Judul : Les Miserables 2 : Cosette
Penulis : Victor Hugo
Penterjemah ke bahasa Indonesia : Fahmy Yamani
Penyunting : Muthia Esfand
Cetakan pertama : Maret 2013
Penerbit : Visimedia Jakarta
Isi : xiv + 442 halaman
Ukuran : 140 X 210 mm
ISBN : 979-065-170-8
Aku tak sengaja mendapat buku ini di Gramedia Mall Ambassador Jakarta saat mengantar ibu cari buku resep masakan beberapa waktu lalu. Di awal aku menimbang-nimbang antara beli atau tidak beli. Pertimbangan pertama, di tas bawaanku sudah terjejal beberapa buku yang cukup berat untuk ditenteng. Kedua, lumayan mahal harga buku ini untuk kantong yang sedang bokek. Ketiga, aku sudah berjanji membelikan Bernard beberapa Lucky Luke untuk menyambung bacaannya yang sudah tuntas. Keempat, aku sebenarnya ingin beli beberapa buku tentang fotografi untuk seorang sahabat. Kelima, daftar buku yang ingin kubeli masih banyak banget, sedang Les Miserables 2 berada di luar daftar.
Keenam, aku ingat di Les Miserables yang pertama aku membutuhkan energi luar biasa besar saat membacanya. Di tubuh yang sedang malas, rasanya lebih pengin ambil buku katalog masakan tradisional daripada buku ini. Tapi, saat aku melangkah ke kasir, buku ini tidak lepas dari genggaman. Hehehe...aman. Aku akan membawanya di tas cangklong untuk dibaca di jalan, sehingga tidak menambah berat bawaan, aku akan nebeng shamponya anak-anak selama 3 bulan sehingga uang beli shampo itu yang aku pakai, Bernard cukup dibelikan satu Lucky Luke, berikutnya nyusul pas gajian ... hehehe... semua bisa diatur.
Nah, aku baru mulai membaca buku ini tiga hari yang lalu dan pembatas buku terseok-seok sampai di halaman 324 pada hari ini. Ada yang unik dalam buku ini. Hugo memisahkan cerita-cerita dalam 8 buku dengan judul-judul di tiap bukunya. Jadi semacam kumpulan buku dengan judul-judul : Waterloo yang berisi 19 bab, Kapal Orion 3 bab, Menunaikan Janji kepada Perempuan yang Sudah Meninggal 11 bab, Pondok Gorbeau 5 bab, Segerombolan Orang Membisu untuk Perburuan Hitam 10 bab, Le Petit Picpus 11 bab, Sisipan 8 bab dan Pemakaman yang Dikhususkan untuk Mereka 9 bab.
Terlihat Hugo memainkan perannya sebagai penulis secara bebas di tiap buku. Dia berlompatan dari satu tempat dan waktu, ke tempat dan waktu yang lain, kadang maju kadang mundur. Macam penjahit yang sesuka-suka hati mengerjakan jahitannya. Suatu kali dia membuat bagian lengan baju hingga detil kancing dan sulamannya, lalu berikutnya dia memotong bakal saku dan merapikannya, lalu dia menggeletakkannya begitu saja untuk kemudian membuat pola kerah.
Dalam novel ini, potongan-potongan itu oleh Hugo dijahit dalam percakapan yang hangat, hmmm, seolah dia hadir di depan pembaca, bercerita dan berkisah sesuka hatinya. Misal di halaman 16 dia menyapa : "Mari kita kembali - ini merupakan salah satu hak pendongeng - dan menempatkan diri sekali lagi pada tahun 1815 dan bahkan sedikit lebih awal daripada epos saat perisitiwa yang dikisahkan dalam bagian pertama buku ini terjadi."
Atau di bab terakhir yang baru selesai aku baca, pada bab ke 8 dari buku ke 6 yang berjudul Le Petit-Picpus halaman 320 : "Selain semua itu, kami persilakan pembaca menambahkan gambaran sebuah halaman, berbagai macam sudut dibentuk oleh bangunan interior, tembok penjara, atap hitam panjang yang berbatasan dengan sisi lain dari Rue Polonceau, untuk perspektif dan lingkungannya sendiri, dan pembaca akan mampu membentuk sebuah gambaran lengkap seperti apa rumah ordo Bernardinus dari Petit-Picpus sekitar empat puluh tahun yang lalu."
Sapaan-sapaannya itu membuatku senang, membuatku merasa lebih dekat pada penulis luar biasa ini. Dan tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih rilex santai saat membaca buku ini dibanding buku yang pertama.
