Monday, May 20, 2013

Malang


1.
Jalanan sekarang berbeda
saat aku hendak membelok
beberapa detik lampu merah
menghadang, dulu tidak ada.

Kanan kiri jalan tumbuh tiang
pada salah satu aku bersandar
dengan cara tidak lagi sama
karena kabel yang terpasang
mengelupas di bagian atas
membocorkan percikan.

Dulu kau pernah memanjatnya
melekatkan balon-balon hias
di sepanjang Dinoyo
di selusur Watu Gong
meneriakkan tawa
dengan janji lepas
"Aku akan kembali."
lalu kau melangkah cepat
wajah dalam topi Stetson
padahal cuma ingin berpaling.

Sekarang jalanan berbeda
namun kita tak akan lupa
dan kau jangan pura-pura
tak pernah ada di sana.

 
2.
Waktu itu
dari gapura hingga kamar mandimu
aku pernah berlari
hanya untuk menumpahkan
hujan yang tiba-tiba menggenang
di sudut mata berpelangi.

Waktu itu
tidak ada yang bisa menghibur
bahkan Putri Tidur dengan Pandermannya
hanya tegak kaku tanpa pelukan
sinis menjulurkan lidah
menampar dugaan lamur.

Waktu itu
telah kukubur percik bau
dalam peti tanpa warna
kau tak akan mengira
sihir itu tetap berjalan
dan mencipta cerminan.

Waktu itu.


3.
Buku itu tertinggal di bangku
bangku tua yang jatuh satu paku
paku tersisa mencuat seperti gigi taring
taring tersangkut rokmu saat bertandang.

Itulah alasan mengapa bangku bergoyang
bergoyang saat kau bangkit berbumbu sempoyongan
sempoyongan tubuhmu adalah deritan manja bangku tua.

Di situlah buku itu tertinggal
tertinggal bersama sebait puisi pembatas.

Ini penyebab aku datang.


4.
Hati tidak bisa didaur ulang
yang pernah terjadi adalah
wajahmu menjadi gerbang

aku telah memasukinya
menegak habis isi cawan
yang kau tawarkan lewat tarian

kemudian aku menyalakan dian
mengabaikan pinset di kulit rasa
maka aku tidak sakit di hari pengusiran.


5.
Jalan tak sepanjang yang kubayangkan
bisa kulipat rentangannya
dan kurekat ujung-ujungnya
bahkan jembatan-jembatan dapat kuremas
lumat dalam genggaman.

Kenangan telah jadi gita
yang semakin dewasa.

No comments:

Post a Comment