Monday, November 30, 2020

Ayu Permata Sari (1): X dan Diriku

Tidak ada tubuh hidup yang tinggal dalam diam. Gerak yang paling kecil dan sederhana pun sudah menandai hidup, yaitu nafas. Tidak semua orang mengingatnya, dan tidak semua orang berkesempatan membicarakannya. Aku beruntung mendapatkan kesempatan diingatkan terus-terusan tentang hal ini lewat berbagai peristiwa, dan kali ini lebih diingatkan lagi lewat pementasan X, karya Ayu Permata Sari, Sabtu, 28 Nopember 2020 di Teater Satu.

Aku mau mengawalinya dengan memberi pengantar bagaimana aku dipersiapkan untuk nonton X ini secara intensif lewat dua event yang terjadi sebelumnya. Andai kata aku tidak melewati dua event ini, mungkin aku akan menangkap X dengan cara yang berbeda. Secara keseluruhan, minggu lalu itu menjadi minggu yang menarik bagiku.

Event pertama yang menyiapkanku adalah pementasan Pilgrim dari Komunitas Berkat Yakin (Kober) dalam Festival Teater Sumatera. Kober, Kamis 26 Nopember 2020 yang kuikuti lewat chanel Instagram Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumatera Barat. Kali ketiga aku nonton Pilgrim dan selalu saja ada catatan-catatan yang otomatis kubuat tentangnya. Dalam pentas kali ini aku melihat Pilgrim sebagai bagian yang penting untuk melihat sebuah gambaran holistik tentang kehidupan. Ada jalan yang sangat panjang yang sedang kulalui dan cuplikannya adalah hidupku saat ini di sini dalam rentang satu detik saja dalam tubuh yang saat ini bernama Yuli. Dengan cuplikan yang pendek ini aku menyadari kesempurnaan sekaligus keterbatasan yang melingkupiku yaitu tubuh dan waktu. Tubuhku sempurna sebagai Yuli, namun semerta juga terbatas. Waktuku juga sempurna pada cuplikan detik ini namun juga sangat terbatas. Rentang seluruh cuplikan dulu dan nanti menjadi blue print yang bisa kubentang atau kulipat kapanpun, tapi yang terpenting adalah saat ini dan di sini.

Ini diperkuat oleh event kedua yang kulibati, yaitu diskusi virtual bersama Bu Elly Luthan dalam gawe Komite Tari Dewan Kesenian Lampung pada Jumat 27 Nopember 2020. Bu Elly dengan sederhana mengangkat nafas sebagai gerak paling sederhana yang sering dilupakan. Nafas pun menjadi bagian dari gerak tari, tapi tak sering disadari. Bu Elly seperti menghasutku untuk mengingat latihan nafas, latihan menyadari, dari ini bukan soal pentas tari, tapi tari sebagai bagian dari pengembangan pribadi yang semata-mata manusia ciptaan. Tidak galau di tengah kegaduhan. Tidak gaduh di tengah kegalauan. Sadar nafas bisa membantu untuk tenang, membantu untuk bersyukur, membantu untuk sadar.

Lalu dua event virtual itu dilengkapi dengan satu event yang menuntutku untuk bergerak mendatanginya di rumah Teater Satu. Desi mengundangku sejak seminggu sebelumnya dan aku mesti bergerak untuk sampai di Teater Satu jika memang ingin menggapainya. Jika dua event sebelumnya aku mampu mencapainya hanya dengan klik di hp, Sabtu 28 Nopember 2020 harus kualami dengan berjalan sekitar 3 km untuk mampu mencicip sebuah contoh dari pergulatan tubuh Ayu Permata Sari, X. Seluruh tubuhku harus hadir berpindah tempat, bukan hanya lewat satu klik di hp.

Menonton pentas ini membutuhkan kesabaran. Yes, proses mana yang tidak membutuhkan kesabaran. Jadi hanya menambah kesabaran selama beberapa jam aku bisa menikmati pementasan ini. Bukan soal menunggu pentas, tapi kesabaran ini kubutuhkan saat menikmati pentas. Ayu dalam X bukan sedang pentas untuk menghiburku, namun ia sedang menunjukkan satu contoh kecil tentang praktik konkret dari apa yang sudah kudapatkan dalam Pilgrim maupun dari Bu Elly dua hari berturut-turut sebelumnya.