Buku ini masih kelanjutan dari buku yang lalu, menceritakan tentang Jean Valjean yang bisa meloloskan diri dari hukuman kerja paksa seumur hidup setelah jatuh dari kapal Orion tempatnya bekerja. Jean masih ingat janjinya pada seorang perempuan yang sudah meninggal, Fantine, untuk membawa anak perempuannya yang ditinggalkan di Montfermeil kembali kepadanya. Cosette, anak perempuan itu telah menjalani kehidupan menyedihan di keluarga Thenardier. Jean membawa Cosette pergi dari cengkeraman keluarga tamak ini. Walau, keputusan ini bukan berarti mengeluarkan Cosette dari masalah-masalah.
Kebebasan Hugo bukan hanya dari setting yang berloncatan, tapi juga keberaniannya mempertanyakan banyak hal dalam politik, negara, Tuhan dan Gereja. Aku intip di buku 7 pada bab pertama di tulis sebagai judul : Biara sebagai Gagasan Absrak. Ini adalah pernyataan yang berani dari orang yang lahir dan hidup di Perancis yang jelas kental warna Katoliknya. Kalau di masa sekarang, pendapat macam itu biasa saja, dan aku pun bisa setuju, tapi jaman itu, aku membayangkannya sebagai pendapat yang luar biasa apalagi ditambah uraian-uraian yang begitu detail.
Nah ya, soal detail. Inilah yang membuatku bisa membolak-balik satu halaman novel Hugo ini belasan atau puluhan kali. Sayang aku belum terlalu nyambung jika membaca tulisan-tulisan panjang dalam bahasa Inggris, namun dalam bahasa terjemahan pun aku menangkap ketelitian Hugo dalam menulis. Lihat saja halaman 320 : "Taman, yang agak melengkung itu, memiliki pohon cemara runcing di atas sebuah bukit yang terletak di tengah taman, dengan empat jalan besar dan delapan jalan kecil bersilangan, sehingga jika taman itu berbentuk bulat, denah geometris jalanan itu akan menyerupai salib yang dikelilingi oleh sebuah roda." Hmmm, dari kalimatnya sudah terlukis macam apa yang dimaksudkannya.
Friday, May 31, 2013
Thursday, May 30, 2013
Tanggulangin
Lumpur mengenangi kuburan ketika aku datang.
Ujung nisan berganti celepuk didih cairan belerang.
Jalanan memeluk batu berselimut keranjang kawat.
Lasakku menyeret kaki mencari celah paksa untuk lewat
Di ujung liang mata membuka petunjuk setapak.
Mereka tengah mengembalikan meja – meja lapak!
Palu pertama diketukkan pada sol-sol sepatu.
Benang-benang dikaitkan pada saku-saku baju.
Mereka sembunyikan air mata bukan untuk lupa!
Darah dialirkan bukan semata menghias luka!
“Tangan kami bukan mengatung, kau lihat!
Tangan kami mengepal! Tanda seru di akhir kalimat!”
Aku sengaja tarik tali busur menghujam dada.
Jantungku teriris kata yang mengucap : Saudara.
Ujung nisan berganti celepuk didih cairan belerang.
Jalanan memeluk batu berselimut keranjang kawat.
Lasakku menyeret kaki mencari celah paksa untuk lewat
Di ujung liang mata membuka petunjuk setapak.
Mereka tengah mengembalikan meja – meja lapak!
Palu pertama diketukkan pada sol-sol sepatu.
Benang-benang dikaitkan pada saku-saku baju.
Mereka sembunyikan air mata bukan untuk lupa!
Darah dialirkan bukan semata menghias luka!
“Tangan kami bukan mengatung, kau lihat!
Tangan kami mengepal! Tanda seru di akhir kalimat!”
Aku sengaja tarik tali busur menghujam dada.
Jantungku teriris kata yang mengucap : Saudara.
Tuesday, May 28, 2013
Menikmati Gelombang
Adakah rasa yang bisa kupilih?
Masih perlukah rasa bagi hatiku?
Gelombang adalah mainan,
bagi anak-anak.
Walaupun mungkin bisa jadi petaka
bagi seluruh tradisi.
Haruskah aku gembira?
Masih perlukah aku sedih?
Setiap manusia sudah memilih,
dan menikmati resikonya.
Walaupun mungkin aku hanya imbas
yang tidak penting.
Mestikah menikmati gelombang
seperti anak-anak?
Masih perlukah rasa bagi hatiku?
Gelombang adalah mainan,
bagi anak-anak.
Walaupun mungkin bisa jadi petaka
bagi seluruh tradisi.
Haruskah aku gembira?
Masih perlukah aku sedih?
Setiap manusia sudah memilih,
dan menikmati resikonya.
Walaupun mungkin aku hanya imbas
yang tidak penting.
Mestikah menikmati gelombang
seperti anak-anak?
Thursday, May 23, 2013
Nagagini
Di usia nafas hampir 40 putaran bumi pada matahari
aku harus mengaku jujur pada kalian para dokter
dengan demikian kalian akan berhenti membedahku.
Bukan otakku miring letaknya menelorkan kekacauan
pikir selaksa Limbuk memakai topeng Azar Nafisi
menyamar rabiah tanpa cadar tanpa terompah.
Bukan mataku juling pura-pura tidak memandang
ada gunung dan pasir di kanan kiri tubuhku yang tambun
merem malas menangkap pantulan cahaya kenyataan.
Hanya teleskopku sendiri yang bisa menampakkan
rupa Nagagini dalam rongga perut di bawah pusar
tengah memperluas jaringan meristem di titik tumbuh.
Pinjami aku waktu untuk menggunakan pisau-pisau itu
Nagagini akan terus bergerak mencari Ulo Tamparnya.
kecuali aku memotong ranting pohon lambang sari.
Demikian aku akan mencegah kutuk pada kesetiaan
jangan sampai kisah pasangan cecak dan domba terulang
hingga jaman harus menyalakan kembali api bakar diri.
aku harus mengaku jujur pada kalian para dokter
dengan demikian kalian akan berhenti membedahku.
Bukan otakku miring letaknya menelorkan kekacauan
pikir selaksa Limbuk memakai topeng Azar Nafisi
menyamar rabiah tanpa cadar tanpa terompah.
Bukan mataku juling pura-pura tidak memandang
ada gunung dan pasir di kanan kiri tubuhku yang tambun
merem malas menangkap pantulan cahaya kenyataan.
Hanya teleskopku sendiri yang bisa menampakkan
rupa Nagagini dalam rongga perut di bawah pusar
tengah memperluas jaringan meristem di titik tumbuh.
Pinjami aku waktu untuk menggunakan pisau-pisau itu
Nagagini akan terus bergerak mencari Ulo Tamparnya.
kecuali aku memotong ranting pohon lambang sari.
Demikian aku akan mencegah kutuk pada kesetiaan
jangan sampai kisah pasangan cecak dan domba terulang
hingga jaman harus menyalakan kembali api bakar diri.
Monday, May 20, 2013
Malang
1.
Jalanan sekarang berbeda
saat aku hendak membelok
beberapa detik lampu merah
menghadang, dulu tidak ada.
Kanan kiri jalan tumbuh tiang
pada salah satu aku bersandar
dengan cara tidak lagi sama
karena kabel yang terpasang
mengelupas di bagian atas
membocorkan percikan.
Dulu kau pernah memanjatnya
melekatkan balon-balon hias
di sepanjang Dinoyo
di selusur Watu Gong
meneriakkan tawa
dengan janji lepas
"Aku akan kembali."
lalu kau melangkah cepat
wajah dalam topi Stetson
padahal cuma ingin berpaling.
Sekarang jalanan berbeda
namun kita tak akan lupa
dan kau jangan pura-pura
tak pernah ada di sana.
2.
Waktu itu
dari gapura hingga kamar mandimu
aku pernah berlari
hanya untuk menumpahkan
hujan yang tiba-tiba menggenang
di sudut mata berpelangi.
Waktu itu
tidak ada yang bisa menghibur
bahkan Putri Tidur dengan Pandermannya
hanya tegak kaku tanpa pelukan
sinis menjulurkan lidah
menampar dugaan lamur.
Waktu itu
telah kukubur percik bau
dalam peti tanpa warna
kau tak akan mengira
sihir itu tetap berjalan
dan mencipta cerminan.
Waktu itu.
3.
Buku itu tertinggal di bangku
bangku tua yang jatuh satu paku
paku tersisa mencuat seperti gigi taring
taring tersangkut rokmu saat bertandang.
Itulah alasan mengapa bangku bergoyang
bergoyang saat kau bangkit berbumbu sempoyongan
sempoyongan tubuhmu adalah deritan manja bangku tua.
Di situlah buku itu tertinggal
tertinggal bersama sebait puisi pembatas.
Ini penyebab aku datang.
4.
Hati tidak bisa didaur ulang
yang pernah terjadi adalah
wajahmu menjadi gerbang
aku telah memasukinya
menegak habis isi cawan
yang kau tawarkan lewat tarian
kemudian aku menyalakan dian
mengabaikan pinset di kulit rasa
maka aku tidak sakit di hari pengusiran.
5.
Jalan tak sepanjang yang kubayangkan
bisa kulipat rentangannya
dan kurekat ujung-ujungnya
bahkan jembatan-jembatan dapat kuremas
lumat dalam genggaman.
Kenangan telah jadi gita
yang semakin dewasa.
Sunday, May 19, 2013
Bandar Jakarta
Sayang, naiklah perahu
air laut akan jadi kasur
berdua kita mencicip tabuh
yang tercatat tanpa sentuh.
Sayang, lihatlah ke barat
langit tersenyum ini malam
lewat lekuk yang sama
tersampir di daun kelapa.
Sayang, sebentar lagi lampu mati
matamu akan mendapat santapan seri
jangan melawan jangan alergi
teluk akan memberi gerbang pasti.
Sayang, pantai, bulan sabit,
mimpi.
15 Mei 2013 — at Bandar Djakarta.
air laut akan jadi kasur
berdua kita mencicip tabuh
yang tercatat tanpa sentuh.
Sayang, lihatlah ke barat
langit tersenyum ini malam
lewat lekuk yang sama
tersampir di daun kelapa.
Sayang, sebentar lagi lampu mati
matamu akan mendapat santapan seri
jangan melawan jangan alergi
teluk akan memberi gerbang pasti.
Sayang, pantai, bulan sabit,
mimpi.
15 Mei 2013 — at Bandar Djakarta.
Thursday, May 09, 2013
Sampar
Sejak tikus-tikus itu menyerbu rumah
ketiak dan selangkangku membusuk bernanah
pun nyeri panas sakitku hanya dianggap latah
jika kau tidak melihatnya, apakah
sampar hanya entah?
Yang digerogoti bukan hanya buku
dia tegak sombong merampok pasak paku
sebentar lagi rumah tinggal sebangku
jika tak ada juga anjak, lalu
biarkah mati lampu?
Malam sebelum tidur hari ini
kau mendongeng tentang mati
ada kisah syahid dalam lembing tirani
jika aku tetap tidak percaya, adakah lagi
teorimu basmi mimpi?
Sampar menjadi akar-akar gejala
berkembang dalam hijau buah tanya
hanya kau perlu mengingat rasa
sakitku memutus darah aku dan dia
kami musuh selamanya.
ketiak dan selangkangku membusuk bernanah
pun nyeri panas sakitku hanya dianggap latah
jika kau tidak melihatnya, apakah
sampar hanya entah?
Yang digerogoti bukan hanya buku
dia tegak sombong merampok pasak paku
sebentar lagi rumah tinggal sebangku
jika tak ada juga anjak, lalu
biarkah mati lampu?
Malam sebelum tidur hari ini
kau mendongeng tentang mati
ada kisah syahid dalam lembing tirani
jika aku tetap tidak percaya, adakah lagi
teorimu basmi mimpi?
Sampar menjadi akar-akar gejala
berkembang dalam hijau buah tanya
hanya kau perlu mengingat rasa
sakitku memutus darah aku dan dia
kami musuh selamanya.
Sunday, May 05, 2013
TOT 4 Pilar
MPR RI melatih para calon pelatih untuk sosialisasi Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kali ini Lampung digarap bersama dengan Kementrian Agama Propinsi Lampung diadakan di Sheraton Hotel Bandarlampung, 2 - 6 Mei 2013 diikuti oleh 100 peserta dari berbagai kalangan guru, dosen dan lembaga / organsisasi masyarakat / agama. Fasilitasi diberikan sepenuhnya oleh anggota MPR RI dengan koordinator tim kerja, Agun Gunandjar.
Saturday, May 04, 2013
Menggalah Bulan di Ranting Perpustakaan
Piring keramik di atas, buku
burung-burung rantau, berlapis
manis apple pie, memadu
mangunwijaya dan ibu, setipis
jeda suara dari bibir, setuju.
burung-burung rantau, berlapis
manis apple pie, memadu
mangunwijaya dan ibu, setipis
jeda suara dari bibir, setuju.
Subscribe to:
Posts (Atom)