Tulisan ini kubuat seusai ikut trip ke Krakatau bulan Agustus lalu. Karena bencana tsunami Desember ini, dua tulisan ini aku posting supaya dibaca orang lain. Silakan menggunakannya sesuai kebutuhan:
KRAKATAU,
PARIWISATA ATAU CAGAR ALAM?
Yuli
Nugrahani*
Trip ke Kepulauan Krakatau membawa
keberuntungan bagi saya, yang sedang menyusun buku tentang Krakatau. Andai
melakukan perjalanan sendiri, tentu tak cukup satu juta rupiah untuk seluruh
perjalanan itu. Mengikuti ekskursi Gunung Anak Krakatau dalam rangkaian Seminar
Internasional Vulkanologi Krakatau dan Pemanfaatannya di Masa Depan, saya bisa
mengikuti kegiatan ini secara gratis.
Seminar internasional (tanpa Negara lain
yang terlibat dalam seminar bisakah ini disebut sebagai seminar internasional?)
diadakan pada 24 – 25 Agustus 2018 di Randu Palace Hotel Bukit Randu
Bandarlampung dengan undangan yang ditandatangani sendiri oleh Gubernur Lampung
M. Ridho Ficardo, M.SI. Hari pertama diisi dengan tiga sesi oleh Prof. Dr.
Tukirin Partomihardjo dari LIPI, Ir. Igan S. Sutawidjaja, M.Sc. dari Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman,
S.T., M.T. dari ITB, dengan moderator Dr. Ir. Bambang Priadi, DEA dari ITERA.
Di penghujung seminar, diumumkan bahwa
trip ke Gunung Anak Krakatau akan diadakan pada hari kedua dengan tujuan Pulau
Sebesi dan kemudian memutari Gunung Anak Krakatau. Tidak bisa mendarat di pulau
itu karena ijin dari KSDA Lampung (BKSDA Bengkulu) tidak keluar sampai sore itu
dan Gunung Anak Krakatau memang sedang dalam kondisi batuk terus terusan, aktif
erupsi dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.
Lalu mengapa keesokan harinya kami semua
bisa mendarat di cagar alam Gunung Anak Krakatau, bahkan berjalan sejauh kurang
lebih 200 meter melintasi hutan? Saya bilang, saya beruntung karenanya namun
juga merasa sedih, kecewa dan marah.
Saya beruntung bisa mendarat di tempat
itu. Bahkan ketika perahu yang kami naiki mulai mendekat ke kepulauan aktif
itu, saya sudah berdebar-debar senang. Ini seperti bertemu dengan seseorang
yang padanya saya sudah menambatkan cinta. Saya sedang menulis buku tentang
Krakatau dan baru kali inilah saya mendapatkan kesempatan melihat secara
langsung bagaimana gunung ini. Semakin mendekat, semakin saya dapat merasakan
cinta itu. Gunung Anak Krakatau tampak kokoh dijaga oleh tiga pulau di
sekitarnya: Sertung, Panjang dan Rakata. Tenang berdiri di tengah lautan yang
kebetulan sangat teduh dan tidak tinggi ombaknya. Sesekali dalam rentang yang
tak dapat diprediksi Gunung Anak Krakatau erupsi, mengeluarkan awan hitam panas
yang memutih di bagian atasnya karena persentuhan dengan atmosfir yang dingin
di atas. Ini adalah gunung yang sangat indah.
Saya beruntung bisa merasai pasir hitamnya
yang hangat. Saya bilang: Pulau ini, gunung ini menyimpan energi yang luar
biasa. Saya menjadi berkobar-kobar karenanya. Bukan hanya karena kokohnya,
menjulang dan semakin tinggi, tapi ini adalah tempat yang cantik. Beberapa
jenis tumbuhan, binatang terus bertumbuh menjadi ‘kalung’ di kaki dan
lerengnya, menjadi penghias bagi tubuhnya yang terus berdentum, batuk.
Saya beruntung karena tidak semua orang
mendapatkan kesempatan seperti ini. Bahkan tanpa rencana bisa menapaki pulau
dimana terletak kekayaan alam dunia, yang pernah meletus hebat beberapa kali
bertahun silam memberi dampak bagi seluruh dunia.
Rasa beruntung itu saya optimalkan
dengan bertahan di sekitar pasir pantai di kaki Gunung Anak Krakatau
menggunakan pancaindera. Saya awas pada bunyi dentuman yang muncul setiap
beberapa menit. Saya akan segera melihat melintasi ranting-ranting tanaman dan
melihat kepulan di puncak sana. Saya merasai air pantai yang beradu dengan
pasir hitam yang hangat. Saya mengamati tumbuh-tumbuhan juga serangga yang ada
di sekitarnya. Dan mau tak mau muncullah air mata itu ketika pengamatan seksama
itu saya lakukan.
Di sepanjang pantai terserak botol
plastik, sampah-sampah yang tak mungkin berasal dari dalam perut bumi. Aihdah kidah. Bagaimana mungkin cagar
alam yang didatangi orang secara terbatas pun mengalami seperti itu? Saya sedih
melihatnya. Prof. Tukirin, yang sejak menginjakkan kaki di pulau ini bersama
kami terlihat seperti tertekan. Entahlah, mungkin itu hanya asumsi saya. Saya
melihatnya memungut beberapa sampah plastik, namun seperti dilakukan tanpa
fokus, juga tidak diikuti oleh seluruh peserta. Malah sebagian besar tampak tak
peduli dengan hal itu. Seluruh suasana dan situasi itu membuat saya sedih.
Tentu saja saya beruntung bisa datang di
tempat itu, tapi saya juga kecewa. Bahkan sampai beberapa detik sebelum kapal
menambatkan jangkar, saya masih percaya bahwa rombongan yang dikoordinir oleh
Dinas Pariwisata Propinsi Lampung ini hanya akan memutari Gunung Anak Krakatau
dan kami akan mengamati gunung itu dari atas kapal. Sehari sebelumnya, beberapa
orang yang ikut dalam rombongan mengatakan kecewa karena diumumkan bahwa BKSDA
tak memberi ijin untuk masuk pulau. Saya bilang: Saya senang karena ijin tidak
keluar dan setuju dengan BKSDA. Jangan sampai ijin itu keluar. Kita tak punya
kepentingan apapun untuk masuk ke pulau.
Toh akhirnya peserta bisa mendarat di
Pulau Anak Krakatau. Walau kemudian dibungkus dengan pengantar bahwa kunjungan
ini melanjutkan study yang sudah dimulai dalam seminar sebelumnya, tak semua
peserta mempunyai pemahaman atau tujuan yang sama.
Saya marah karena perkara yang serius
seperti ini bisa dimainkan entah oleh apa. Sore jelas masih diumumkan dan
dikatakan bahwa tak ada ijin untuk masuk kawasan. BKSDA jelas mengawal proses
seminar dan perjalanan ini. Dalam seminar dikatakan bahwa tak ada ijin untuk
masuk pulau, namun kemudian paginya semua orang bisa masuk tanpa kecuali, tanpa
penjelasan tentang tujuan dari tiap person yang ikut, bahkan dipandu oleh para
narasumber yang hmmm… dengan wajah tidak terlalu gembira (atau tertekan?
Entahlah.) Tak ada syarat bagi pengunjung yang boleh masuk mengikuti para
ilmuwan itu. Dan tak ada persiapan keamanan apa pun.
Seminar dan ekskursi ini belum bisa
menyimpulkan bahwa taman wisata alam adalah yang terbaik bagi pemanfaatan
Krakatau di masa depan. Bagi saya, pariwisata harus dikemas tanpa merugikan
semua pihak, khususnya tak boleh merugikan kekayaan Lampung dan dunia seperti
Krakatau. Karena banyak alasan, Krakatau itu adalah sumber ilmu biologi,
geologi, fisika dan sebagainya. Karena banyak alasan, Krakatau itu memberikan
resiko yang besar bagi pengunjung tanpa persiapan. Karena banyak alasan,
Krakatau itu harus dilestarikan untuk tetap memberikan fungsi selama-lamanya
bagi dunia.
Jika memang pariwisata Lampung harus
mengetengahkan Krakatau, pemikiran serius harus dilakukan dengan
mempertimbangkan banyak aspek itu. Membebaskan semua orang datang ke Krakatau
bukan cara yang bijaksana karena menginjak satu biji pinus pun akan berpengaruh
bagi suksesi alam, apalagi dengan meninggalkan segala macam sampah di sana.
Terlebih dengan resiko tinggi yang mungkin muncul karena pengunjung tak cukup
paham tentang Krakatau dan karakteristiknya.***
*Yuli Nugrahani adalah
cerpenis Lampung, dari Jaringan Perempuan Padmarini yang fokus pada bidang
gender dan lingkungan hidup.