Friday, May 31, 2013

Les Miserables 2 : Cosette

Judul                                            : Les Miserables 2 : Cosette
Penulis                                         : Victor Hugo
Penterjemah ke bahasa Indonesia : Fahmy Yamani
Penyunting                                   : Muthia Esfand
Cetakan pertama                         : Maret 2013
Penerbit                                      : Visimedia Jakarta
Isi                                               : xiv + 442 halaman
Ukuran                                       : 140 X 210 mm
ISBN                                         : 979-065-170-8


Aku tak sengaja mendapat buku ini di Gramedia Mall Ambassador Jakarta saat mengantar ibu cari buku resep masakan beberapa waktu lalu. Di awal aku menimbang-nimbang antara beli atau tidak beli. Pertimbangan pertama, di tas bawaanku sudah terjejal beberapa buku yang cukup berat untuk ditenteng. Kedua, lumayan mahal harga buku ini untuk kantong yang sedang bokek. Ketiga, aku sudah berjanji membelikan Bernard beberapa Lucky Luke untuk menyambung bacaannya yang sudah tuntas. Keempat, aku sebenarnya ingin beli beberapa buku tentang fotografi untuk seorang sahabat. Kelima, daftar buku yang ingin kubeli masih banyak banget, sedang Les Miserables 2 berada di luar daftar.

Keenam, aku ingat di Les Miserables yang pertama aku membutuhkan energi luar biasa besar saat membacanya. Di tubuh yang sedang malas, rasanya lebih pengin ambil buku katalog masakan tradisional daripada buku ini. Tapi, saat aku melangkah ke kasir, buku ini tidak lepas dari genggaman. Hehehe...aman. Aku akan membawanya di tas cangklong untuk dibaca di jalan, sehingga tidak menambah berat bawaan, aku akan nebeng shamponya anak-anak selama 3 bulan sehingga uang beli shampo itu yang aku pakai, Bernard cukup dibelikan satu Lucky Luke, berikutnya nyusul pas gajian ... hehehe... semua bisa diatur.

Nah, aku baru mulai membaca buku ini tiga hari yang lalu dan pembatas buku terseok-seok sampai di halaman 324 pada hari ini. Ada yang unik dalam buku ini. Hugo memisahkan cerita-cerita dalam 8 buku dengan judul-judul di tiap bukunya. Jadi semacam kumpulan buku dengan judul-judul : Waterloo yang berisi 19 bab, Kapal Orion 3 bab, Menunaikan Janji kepada Perempuan yang Sudah Meninggal 11 bab, Pondok Gorbeau 5 bab, Segerombolan Orang Membisu untuk Perburuan Hitam 10 bab, Le Petit Picpus 11 bab, Sisipan 8 bab dan Pemakaman yang Dikhususkan untuk Mereka 9 bab.

Terlihat Hugo memainkan perannya sebagai penulis secara bebas di tiap buku. Dia berlompatan dari satu tempat dan waktu, ke tempat dan waktu yang lain, kadang maju kadang mundur. Macam penjahit yang sesuka-suka hati mengerjakan jahitannya. Suatu kali dia membuat bagian lengan baju hingga detil kancing dan sulamannya, lalu berikutnya dia memotong bakal saku dan merapikannya, lalu dia menggeletakkannya begitu saja untuk kemudian membuat pola kerah.

Dalam novel ini, potongan-potongan itu oleh Hugo dijahit dalam percakapan yang hangat, hmmm, seolah dia hadir di depan pembaca, bercerita dan berkisah sesuka hatinya. Misal di halaman 16 dia menyapa : "Mari kita kembali - ini merupakan salah satu hak pendongeng - dan menempatkan diri sekali lagi pada tahun 1815 dan bahkan sedikit lebih awal daripada epos saat perisitiwa yang dikisahkan dalam bagian pertama buku ini terjadi."

Atau di bab terakhir yang baru selesai aku baca, pada bab ke 8 dari buku ke 6 yang berjudul Le Petit-Picpus halaman 320 : "Selain semua itu, kami persilakan pembaca menambahkan gambaran sebuah halaman, berbagai macam sudut dibentuk oleh bangunan interior, tembok penjara, atap hitam panjang yang berbatasan dengan sisi lain dari Rue Polonceau, untuk perspektif dan lingkungannya sendiri, dan pembaca akan mampu membentuk sebuah gambaran lengkap seperti apa rumah ordo Bernardinus dari Petit-Picpus sekitar empat puluh tahun yang lalu."

Sapaan-sapaannya itu membuatku senang, membuatku merasa lebih dekat pada penulis luar biasa ini. Dan tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih rilex santai saat membaca buku ini dibanding buku yang pertama.

Buku ini masih kelanjutan dari buku yang lalu, menceritakan tentang Jean Valjean yang bisa meloloskan diri dari hukuman kerja paksa seumur hidup setelah jatuh dari kapal Orion tempatnya bekerja. Jean masih ingat janjinya pada seorang perempuan yang sudah meninggal, Fantine, untuk membawa anak perempuannya yang ditinggalkan di Montfermeil kembali kepadanya. Cosette, anak perempuan itu telah menjalani kehidupan menyedihan di keluarga Thenardier. Jean membawa Cosette pergi dari cengkeraman keluarga tamak ini. Walau, keputusan ini bukan berarti mengeluarkan Cosette dari masalah-masalah.

Kebebasan Hugo bukan hanya dari setting yang berloncatan, tapi juga keberaniannya mempertanyakan banyak hal dalam politik, negara, Tuhan dan Gereja. Aku intip di buku 7 pada bab pertama di tulis sebagai judul : Biara sebagai Gagasan Absrak. Ini adalah pernyataan yang berani dari orang yang lahir dan hidup di Perancis yang jelas kental warna Katoliknya. Kalau di masa sekarang, pendapat macam itu biasa saja, dan aku pun bisa setuju, tapi jaman itu, aku membayangkannya sebagai pendapat yang luar biasa apalagi ditambah uraian-uraian yang begitu detail.

Nah ya, soal detail. Inilah yang membuatku bisa membolak-balik satu halaman novel Hugo ini belasan atau puluhan kali. Sayang aku belum terlalu nyambung jika membaca tulisan-tulisan panjang dalam bahasa Inggris, namun dalam bahasa terjemahan pun aku menangkap ketelitian Hugo dalam menulis. Lihat saja halaman 320 : "Taman, yang agak melengkung itu, memiliki pohon cemara runcing di atas sebuah bukit yang terletak di tengah taman, dengan empat jalan besar dan delapan jalan kecil bersilangan, sehingga jika taman itu berbentuk bulat, denah geometris jalanan itu akan menyerupai salib yang dikelilingi oleh sebuah roda." Hmmm, dari kalimatnya sudah terlukis macam apa yang dimaksudkannya.

No comments:

Post a Comment