Adalah keberanian. Ayu tak kan mampu menyampaikan pesan dalam pentasnya itu kalau dia tidak berani. Dia menyodorkan hal yang sangat biasa dan dekat dengan hidup kita eh aku dalam keseharian. Tak ada gerak luar biasa akrobatik yang mengundang decak kagum. Setiap potongan geraknya adalah gerakku sehari-hari. Dan dari pertengahan pentasnya, yang mendominasi adalah gerak nafas. Tak ada hingar bingar musik diperlukan dalam gerak nafas karena nafas itu sendirilah yang paling penting. Dan keberanian yang berikutnya adalah keberaniannya menampilkan diri apa adanya. Aku menyebutnya telanjang, tapi bukan keseluruhan. Yaah, siapa yang bisa benar-benar telanjang jika otak masih menjadi pagar? Orang lain masih menjadi penyebab gegar? Dan tubuh masih belum 100 persen sadar?

Aku membuat beberapa catatan pendek begitu keluar dari ruang pentas. Hehehe... ini pentas yang tak biasa. Pentas X bukan di atas panggung, tapi dalam sebuah ruang. Gerak tarinya pertama-tama untuk diri sendiri. Aku yakin Ayu sudah mendapatkan banyak dari pergulatannya dengan X, karena dari 48 menit yang kulahap itu pun aku mendapatkan sangat banyak. Dan gerak tari Ayu memang untuk pentas karena ada banyak pesan yang tersampaikan lewat gerak tarinya. Ajakan yang paling utama: Yuk kenali tubuhmu yuk sadari tubuhmu.

Tapi tubuh kan ndak semata tubuh. Karena kalau semata tubuh, dia bukan disebut tubuh melainkan mayat, jasad, jenasah. Tubuh itu masih tubuh karena ada nafas, yang menjadi sarana rasa syukur jiwa yang diberi kesempatan untuk menggunakannya. Ayolah, tidak mungkin meninggalkan nafas tergeletak begitu saja. Memang waktunya kembali ke nafas, menyadarinya dan mensyukurinya.

Salah satu catatanku menyebut X sebagai gerak alami perempuan. Seluruhnya. Tanpa Ayu membuka bajunya pun aku tetap bisa mengatakan bahwa X adalah perempuan. Kromosom perempuan, mengalir dalam gerak perempuan, dalam seluruh detik yang dilaluinya.

Aku sempat mempertanyakan mengapa Ayu memilih kostum dengan bentuk dan warna seperti yang digunakannya dalam X. Rok lebar dengan warna kulit cream dan bagian dalam berkilat (aku melihatnya di kesempatan pertama melihatnya saat masuk ruang pentas dan aku memilih duduk di jarak yang paling dekat dengannya yang sedang bersiap), dengan rok lebar jenis kain yang jatuh. Kubilang untuk ruang privat X harusnya ditarikan tanpa kostum, tapi telanjang. (Nah kalimat ini akan kubahas nanti.) Sedang untuk ruang publik mungkin aku akan memilih warna yang sama dengan warna wajah Ayu saat dia sampai pada klimaks X yaitu merah. Tapi ini kan pertanyaan usil. Aku paham darah yang semburat di wajah itu tak bisa direkayasa, tak mungkin juga dicapai pada detik pertama gerakan yang serupa gesekan ringan di telapak tangan walau saat lahir pun manusia bersamaan dengan darah. Jadi merah itu hanya alternatif usil yang bisa dipakai nanti saat Ayu sudah berumur 80 tahun saat menarikan X di sebuah pentas ruang semesta, bukan di ruang tertutup yang sempit. Dan saat itu Ayu tak perlu lagi menjahit kainnya menjadi gaun, cukup selembar kain yang bisa dia belit atau dia lepas dengan cepat sesuai versi X yang muncul saat itu. 

Mungkinkah aku menonton pentas ini dengan Ayu berumur 80 tahun mengenakan kain warna merah? Aku akan melanjutkannya di tulisan selanjutnya, aku tak mau lupa apa yang sudah kupikirkan tentang X. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment