kompas atau mana saja. Sambil nunggu jam minum 10.00 untuk nebeng nyomot snack di sekretariat keuskupan.
Saturday, November 17, 2007
kumuh
Aku melewati pasar Bambu Kuning setiap kali. Beberapa hari terakhir ini sedang dibangun pagar pembatas jalan. Aku tahu maksudnya, biar tertib, rapi. Pembangunan ini menyertai penggusuran pedagang di sekitar ruas jalan dan tempat parkir.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Tapi, jalan ini adalah jalan pasar tradisional. Bapak-bapak, ibu-ibu, dapatkah anda sekalian membayangkan bagaimana becak, gerobak sayur, (pejalan kaki bisa lewat jembatan penyeberang), gerobak pedagang dan para penjual angkring ketika akan menyeberang jalan ini? Bisa dibayangkan akan lebih semrawut kota ini karena para 'pengais rejeki' itu akan mengambil jalan yang terdekat terserah mau searah atau berlawanan arah dengan arus lalu lintas.
Kenapa hal ini tidak dipikirkan? Tata kota tanpa memikirkan para 'bawah' ini sama juga menciptakan neraka. Pasti akan lebih kumuh. Coba kebutuhan-kebutuhan mereka yang pertama dirancang. Yakin, kota Tanjungkarang ini akan rapi tertib. Dan manusiawi.
Monday, November 12, 2007
Gundul
Mataku mengalir melihat tungkal pohon
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
tersisa di batas median jalan
gundul tanpa batang dan daun
antara rumah sakit hingga tengah kota
dadaku sesak membayangkan
gersang dan panas kekurangan O2 saat aku berjalan melintasi
jalan-jalan di kota tanjungkarang
aku akan rindu kesejukannya
aku akan rindu harum bunga kuning oranye
yang jika berguguran daunnya pun
menghamparkan permadani jalan ini khusus untukku
menyambutku semata
mataku mengalir
kesedihan
di saat yang sama kekecewaan
karena membayangkan orang-orang seperti apa
yang menjadi pengambil keputusan di kota ini
orang-orang yang tidak peduli pada kehidupan
adalah orang-orang penebar kematian
mengubah pepohonan menjadi ketertiban
mengubah kesejukan menjadi keramaian
dan semuanya menjadi keserakahan
aku sedih
Monday, November 05, 2007
malam takbir
Ingat bagaimana aku menghabiskan malam takbiran. Malam takbir tahun ini dengan terpaksa aku ngadain rapat sama Tim Kerja Nuntius. Tidak ada waktu lain setelah itu untuk ngumpul bersama karena agenda lebaran dll masing-masing pribadi. Rapatnya sendiri tidak ada masalah, ok diadakan pada persis malam takbiran. Ruangan AC Nuntius membungkus diri. Selesai jam 21.00 tet.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Dengan Mio-ku aku keluar kantor dengan kelegaan. Tidak lama, rasa lega karena beresnya satu agenda kerja berganti dengan kaget melihat jalan Sudirman, penuh sesak dengan motor dan truk yang penuh orang, hingar bingar. Astaga, aku lupa sama sekali kalau setiap malam takbir orang-orang akan keluar rumah untuk meneriakkan gema kemenangan.
Rasa capek sudah menggeliat di badanku karena dari jam 7 pagi aku belum pulang bahkan belum istirahat, ngejar deadline Nuntius ditambah rapat yang berat karena banyak PR belum tergarap. Tanganku kaku di setir Mio. Tidak bisa jalan. Merayap, sangat padat, bahkan berhenti dan sangat bising. Truk-truk penuh orang membawa tambur, bedug dan pengeras suara. Paduan suara Allahuakbar dari ujung ke ujung. Beberapa truk nekat membawa tape rekorder dengan musik-musik islami di setel kenceng. Aku merasa seperti kesasar di tempat asing. Bukan di Indonesia, bukan di Lampung bahkan juga bukan di Jalan Sudirman.
Rasa jengkelku aku tekan sekuatnya. Rencana untuk cari jalan alternatif aku tekan. Biarlah aku nikmati suasana ini. Dan rupanya jalur pulangku persis merupakan jalur yang dipakai oleh 'para pemenang' itu untuk berparade. Polisi-polisi memasang tali pembatas di tiap persimpangan sehingga konvoi itu lurus melewati Sudirman, Kartini, Teuku Umar, Pagar Alam tidak bisa belok kemana-mana. Belokan tunggal di Ki Maja, jalan dua jalur yang longgar menuju GOR Way Halim.
Aku terjebak dalam arak-arakan ini lebih dari satu jam! Satu jam lebih terlempar di negeri antah berantah yang aneh. Lebih aneh ketika gema Allahuakbar lambat laun menghilang diganti teriakan dan suara lain yang entah apa. Bedug dan tambur hilang di ganti bunyi petasan dan kembang api. Jilbab dan surban diganti pasangan-pasangan 'mumpung boleh keluar malam' berangkulan di sepeda motor. Gema kemenangan diganti teriakan umpatan karena badan atau kendaraan saling menyenggol. Dan lampu mati (PLN nakal lagi main-main). Aku terbawa arus ini dengan dandanan paling lengkap. Berjaket helm sarung tangan sepatu. Tidak mengerti mengapa aku ada di situ.
Subscribe to:
Posts (Atom)